BERITA

KSP: Kelanjutan Kasus Munir Butuh Bukti Baru

"Kelanjutan dari kasus Munir pada 2004 silam bergantung pada proses hukum yang tengah berjalan."

Sadida Hafsyah

Kasus Munir
Istri Munir, Suciwati mengenakan topeng Munir saat aksi Kamisan di seberang Istana Negara, Jakarta, Kamis (6/9/2018). (Foto: ANTARA/Akbar Nugroho)

KBR, Jakarta - Kantor Staf Presiden menganggap kelanjutan kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib membutuhkan bukti-bukti baru yang mendukung penyelesaian kasus berjalan secara progresif.

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Siti Ruhaini Dzuhayatin mengatakan kelanjutan dari kasus Munir pada 2004 silam bergantung pada proses hukum yang tengah berjalan.

"Kalau masalah Munir ini sangat bergantung pada masalah, proses-proses yang dulu sudah dilakukan. Sebetulnya ini sudah ada proses hukum, yang menghukum Polycarpus. Untuk kasus-kasus yang selanjutnya, tentu ini sangat bergantung pada proses yudisialnya. Dan itu tentu membutuhkan adanya bukti-bukti dan sebagainya. Tapi secara umum pemerintah sangat terbuka jika itu dimungkinkan lagi," kata Ruhaini saat dihubungi KBR, Kamis (9/12/2021).

Munir Said Thalib tewas dibunuh dengan racun arsenik saat perjalanan dari Jakarta menuju Belanda, pada 7 September 2004, pada usia 38 tahun. Pilot maskapai Garuda Indonesia Pollycarpus Budihari Prijanto divonis 14 tahun penjara atas tuduhan terlibat pembunuhan berencana terhadap Munir. Sementara, bekas Direktur Utama PT Garuda Indonesia Indra Setiawan divonis 1 tahun penjara. 

Namun, dalang dibalik pembunuhan berencana itu tidak terungkap. Meskipun Tim Pencari Fakta kasus Munir bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merekomendasikan pembentukan tim yang lebih kuat lagi untuk mengungkap dalangnya.

Baca juga:

Komitmen

Siti Ruhaini Dzuhayatin menyebut pemerintah terbuka terhadap upaya penyelesaian kasus Munir. Sayang, ia tak secara gamblang mengungkapkan langkah apa yang akan dilakukan Presiden Joko Widodo dalam menjalankan komitmennya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.

Ia mengklaim Jokowi memiliki komitmen yang kuat untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Tetapi ada kesulitan-kesulitan yang dihadapi, baik oleh Jokowi maupun presiden sebelumnya.

"Karena memang proses yang bersifat yudisial itu terkendala beberapa pembuktian. Sampai saat ini pemerintah tetap menjadikan itu prioritas. Presiden juga sudah memberikan arahan untuk dilanjutkan perintah dari Mahkamah Konstitusi untuk membuat lagi Undang-Undang KKR, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi," katanya.

Di sisi lain, pemerintah juga mendorong penyelesaian kasus pelanggaran HAM secara nonyudisial.

"Proses pencarian fakta yang itu sebetulnya tidak perlu dari awal karena Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sudah memiliki datanya. Dan juga ada satu pernyataan bahwa telah terjadi kasus diduga itu pelanggaran HAM berat di masa lalu. Dan juga dilakukan upaya-upaya yang sifatnya reparasi dari hak-hak korban, rehabilitasi, dan pemulihan hak korban. Terutama yang terkait dengan masalah finansial," katanya.

Selain itu, kata dia, pemerintah sedang mengupayakan agar Presiden Joko Widodo mengeluarkan Surat Presiden (Surpres) terkait ratifikasi Anti Penghilangan Paksa. Tetapi belum dapat memastikan Surpres tersebut keluar tepat pada Hari HAM Internasional, 10 Desember 2022.

"Kalau misalnya masih membutuhkan proses menelaah ulang. Karena bagaimana pun ratifikasi konvensi ini sudah pernah diajukan ke DPR pada tahun 2013. Tetapi karena waktunya sangat pendek, ada salah satu fraksi yang meminta waktu untuk mempelajari. Dan waktu itu terputus dengan Pilpres, tahun 2014 belum sempat lagi diajukan. Tahun ini pemerintah mencoba mengajukan kembali. Semoga itu dapat segera diserahkan ke DPR," tuturnya.

Baca juga:

Editor: Agus Luqman

  • munir
  • KSP
  • hak asasi manusia

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!