
Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU) Perampasan Aset memasuki babak baru. Setelah mangkrak sejak diinisiasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) di era Presiden SBY pada 2008, RUU Perampasan Aset akhirnya masuk Prolegnas Prioritas 2025. Ini diputuskan dalam Rapat Kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dengan Kementerian Hukum, serta Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI pada Kamis (18/09) lalu. Disinyalir langkah tersebut sebagai respons atas "17+8 Tuntutan Rakyat" yang turut memasukkan desakan pengesahan RUU Perampasan Aset.
Namun, meski masuk prioritas 2025, RUU Perampasan Aset diperkirakan tak bakal disahkan tahun ini. DPR menegaskan tak akan tergesa-gesa membahasnya dengan dalih demi menjamin partisipasi publik yang bermakna.
Publik sudah menanti komitmen serius pemberantasan korupsi. Tak cuma menghukum koruptor, tetapi juga mengamankan duit negara yang dicuri lewat aturan perampasan aset. Kejaksaan Agung mencatat kerugian negara akibat tindak pidana korupsi mencapai Rp310,61 triliun pada 2024, tetapi hanya Rp1,3 triliun aset negara yang mampu dipulihkan.
Apakah RUU Perampasan Aset bakal jadi terobosan dalam upaya pemberantasan korupsi dan penyelamatan aset negara? Apakah ada potensi tumpang tindih dengan undang-undang lain? Hal-hal apa saja yang harus diwaspadai?
Di Ruang Publik KBR kita akan bahas topik ini bersama Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Golkar Dapil 5 Jawa Timur, Ketua Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman Samarinda Orin Gusta Andini, dan Ketua Komisi Kejaksaan RI sekaligus Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Prof. Pujiyono Suwadi.
Komentar
Loading...

