SAGA
Sanggar Seroja berfoto bersama usai karnaval mengangkat tema perubahan iklim. Ini hasil kolaborasi dengan GENERATE Project. (Foto: KBR/Ninik).
KBR, Jakarta - Sabtu (23/04/2022) sore di Kelurahan Kampung Duri, Jakarta Barat yang padat.
Serombongan orang berjalan perlahan menyusuri gang-gang sempit, mencuri perhatian warga di kanan-kiri.
Bintang sesungguhnya ada di barisan depan. Empat orang berkostum unik berlenggak-lenggok bak model.
Di antara para pengiring, ada yang membawa poster bertuliskan “Cegah Perubahan Iklim”, “Bumi Ini Semakin Panas” dan “Yuk Diet Sampah Plastik”
Gang sempit itu makin penuh dengan warga yang merubung. Beberapa orang spontan mengeluarkan telepon pintarnya dan mulai merekam aksi tersebut.
Tak ada yang mengeluh, anak-anak malah kegirangan. Motor yang akan melintas pun sabar menanti di belakang rombongan.
Baca juga: Kontribusi Berkelanjutan Selamatkan Terumbu Karang
Empat Trans Superhero, (kiri ke kanan) Pembersih, Pemulih, Penggalangan Dana dan Advokasi. (Foto: tangkapan layar rilis Sanggar Seroja).
Itu adalah karnaval yang digelar Sanggar Seroja, teater yang beranggotakan waria atau transpuan warga Kampung Duri. Karya ini hasil kolaborasi dengan Generate Project yang berbasis di Universitas Leeds, Inggris.
Pada aksi tersebut, mereka menampilkan empat karakter superhero. Tujuannya ingin menggugah kesadaran masyarakat tentang dampak perubahan iklim.
“Aku superhero pemulih. Aku ini angel, kayak hero pemulih buat orang-orang yang butuh, berobat, penyuluhan, aku yang mendampingi ke puskesmas, rumah sakit. Pokoknya yang mengalami perubahan iklim, dia sampai sakit, sampai ke ekonomi sekalipun aku siap mendampingi sebisa dan semampu aku,” kata Anya (29), transpuan Kampung Duri.
Anya memerankan Asih, malaikat transpuan bersenjatakan tongkat batu kristal suci dan tameng antivirus. Kostumnya dibuat dari barang bekas yang didominasi warna putih. Proses merancang hingga produksi memakan waktu dua bulan.
“Ini plastik bubble wrap bekas. Ini kapas, ada sebagian yang baru, ngumpulin. Cuma aku karena ada pekerjaan, jadi ga satu hari full aku ngumpulin. Jadi kayak cuma ngambil weekend Sabtu-Minggu. sebisa mungkin nyari, terus aku kumpul di sanggar. Oh ya, aku libur tanggal sekian, ayo bisa ga kita lanjutin, kumpul nyelesaian ini semua,” tutur Anya yang sudah dua tahun tinggal di Kampung Duri.
Baca juga: Tepis Stigma Janda Dipandang Sebelah Mata
Aksi empat Trans Superhero di jembatan Kampung Duri. Lewat aksi ini mereka ingin mengajak warga andil dalam penyelamatan bumi (Foto: KBR/Ninik).
Selain Asih, sang malaikat pemulih, ada pula trans superhero pembersih, penggalangan dana dan advokasi.
Anya antusias terlibat dalam kampanye perubahan iklim, sebab ia merasakan sendiri dampak nyata pemanasan global.
“Korona apa segala macam itu penyakit perubahan iklim kan. Kedua, aku mau kerja, tiba-tiba dari awal panas, tahu-tahu di tengah jalan hujan, kehujanan sakit. Jadi aku bangga kayak ‘ayo ah kita lebih ke support biar berharap ada kesadaran dari masyarakat’,” tutur dia.
Banjir, jejak kentara dari perubahan iklim juga jadi langganan warga Kampung Duri. Bencana ini mempersulit hidup transpuan seperti Meta, penata rias dan kostum Sanggar Seroja.
“Paling parah tuh (banjir) sedada. Karena aku tinggal di lantai atas, kita ga turun-turun. Dampaknya ga bisa belanja untuk bikin masakan. Jadi kita makan seadanya, cuma mie instan dan itu juga untuk stok sendiri. Ga bisa kerja juga karena kan akses untuk keluarnya ga bisa. Sekarang ada perahu karet, dulu ga ada,” tutur transpuan berusia 40 tahun ini.
Saat banjir melanda, transpuan enggan pindah ke pengungsian. Mereka rentan didiskriminasi kata Koordinator Sanggar Seroja, Rikky M Fajar.
“Dicurigai kalau di toilet laki-laki. Di toilet perempuan juga dipermasalahkan. belum lagi di keluarga apalagi di penampungan masjid. Identitas mereka dipermasalahkan,” kata Rikky.
Baca juga: Pergumulan Penyintas Kusta Lawan Stigma dan Berdaya
Anya memerankan Trans Superhero Pemulih bersama anak-anak Kampung Duri. (Foto: KBR/Ninik).
Kelompok transpuan mendapat beban berlapis.
“Bahkan kita punya tagline lho, perempuan aja kan kayak beban ganda ya, kalau transpuan beban ganda campuran, kelas berat, maraton hehe,” celetuk Rikky.
Meski demikian, kelompok transpuan tak mau berpangku tangan. Mereka ingin berkontribusi untuk mengerem perubahan iklim, tentunya mulai dari diri sendiri.
Sejak Maret 2022, Sanggar Seroja secara bertahap menerapkan perilaku ramah lingkungan di antara anggotanya.
“Tidak menggunakan sedotan. Kita kasih tempat makan, jadi kalau mereka beli mie ayam ga di styrofoam. Kalau beli nasi uduk atau apa, ga di plastik, bawa tempat piring sendiri. Walau masih diteriaki ya 'e pakai styrofoam, ga boleh pakai sedotan, ga boleh pakai ini, ga boleh pakai itu’,” kata Rikky.
Transpuan Sanggar Seroja kini menggunakan galon isi ulang ketimbang mengkonsumsi air minum dalam kemasan.
Kebiasaan itu diakui Meta bisa memangkas pengeluaran.
“Kalau dihitung-hitung, satu botol Rp5 ribu ya. Kita sehari bisa lebih dari lima kan minum botolan yang kecil itu, mahal juga. Perbedaannya ada, lebih irit, agak untunglah. Misalnya Rp5-10 ribu masih bisa disimpan,” ujar Meta.
Baca juga: Berkah Karbon Komunitas Penjaga Hutan Bujang Raba
Anggota Sanggar Seroja membawa tempat minum (tumbler) saat buka puasa bersama di Jakarta Barat. Mereka mulai terbiasa dengan pola hidup ramah lingkungan. (Foto: KBR/Ninik).
Anya mengakui mengubah kebiasaan itu berat di awal. Namun kini ia menjadi pendukung terdepan sikap pro-lingkungan.
“Kalau (dulu) dibilang keberatan ya keberatan. Cuma lama kelamaan ya sadar dan kayak lebih ke kedisiplinan dari sanggar. Pelan-pelan aku terapin ke diri sendiri dan aku terbiasa,” ujar Anya.
Bagi Anya, itu adalah cara transpuan berkontribusi mengurangi dampak perubahan iklim. Ia berharap perubahan perilaku maupun karya Sanggar Seroja bisa menggugah masyarakat luas, untuk turut berperan menyelamatkan bumi.
“Saya tidak berharap untuk kalian mengikuti apa yang kita contohkan. Setidaknya lihatlah kita susah payah, kita peduli terhadap kalian, kita rela keringatan,ini panas lho masyarakat, ini limbah kalian, ya masak ga ada kesadaran sedikit sih. Dengan kesadaran sedikit Insya Allah terbiasa,” tutup Anya.
Penulis: Ninik Yuniati