SAGA
"Pendidikan inklusif bagi penyandang disabilitas masih langka. Banyak anggapan difabel seperti tunanetra tak bakal mengerti sains."
Murid-murid tunanetra SMA belajar membuat es krim di Science Outing Class, Farmfield, Bogor, Sabtu (11/11/2023). (Foto: Nafisa/KBR)
KBR, Bogor - Siang itu, kawasan wisata alam Farmfield di Bogor, Jawa Barat, berubah menjadi ruang kelas, bagi 30 siswa tunanetra. Mereka tengah belajar kimia. Bukan di laboratorium, tetapi di tempat terbuka.
Para siswa dibagi dalam kelompok berdasarkan jenjang pendidikan, SD, SMP, dan SMA. Tiap kelompok didampingi 4 guru.
Murid-murid SD belajar bagaimana menggelembungkan balon karet, tanpa dipompa atau ditiup. Caranya dengan mencampur soda kue dan cuka, sehingga menghasilkan gas untuk mengembangkan balon.
Iqbal, salah satu siswa, antusias mempraktikkan pengetahuan barunya. Ia juga fasih menjelaskan.
“Seru! Nggak nyangka ternyata bisa jadi balon, gede balonnya. Yang pertama, siapkan corong. Yang kedua, siapkan balon yang masih kempes. Ketiga, ikatkan mulut balon pada bagian gagang corong. Lalu tuangkan soda kue, terserah mau berapa sendok,” ujar Iqbal menerangkan.
Baca juga:
KUHP Baru dan Beban Berlipat Aktivis Peduli HIV/AIDS (Bagian 1)
KUHP Baru dan Beban Berlipat Aktivis Peduli HIV/AIDS (Bagian 2)
Dua murid tunanetra tengah belajar mengelembungkan balon menggunakan soda kue dan cuka. (Foto: Nafisa/KBR)
Kelompok lain belajar membuat es krim dari aneka bahan yang mudah ditemukan di rumah. Seperti kaleng biskuit, baskom, es batu, garam, susu, dan gula.
Raihan, di kelompok SMA, terkesan, ternyata sains itu dekat, ada di sekitarnya.
“Sains yang awalnya saya kira ini pusing, rumit, ternyata setelah kita melakukan dengan cara menyenangkan, saya jadi memelajari mulai dari hal kecil. Hal kecil yang biasanya saya remehkan, kayak cuma ini, cuma itu, jadi kayak oh, ternyata detailnya seperti ini. Jadi saya juga punya pengetahuan baru,” tutur Raihan.
Pembelajaran sains di luar kelas (science outing class) ini diadakan Yayasan Mitra Netra, di Kuntum Farmfield, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (11/11/2023).
“Supaya mereka dapat fun, bisa mengaitkan kenyataan dengan teori, dan termotivasi, sehingga akan menghujam ke hati. Pasti akan menjadi kenangan. Jangan-jangan dia akan suka pelajaran ini. Ini kan pelajaran yang mereka nggak pernah tahu dan takuti,” kata Ketua Yayasan Mitra Netra Bambang Basuki.
Bambang berujar, metode pengajarannya disesuaikan dengan kebutuhan anak-anak tunanetra.
“Kalau orang-orang yang awas, di sekolah ada laboratoriumnya, dia bisa lihat, bisa mengalaminya. Tunanetra kan nggak bisa. Maka harus ada layanan akomodasi. Misalnya, ada proses kimia, itu ada muncul asap, warnanya apa, kalau bau, dia (tunanetra) bisa deteksi kan. Kalau yang tadi, ada proses, gelembung-gelembung dan semua itu diceritakan,” imbuh Bambang.
Ketua Yayasan Mitra Netra memberikan sambutan ada science outing class di Farmfield, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (11/11/2023). (Foto: Nafisa/KBR)
Yayasan Mitra Netra menggandeng Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Guru-guru pendampingnya adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Kimia.
Edith Allanas, dosen Pendidikan Kimia UNJ menuturkan, sains lebih mudah diajarkan ke anak lewat contoh-contoh yang dekat dengan keseharian mereka.
“Sains itu menarik ya. Memang dikenalkan yang dekat, apa yang pernah kita lakukan dalam kegiatan sehari-hari. Apa yang kita makan, kita minum juga hubungannya dengan sains, prosesnya juga dengan sains. Misalkan suka makan es krim, ternyata bisa juga buat secara manual ya. Nanti bisa kita hubungkan dengan teori-teori sainsnya,” kata Edith.
Hal yang sama berlaku pada anak dengan kebutuhan khusus seperti penyandang disabilitas. Kuncinya ada pada kapasitas guru dan metode pembelajaran yang diterapkan.
“Guru-guru siswa inklusi itu belum banyak. Padahal mereka ini berpotensi sekali untuk mengembangkan. Bisalah beradaptasi, tapi tidak difasilitasi. Di Yayasan Mitra Netra, sudah memfasilitasi teman-teman (tuna)netra ini belajar lebih dalam lagi tentang sains. Apalagi guru-gurunya suka diberikan workshop, lokakarya, seminar-seminar untuk siswa-siswa inklusi,” lanjut Edith.
Bambang bilang, tunanetra dan penyandang disabilitas lain, berhak mendapat pembelajaran terbaik, di semua bidang. Selama ini, ada anggapan penyandang disabilitas tak bakal mampu belajar sains.
“Sudah banyak tunanetra yang menjadi sarjana, bahkan master, ada juga yang doktor. Tapi bidangnya adalah sosial atau humanior, bukan bidang-bidang yang ada sains, matematika. Jadi ini persoalannya ada dua, bagaimana akses pendidikan, dan bagaimana tunanetra bisa terlayani sesuai dengan kebutuhan khusus mereka,” terang Bambang.
Baca juga: Rumah Aira, Penjaga Asa Anak-Anak dengan HIV/AIDS
Anak-anak tunanetra SMP menuangkan ampas kopi ke dalam cetakan untuk membuat sabun padat. (Foto: Nafisa/KBR)
Pendekatan dan metode pembelajaran inklusif yang diterapkan Yayasan Mitra Netra disukai para orang tua. Sayangnya praktik baik ini masih sulit ditemui di tempat lain.
Hal itu diakui Dania, orang tua siswa, yang sebelumnya tinggal di Bengkulu. Ia dan sang anak pindah ke Jakarta mengikuti suaminya pindah tugas.
“Kalau di kota besar, saya akui sangat luar biasa perhatian pemerintah, dari instansi lain, dari unsur swasta pun, luar biasa, saya rasakan itu, nggak bisa saya ucapkan lagi kata-kata. Saya sampai di sini karena anak saya. Bisa bertemu orang-orang hebat, karena di kampung kita nggak bisa, nggak pernah terpikir. Kayak kemarin dia bisa ketemu ibu-ibu menteri,” tutur Dania sembari terisak.
Bagi Dania, anaknya sangat butuh pendidikan inklusif agar bisa mandiri dan berdaya.
“Apapun kegiatan di Mitra Netra, dia selalu cerita, ‘Ma, aku happy banget lho, kakak-kakaknya, ibu-ibunya baik banget’. Maksudnya dia diterima di lingkungan itu. Saya bisa kok komunikasi normal dengan orang lain walaupun tunanetra. Bagi dia, tunanetra bukan penghalang untuk hidupnya,” ucap Dania.
Di acara tersebut, Yayasan Mitra Netra meluncurkan kampanye bertajuk “We Ring the Bell”. Ini ditandai dengan membunyikan krincingan secara bersamaan. Tuntutannya adalah pendidikan inklusif bagi semua.
“Kita Mitra Netra nggak bisa menyelesaikan sendiri, kita (harus) bergandengan tangan untuk menuju dunia yang lebih inklusif. Maksud (kampanye) ini menggedor kesadaran pemangku kepentingan, kebijakan, di seluruh dunia, bahwa dia harus juga berpartisipasi untuk menyukseskan pendidikan inklusi, pendidikan untuk semua yang sekarang masih masalah,” tutur Bambang.
Penulis: Nafisa Deana
Editor: Ninik Yuniati