NASIONAL
Tambang Nikel Jadi Ancaman Nyata Kerusakan Lingkungan di Raja Ampat
"Karena orang datang ke Raja Ampat salah satunya adalah untuk scuba diving dan snorkeling, dan yang paling banyak dijual dalam konteks pariwisata itu adalah wisata bahari,"

KBR, Jakarta- Aktivitas tambang belum berhenti menekan lingkungan. Eksploitasi nikel kini mulai mengancam kelestarian alam Raja Ampat, Papua Barat.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik mengatakan dampak terbesar dari tambang nikel adalah kerusakan ekosistem.
Iqbal menyebut proses pembukaan lahan dan deforestasi menyebabkan sedimentasi yang mengalir ke wilayah pesisir dan mengancam keberadaan terumbu karang. Padahal, terumbu karang merupakan daya tarik utama pariwisata bahari Raja Ampat dan menjadi tumpuan ekonomi masyarakat lokal.
"Dampak yang paling parah kerusakan ekosistemnya. Jadi ada pembukaan lahan, ada deforestasi di situ, ketika lahan dibuka akan ada sedimentasi, itu akan menyebabkan sedimentasi di wilayah pesisir, dan itu memungkinkan untuk membunuh atau menghancurkan karang-karang yang ada di sana. Terumbu karang di Raja Ampat itu adalah ikonik Raja Ampat yang menjadi dasar dari penghidupan masyarakat sekitar," ujar Iqbal kepada KBR Media, Rabu (4/6/2025).
Iqbal mengatakan konflik antara kepentingan pariwisata dan tambang semakin mencuat. Kehadiran tambang di tengah kawasan wisata dikhawatirkan akan mematikan sumber mata pencaharian warga.
Selain itu, beberapa tambang diketahui beroperasi di pulau-pulau kecil yang secara hukum seharusnya tidak boleh ditambang, mengingat status perlindungannya.
"Karena orang datang ke Raja Ampat salah satunya adalah untuk scuba diving dan snorkeling, dan yang paling banyak dijual dalam konteks pariwisata itu adalah wisata bahari, di mana keunggulan dari terumbu-terumbu karang yang sangat bagus dan sangat indah sekali di Raja Ampat," ungkapnya.
"Selain itu tentu masyarakat akan kehilangan potensi pendapatannya, makanya sekarang banyak konflik penolakan dari masyarakat terhadap tambang di Raja Ampat. Bayangkan bagaimana mungkin tempat pariwisata bersama dengan tempat-tempat tambang," tambahnya.
Sejumlah perusahaan kendaraan listrik, seperti Tesla, Ford, dan Volkswagen yang memiliki kontrak untuk memasok nikel dari Indonesia harus memastikan bahwa nikel yang mereka gunakan tidak berasal dari wilayah yang rusak secara ekologis atau melanggar hukum.
"Kalau dari kita adalah lebih kepada bagaimana kemudian Tesla bisa memastikan bahwa nikel yang mereka dapatkan tidak melalui proses kerusakan lingkungan hidup dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Termasuk penggalangan pelanggaran Undang-undang ya bahwa nikel dari Raja Ampat misalnya atau dari tempat-tempat lain yang itu secara aturan tidak diperkenankan untuk ditambang," katanya.

Peluang mendorong transisi energi yang lebih ramah lingkungan memang ada. Iqbal mengatakan hanya sekitar 11 persen nikel Indonesia digunakan untuk baterai kendaraan listrik.
Ia menyarankan penggunaan baterai lebih difokuskan untuk menyimpan energi dari pembangkit listrik terbarukan, guna menggantikan ketergantungan pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
"Tentu, tentu ada peluang, tapi kalau kita lihat sebenarnya nikel di Indonesia ini hanya sekitar 11 persen yang dipakai untuk electric vehicle, untuk baterai. Kalau mau sebenarnya transisi yang lebih bersih, baterai yang dipakai itu sebenarnya adalah storage untuk pembangkit-pembangkit listrik renewable energy, sehingga bisa menggantikan batu bara. Itu baru sebenarnya upaya untuk transisi energi yang lebih baik," ujarnya.
"Jadi transisi energi yang lebih baik dalam hal ini, baiknya adalah mengganti energi listrik yang berasal dari PLTU kepada renewable energy atau energi terbarukan. Itu baru yang namanya the real atau benar-benar transisi energi," pungkasnya.
Aktivis Greenpeace Gelar Aksi Suarakan Imbas Hilirisasi Nikel
Sebelumnya, aktivis Greenpeace Indonesia bersama empat anak muda Papua dari Raja Ampat menggelar aksi damai menyuarakan dampak buruk pertambangan dan hilirisasi nikel bagi lingkungan hidup dan masyarakat.
Aksi itu dilakukan saat Wakil Menteri Luar Negeri, Arief Havas Oegroseno, berpidato dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference 2025, Selasa (3/6/2025), di Jakarta.
Mereka menerbangkan banner bertuliskan “What’s the True Cost of Your Nickel?”, serta membentangkan spanduk dengan pesan “Nickel Mines Destroy Lives” dan “Save Raja Ampat from Nickel Mining”.
Bukan hanya di ruang konferensi, aktivis Greenpeace Indonesia dan anak muda Papua juga membentangkan banner di exhibition area yang terletak di luar ruang konferensi. Pesan-pesan lain yang berbunyi “What’s the True Cost of Your Nickel”, “Nickel Mines Destroy Lives”, dan “Save Raja Ampat the Last Paradise” terpampang di antara gerai-gerai dan para pengunjung pameran.
"Kondisinya aksi kemarin kami bersuara gitu soal perlindungan Raja Ampat dari penambangan nikel, karena saat ini sudah ada sekitar 5 izin aktif dan 11 izin yang mungkin untuk direaktifasi di Raja Ampat. Ada 4 aktivis yang di dalam, ada saya, terus ada kawan dari Papua," ujar Iqbal.
"Sejauh ini kami nggak dapat respon langsung, belum ada. Tidak tahu apakah ini menanggapi aksi itu atau tidak. Tapi dari media katanya Menteri ESDM Bahlil tidak akan mundur untuk hilirisasi nikel, meskipun ada kritik dari asing katanya sih begitu. Padahal, ini ya suara Greenpeace dan tentu masyarakat Papua ya," ungkapnya.

Masyarakat Papua Khawatir Tambang Nikel Rusak Lingkungan
Anak muda Papua yang tergabung dalam Aliansi Jaga Alam Raja Ampat, Ronisel Mambrasar mengatakan kerusakan lingkungan di Raja Ampat telah dirasakan secara nyata, terutama di Kampung Gag atau Pulau Gag yang menjadi lokasi pertambangan nikel. Ia mengatakan aktivitas tambang menyebabkan kerusakan terumbu karang, ekosistem laut, sedimentasi, dan pencemaran limbah tambang.
Akibat dari semua itu, masyarakat mengalami penurunan hasil tangkapan ikan dan sektor pariwisata pun terancam. Beberapa perusahaan lain juga tengah aktif melakukan eksplorasi di pulau Kawei, Manuram, Batang Pele, dan Manyasifun.
"Dampak pada masyarakat lokal penurunan hasil tangkapan ikan dan parawisata terancam kerusakan lingkungan. Begitupun juga PT Kawei Mining di Pulau Kawei, PT Anugerah Surya Pratama di Pulau Manuran dan sementara PT Mulia Raimond Perkasa yang baru melakukan ekspolasi di Pulau Batang pele dan Manyaifun," ujar Ronisel Mambrasar kepada KBR Media, Rabu (4/6/2025).
Ronisel khawatir tambang akan merusak hutan, sungai, dan laut yang merupakan sumber utama kehidupan masyarakat lokal. Ia juga menyinggung soal penggusuran tanah adat dan dampak kesehatan yang bisa ditimbulkan, termasuk gangguan pernapasan dan kulit.
"Kekawatiran paling besar adalah kerusakan lingkungan, tambang nikel akan merusak hutan, sungai, laut yang merupakan sumber kehidupan masyarakat lokal, penggusuran tanah adat, dan dampak pada kesehatan," imbuhnya.
Ronisel mengatakan di Pulau Manyasifun dan Batang Pele, warga tidak mendapatkan undangan terbuka untuk berdialog mengenai rencana tambang. Ia juga membantah klaim bahwa tambang menciptakan lapangan kerja yang signifikan bagi masyarakat adat.
Menurutnya, masyarakat lebih memilih membangun usaha homestay untuk keberlanjutan ekonomi yang lebih ramah lingkungan.
"Sejauh ini belum maksimal, misalnya masyarakat di Manyaifun dan Batang Pele tidak ada undangan secara terbuka oleh perusahaan untuk melakukan pertemuan. Kehadiran tambang tidak memberi peluang kerja secara maksimal kepada masyarakat adat dan juga masyarakat terdampak lainnya di sekitaran lokasi tambang," ungkapnya.
Menurut Ronisel, pembangunan harus berdasarkan kebutuhan dan prioritas masyarakat lokal dan mengutamakan kelestarian lingkungan. Ia mengatakan alam dapat dimanfaatkan secara lestari melalui pariwisata.
"Pembangunan dan kebutuhan masyarakat adalah berbasis pada kebutuhan lokal, mempertimbangan kebutuhan dan prioritas masyarakat lokal. Mengutamakan kelestarian lingkungan dan sumber daya alam. Dengan demikian kita bisa manfaatkan alam kita dengan cara membangun usaha homestay dan juga masih banyak cara lainya," pungkasnya.

Tambang di Pulau Kecil Melanggar Undang-undang
Dikutip dari Greenpeace, terdapat aktivitas pertambangan di sejumlah pulau di Raja Ampat, di antaranya di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran. Ketiga pulau itu termasuk kategori pulau-pulau kecil yang sebenarnya tak boleh ditambang menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil.
Eksploitasi nikel di ketiga pulau itu telah membabat lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami khas. Beragam limpasan tanah yang memicu sedimentasi di pesisir–yang berpotensi merusak karang dan ekosistem perairan Raja Ampat–akibat pembabatan hutan dan pengerukan tanah.
Selain Pulau Gag, Kawe, dan Manuran, pulau kecil lain di Raja Ampat yang terancam tambang nikel ialah Pulau Batang Pele dan Manyaifun. Kedua pulau yang bersebelahan ini berjarak kurang lebih 30 kilometer dari Piaynemo, gugusan bukit karst yang gambarnya terpacak di uang pecahan Rp100 ribu.
Raja Ampat, yang sering disebut sebagai ‘surga terakhir di Bumi’, terkenal karena kekayaan keanekaragaman hayati baik di darat maupun di lautnya. Perairan Raja Ampat merupakan rumah bagi 75 persen spesies coral dunia dan punya lebih dari 2.500 spesies ikan.
Daratan Raja Ampat memiliki 47 spesies mamalia dan 274 spesies burung. UNESCO juga telah menetapkan kawasan Raja Ampat sebagai global geopark.

Respons Pemerintah lewat Kementerian ESDM
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memutuskan untuk menghentikan sementara operasi pertambangan nikel dari PT GAG Nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya.
"Kami untuk sementara, kita hentikan operasinya sampai dengan verifikasi lapangan," ujar Bahlil dalam jumpa pers di Kantor Kementerian ESDM Jakarta, Kamis (5/6/2025), dikutip dari ANTARA.
Menurut Bahlil, perusahaan tersebut baru bisa beroperasi lagi sampai hasil verifikasi dari Kementerian ESDM keluar.
Bahlil mengatakan, pihaknya segera turun langsung ke lokasi di lapangan untuk melihat kondisi yang sebenarnya terjadi. Ia pun sudah dijadwalkan untuk meninjau lokasi tambang nikel tersebut.
"Untuk sementara kegiatan produksinya disetop dulu, sampai menunggu hasil peninjauan verifikasi dari tim saya," imbuhnya.
Sebelumnya, Bahlil menyebut akan memanggil pemegang izin tambang nikel di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya, untuk melakukan evaluasi aktivitas pertambangan.
“Saya akan evaluasi, akan ada rapat dengan dirjen saya. Saya akan panggil pemiliknya, mau BUMN atau swasta,” ucap Bahlil ketika ditemui setelah menghadiri Human Capital Summit di Jakarta, Selasa (3/6).
Bahlil melihat ada kearifan-kearifan lokal yang belum disentuh dengan baik dalam pelaksanaan aktivitas pertambangan.
Di sisi lain, Bahlil mengungkapkan terdapat aspirasi masyarakat Papua yang menginginkan pembangunan smelter di sana.
Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol Nurofiq menyampaikan akan melakukan tinjauan terkait laporan kegiatan penambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, dan tidak mengesampingkan kemungkinan langkah hukum dalam menindaklanjutinya.
"Raja Ampat juga kami teliti, sudah kami lakukan mapping, secepatnya kami akan ke sana," kata Menteri LH/Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Hanif Faisol Nurofiq berbicara usai puncak peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025 di Kabupaten Badung, Bali, Kamis (5/6).
"Atau paling tidak kami akan segerakan mengambil langkah-langkah hukum terkait dengan kegiatan Raja Ampat setelah melalui kajian-kajian," tambahnya.
Langkah itu diambil setelah sejumlah pihak mengecam aktivitas pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat, yang dikhawatirkan berdampak terhadap lingkungan sekitar.
Mengingat Raja Ampat merupakan salah satu lokasi wisata unggulan di Indonesia, yang menjadi daya tarik bagi wisatawan domestik maupun asing.

Bahlil Kunjungi Raja Ampat
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengecek langsung tambang nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat Daya, sebagai respons dari protes masyarakat dan sekaligus untuk mendapat gambaran objektif dari kondisi di lapangan.
"Saya datang ke sini untuk mengecek langsung, untuk melihat secara objektif apa yang sebenarnya terjadi," kata Bahlil ketika dijumpai di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat Daya, Sabtu.
Adapun hasil dari tinjauan langsungnya akan disampaikan oleh tim Kementerian ESDM.
"Nanti, hasilnya akan dikabari tim saya," kata Bahlil.
Sekitar 73% Luas Pulau Kabaena Terbebani Izin Tambang Nikel
Ambisi pemerintah untuk menggenjot hilirisasi nikel masih menjadi momok, terutama bagi pulau-pulau kecil yang memiliki cadangan nikel melimpah. Salah satunya Pulau Kabaena di Sulawesi Tenggara. Saat ini, sekitar 73 persen atau 650 km² dari total luas wilayah Kabaena yang mencapai 891 km² telah terisi puluhan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Kabaena secara konstitusional dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU No.1/2014), secara tegas melarang kegiatan pertambangan di pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari 2.000 km².
Tambang nikel di Kabaena ada lebih dari 10 tahun lalu saat disahkannya revisi tata ruang Sultra yang menurunkan status hutan kawasan hutan lindung. Tepatnya pada 2010, Nur Alam, Gubernur Sulawesi Tenggara menurunkan status hutan kawasan hutan lindung menjadi hutan produksi. Penetapannya disahkan melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan Nomor SK.465/Menhut-II/2011.
Menurut laporan Satya Bumi dan Walhi, Kabaena adalah rumah bagi suku Bajau, suku nomaden laut terakhir di dunia yang memiliki tradisi berkaitan dengan laut sejak ratusan tahun yang lalu. Suku Bajau dikenal dengan kemahiran dalam menyelam dan sangat bergantung pada laut untuk hidup, evolusi fisiologis orang Bajau membuat mereka bisa menyelam hingga kedalaman tiga puluh meter tanpa alat bantu pernapasan.
Suku Bajau banyak ditemukan di Sulawesi Tenggara, Indonesia, salah satunya di Pulau Kabaena. Namun, keberadaan mereka terancam oleh kehancuran lingkungan akibat aktivitas pertambangan nikel.
"Ini menjadi masalah serius karena tidak hanya mengancam cara hidup tradisional suku Bajau, tetapi juga merusak ekosistem laut sebagai penghidupan mereka. Upaya untuk mengatasi masalah ini harus mengutamakan perlindungan terhadap lingkungan dan masyarakat adat yang tinggal di Pulau Kabaena," tulis laporan Satya Bumi dan Walhi.
Suku Bajau tinggal di rumah panggung di atas laut dan cenderung hidup bersama kelompok mereka. Suku Bajau sangat bergantung pada sektor perikanan sebagai pencaharian mereka. Mereka menangkap ikan secara tradisional dengan menyelam hingga 30 meter atau menggunakan alat panah tradisional.
"Mayoritas suku Bajau adalah nelayan yang menjual hasil tangkapan mereka atau menukarnya dengan kebutuhan pokok lainnya," tulis pernyataan itu.

Pulau Halmahera Tengah
Pulau Halmahera merupakan salah satu 'Pulau Rempah', rumah bagi pala, fuli, cengkeh, dan berbagai produk lain yang menarik minat kolonial Eropa untuk datang ke wilayah ini sejak abad ke-16.
Pulau ini sebagian besar merupakan hutan, bergunung-gunung, serta memiliki sedikit penduduk. Kepulauan Maluku adalah rumah bagi populasi yang beragam, dengan sekitar 28 kelompok etnis dan bahasa, termasuk Sawai dan Tobelo.
Berdasarkan Laporan Climate Rights International (SRI), macam-macam kepentingan pihak luar kini kembali mengincar sumber daya alam Halmahera.
"Pada tahun 2018, pembangunan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) dimulai, sebuah kompleks industri bernilai miliaran dolar AS seluas 5.000 hektar yang berlokasi di Desa Lelilef, Halmahera Tengah, Maluku Utara," tulis laporan SRI.
WIP dibangun dengan sangat cepat, mulai beroperasi pada tahun 2020, kurang dari dua tahun setelah proyek ini diumumkan. Daerah pegunungan di sebelah utara kawasan industri ini kaya akan cadangan nikel.
"Selain emisi gas rumah kaca dari pembangkit listrik tenaga batu bara di IWIP, pertambangan nikel di dekatnya juga menjadi pemicu deforestasi yang signifikan, yang merupakan penyebab lain dari krisis iklim dan musnahnya keanekaragaman hayati," tambah laporan SRI.
Dengan menggunakan analisis geospasial, Climate Rights International (CRI) dan AI Climate Initiative di University of California, Berkeley, menetapkan bahwa setidaknya 5.331 hektar hutan tropis telah ditebang di dalam konsesi pertambangan nikel di Halmahera, yang berarti hilangnya sekitar 2,04 juta metrik ton gas rumah kaca (CO2e) yang sebelumnya tersimpan dalam bentuk karbon di dalam hutan-hutan tersebut.
"Penebangan hutan yang menjadi-jadi, pencemaran udara serta air, dan perusakan habitat akibat kegiatan pertambangan dan peleburan nikel telah secara serius merusak lingkungan," tulis pernyataan SRI.
Kegiatan penambangan dan peleburan nikel mengancam hak penduduk setempat untuk mendapatkan air minum yang bersih dan aman, karena kegiatan industri dan deforestasi mencemari saluran air yang menjadi tumpuan masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
"Masyarakat juga mengkhawatirkan bencana banjir yang semakin sering terjadi akibat deforestasi yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan nikel," jelas pernyataan SRI.
Indonesia Disebut sebagai Produsen Nikel Terbesar di Dunia
Indonesia sebagai produsen nikel terbesar di dunia, terus meningkatkan produksinya. Mengutip data dari Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) produksi nasional pada 2025 mencapai 298,5 juta metrik ton basah, naik dari 272 juta metrik ton pada tahun sebelumnya.
"Peningkatan produksi ini berkontribusi pada kelebihan pasokan global, yang diperkirakan mencapai 156.000 metrik ton tahun ini," tulis APNI.
Di hampir seluruh negeri, sedang dibangun kawasan industri nikel secara besar-besaran. Bijih nikel dimurnikan menjadi bahan aplikasi industri dan produk konsumen. Permintaan nikel telah meroket beberapa tahun terakhir seiring meningkatnya penggunaan teknologi energi terbarukan, baterai kendaraan listrik.
Demi mencapai transisi ke kendaraan listrik untuk mengurangi jejak karbon dari industri otomotif, peleburan nikel di IWIP menghasilkan jejak karbon yang sangat besar.
IWIP telah membangun setidaknya lima pembangkit listrik tenaga batu bara dan pada akhirnya akan menjadi rumah bagi dua belas pembangkit listrik tenaga batu bara yang baru.
Pembangunan ini menghasilkan sekitar 3,78 gigawatt per tahun dengan membakar batu bara berkualitas rendah dari Kalimantan. Setelah beroperasi penuh, segenap pembangkit listrik ini akan memakai lebih banyak batu bara dibandingkan dengan Spanyol atau Brasil dalam satu tahun.

Kolaborasi Perusakan Domestik dan Asing Dorong Kerusakan Lingkungan
Mengutip dari laporan Climate Rights International (CRI),kerusakan yang berdampak pada masyarakat lokal dan lingkungan ini disebabkan oleh aktivitas puluhan perusahaan domestik dan asing yang bergerak di bidang pertambangan dan pemurnian nikel di Halmahera Tengah dan Timur, termasuk IWIP.
IWIP adalah gabungan dari tiga perusahaan swasta yang berkantor pusat di Republik Rakyat Tiongkok: Tsingshan Holding Group, Huayou Cobalt Group, dan Zhenshi Holding Group.
"Selain ketiga pemegang saham ini, ada semakin banyak perusahaan yang telah mengumumkan rencana untuk membangun fasilitas industri di kawasan IWIP untuk memproduksi bahan nikel yang dibutuhkan untuk baterai EV," tulis laporan CRI.
Eramet dan BASF telah mengumumkan rencana untuk membangun fasilitas pemurnian nikel dan kobalt, yang disebut Sonic Bay, yang akan menghasilkan 67.000 ton nikel dan 7.500 ton kobalt per tahun, dengan menggunakan teknologi pelindian asam bertekanan tinggi (HPAL) yang berpotensi menimbulkan bahaya.
"Selain itu, perusahaan raksasa Korea Selatan, POSCO, telah mengumumkan rencana pembangunan pabrik senilai $441 juta di kawasan IWIP dengan kapasitas produksi mencapai 52.000 metrik ton nikel olahan per tahun, yang cukup untuk memproduksi sekitar satu juta mobil listrik," tambah pernyataan CRI.
Baca juga:
- Simbara Awasi Pengelolaan Nikel dan Timah, Menkeu: Untuk Kemakmuran Rakyat
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!
Nita VR 12 days ago
Sangat memprihatinkan mengetahui bahwa para pejabat/ pemimpin negara tidak memperhatikan kepentingan rakyat. Dalam hal ini warga Papua.