
Pekan lalu, kita menyaksikan kemarahan rakyat tereskalasi dalam hitungan hari bahkan jam, menjelma menjadi demonstrasi hingga amuk massa. Tak cuma di Jakarta, tetapi merembet cepat ke berbagai daerah. Itu semua adalah akumulasi kemarahan rakyat atas kebijakan yang tidak adil, sikap pejabat yang nirempati, dan aparat yang represif.
Jatuh empat korban jiwa, ekses dari kerusuhan dan brutalitas aparat. Pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, tewas dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob di Jakarta. Sedangkan, di Makassar, Sulawesi Selatan, tiga ASN tewas terjebak di dalam gedung DPRD yang dibakar massa.
Kemarin, Presiden Prabowo mengumumkan pembatalan tunjangan anggota DPR dan moratorium kunjungan luar negeri DPR, usai bertemu 8 pimpinan parpol di Istana Kepresidenan, Jakarta.
Prabowo juga memerintahkan pemeriksaan terhadap aparat polisi pengendara rantis yang melindas Affan dilakukan cepat dan transparan. Presiden memastikan negara menghormati kebebasan berpendapat dan terbuka mendengar aspirasi rakyat yang disampaikan secara damai.
Beberapa parpol menonaktifkan kader-kader bermasalah karena pernyataan-pernyataannya yang blunder, seperti Uya Kuya dan Eko Patrio dari PAN, serta Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari Nasdem.
Apakah langkah-langkah ini cukup untuk meredam amarah publik? Bagaimana negara mesti bersikap terhadap brutalitas aparat yang terus berulang? Apakah ada potensi kerusuhan bakal meluas? Bagaimana mencegahnya?
Di Ruang Publik KBR kita akan bahas bersama Ketua Komnas HAM Anis Hidayah, Plt. Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati, dan Antropolog Geger Rianto.
Komentar
Loading...

