
Polemik menyeruak ke publik usai muncul Surat Edaran (SE) Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) yang melarang pelajar ikut aksi demonstrasi. Pemicu keluarnya SE tersebut, tak lain karena masifnya keterlibatan pelajar dalam gelombang unjuk rasa di beberapa daerah akhir Agustus lalu. Bahkan, pelajar berusia 16 tahun asal Tangerang Banten, Andika Lutfi Falah, meninggal setelah mengikuti aksi demo yang berakhir ricuh di Gedung DPR Jakarta.
Berbekal dari serangkaian peristiwa tersebut, SE dimaksudkan sebagai upaya pencegahan siswa turun ke jalan dan fokus belajar. Sekolah diminta mengawasi ketat siswanya agar tak ikut terpancing turun ke jalan. Bahkan, para guru didorong memantau aktivitas media sosial anak didik mereka.
Surat edaran itu tak ayal memantik reaksi sejumlah kalangan. Sebagian menyoroti imbauan larangan itu sebagai bentuk pembungkaman pelajar lantaran mengerdilkan hak kritis mereka dalam berekspresi dan berpendapat.
Lalu, apakah larangan pelajar ikut unjuk rasa melanggar hak asasi? Bagaimana dampaknya bagi kebebasan bersuara dan berpendapat anak? Bagaimana upaya pemda mendorong ruang aman bagi anak untuk menyalurkan aspirasinya?
Di Ruang Publik KBR kita akan bahas topik ini bersama Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta Chico Hakim, Presidium Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) Herdiansyah Hamzah, dan Kepala Bidang Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri.
Komentar
Loading...

