kondisi ini diperparah oleh gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal sepanjang tahun 2024, yang menyebabkan banyak pekerja kehilangan sumber pendapatan mereka.
Penulis: Hoirunnisa, Astri Septiani
Editor: Muthia Kusuma

KBR, Jakarta- Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI) menyoroti penurunan daya beli buruh dan masyarakat yang dinilai semakin memburuk sejak pandemi Covid-19.
Presiden ASPIRASI, Mirah Sumirat mengatakan, kondisi ini diperparah oleh gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal sepanjang tahun 2024, yang menyebabkan banyak pekerja kehilangan sumber pendapatan mereka.
"Banyak kawan-kawan kelas menengah ini yang kemudian ter-PHK sehingga kemudian sudah upahnya rendah, dia ter-PHK lalu kemudian harga pangan tinggi, harga pangan sembako tinggi sehingga mengakibatkan makin memperkuat daya beli masyarakat dan khususnya para pekerja buruh itu sangat rendah. Yang paling berkontribusi paling besar adalah karena PHK massal itu mereka kemudian tidak punya pendapatan lagi sehingga kemudian mereka kesulitan untuk menaikkan daya beli mereka," kata Mirah kepada KBR, Rabu (05/02/25).
Presiden ASPIRASI, Mirah Sumirat menambahkan, kelompok buruh pesimistis terhadap kebijakan pemerintah Prabowo dalam upaya mendongkrak daya beli masyarakat yang melemah. Ia mendorong pemerintah untuk menekan harga pangan, serta mengendalikan stabilitas harga agar masyarakat memiliki akses terhadap kebutuhan pokok dengan harga terjangkau.
Selain itu, ia juga menekankan pentingnya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme guna meningkatkan kepercayaan investor dan memperlancar roda perekonomian. Dengan begitu, pemerintah diharapkan dapat menciptakan lebih banyak lapangan kerja serta mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang terampil guna menghadapi tantangan ekonomi ke depan.
Baca juga:
Di lain pihak, Ketua Asosiasi Industri Usaha Mikro Kecil dan Menengah Indonesia (Akumandiri), Hermawati Setyorinny, menyoroti masih lesunya konsumsi rumah tangga yang berdampak langsung pada penurunan pendapatan pelaku UMKM. Selain harga barang yang semakin mahal, masuknya produk impor secara masif juga memperberat persaingan bagi pelaku usaha kecil di dalam negeri.
Hermawati menilai pemerintah perlu mengambil langkah tegas untuk melindungi UMKM, salah satunya dengan membatasi impor produk tertentu, seperti kosmetik dan perlengkapan rumah tangga.
Selain itu, tantangan lain yang dihadapi pelaku UMKM adalah meningkatnya ongkos produksi, terutama akibat kelangkaan bahan baku seperti gas elpiji yang sempat terjadi beberapa waktu lalu. Kondisi ini menyebabkan sebagian pelaku usaha terpaksa berhenti berjualan karena kesulitan mendapatkan bahan bakar untuk produksi.
Lebih lanjut, Hermawati berharap program ekonomi pemerintahan Prabowo benar-benar berpihak kepada UMKM. Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah memastikan ketersediaan bahan baku dengan harga yang lebih stabil agar biaya produksi dapat ditekan. Selain itu, ia juga menekankan pentingnya sosialisasi kebijakan pemerintah kepada pelaku usaha, serta kemudahan akses permodalan.
Hermawati mengatakan, saat ini, banyak pelaku UMKM yang kesulitan mendapatkan pinjaman dari perbankan karena syarat yang ketat, sehingga terpaksa beralih ke pinjaman online (pinjol). Ia mengingatkan pemerintah untuk lebih serius dalam memberikan literasi keuangan serta dukungan kebijakan yang lebih konkret bagi sektor UMKM agar dapat bertahan di tengah kondisi ekonomi yang menantang.
Baca juga:
Pertumbuhan ekonomi 2024
Ekonomi Indonesia pada 2024 tumbuh sebesar 5,03 persen secara tahunan (year on year), melambat tipis dibandingkan tahun 2023 yang tumbuh 5,05 persen.
Salah satu faktor utama yang berkontribusi terhadap perlambatan ini adalah konsumsi rumah tangga, tidak mencapai 5 persen, atau hanya tumbuh 4,98 persen. Padahal, konsumsi rumah tangga merupakan komponen terbesar dalam Produk Domestik Bruto (PDB) dengan kontribusi lebih dari 50 persen.
Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mencatat, sektor produksi yang menopang pertumbuhan ekonomi tahun lalu adalah industri pengolahan, konstruksi, dan perdagangan.
Dari sisi pengeluaran, selain konsumsi rumah tangga, investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) juga menjadi penyumbang utama pertumbuhan ekonomi, dengan pertumbuhan sebesar 5,03 persen. Namun, meskipun investasi menunjukkan tren positif, konsumsi rumah tangga yang lesu tetap menjadi tantangan besar dalam menjaga momentum pertumbuhan ekonomi
"Komponen pengeluaran yang memberikan kontribusi terbesar terhadap PDB adalah konsumsi rumah tangga dengan kontribusi sebesar 53,71 persen dan tumbuh sebesar 4,98 persen. Selanjutnya disusul oleh PMTB yang memberikan kontribusi sebesar 30,12 persen dan pertumbuhannya sebesar 5,03 persen," kata dia saat konferensi pers daring (05/02/25).
Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti juga mencatat data Indeks Harga Konsumen (IHK) yang menunjukkan deflasi sebesar 0,76 persen pada Januari 2025, penurunan terdalam sejak Agustus 1999. Deflasi ini terjadi di tengah kebijakan pemerintah yang memberikan diskon tarif listrik, kenaikan harga BBM non-subsidi, serta lonjakan harga produk tembakau.