Article Image

SAGA

Pilah Sampah Mandiri, Warga Sukaluyu Tak Terdampak Kebakaran TPA Sarimukti

"RW 09 Sukaluyu Bandung sejak 2015 belajar mengolah sampah dari rumah, yakni memilah dan mengompos. Alhasil, mereka tak terdampak ditutupnya TPA Sarimukti"

Mang Ajang memasukkan sampah organik ke tempat pengomposan terpusat di RW 09 Sukaluyu, Bandung. (KBR/Astri)

KBR, Bandung - Sejak pagi Mang Ajang berkeliling ke rumah-rumah warga RW 09, Kelurahan Sukaluyu, Bandung, Jawa Barat.

“Sampah, Bu," teriak pria yang bernama lengkap Tatang Suhardiman ini.

Tiga kali seminggu, Mang Ajang mengangkut sampah. Sudah lebih dari 20 tahun Mang Ajang menggeluti pekerjaan ini. Upahnya Rp500 ribu per bulan.

Ia bisa mendapat uang tambahan Rp50 ribu per hari dari menjual sampah daur ulang yang disedekahkan warga, seperti botol plastik kemasan dan kardus bekas.

Dari hasil mengangkut sampah, Warga Sindanglaya Kabupaten Bandung ini bisa menghidupi keluarga.

"Anak dua, sekolah, yang satu kelas tiga SD, yang satu lagi lanjut kuliah. Istri nggak kerja, diem di rumah, saya aja yang kerja sendiri," kata Ajang.

Beban kerja Mang Ajang makin ringan sejak warga disiplin memilah sampah menjadi tiga bagian, yakni sampah organik, daur ulang, dan residu.

Alhasil, sampah-sampah yang diangkutnya pun lebih bersih dan bebas bau.

"Alhamdulillah baju (jadi) nggak kotor, nggak bau," ujar dia.

Baca juga: Jalan Terjal Desa di Bali Kelola Sampah Berbasis Sumber

Sampah yang diangkut dari rumah-rumah warga RW 09 Sukaluyu, Bandung, sudah terpilah. Petugas sampah kemudian mengirim sampah organik untuk dikompos, sedangkan sampah daur ulang bakal dijual. Praktik ramah lingkungan ini dirintis sejak 2015. (KBR/Astri)

RW 09 Sukaluyu mulai terbiasa memilah sampah sejak didampingi Perkumpulan Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB) pada 2015. Praktik ramah lingkungan ini sudah diterapkan hampir 90 persen warga.

Butuh proses panjang untuk mengubah perilaku dan sistem di masyarakat, kata Koordinator Tim Kota YPBB Ratna Ayu Wulandari.

“Kita sosialisasi, konsultasi dengan RW atau kelurahan, kemudian ada edukasi. Edukasinya ini nggak hanya untuk warga, karena sampah ini kan yang ngambil petugas. Jadi nanti nggak ada istilahnya udah dipilah di rumah, dicampur sama petugas. Tetap kita akan edukasi juga petugas sampah," kata Ayu.

Tak mudah membujuk warga mau memilah sampah dari rumah. Proses edukasinya butuh waktu dua hingga tiga tahun.

"Di RW 09 ada fasilitas umum yang bisa diintegrasiin untuk pengelolaan sampah organik. Jadi sampah organiknya dikelola di kawasan, tidak diangkut keluar. Yang diangkut ke TPS adalah sampah yang memang tidak bisa dimanfaatkan," kata Ayu.

Nina, warga RW 09, tak cuma cakap memilah sampah, tetapi juga telaten mengompos sendiri sampah organiknya. Rumah Nina tak lagi berbau dan bebas lalat.

RW pun menyediakan tempat pengomposan terpusat, sehingga sampah-sampah organik dari warga bisa langsung dikompos.

"Alhamdulillah manfaatnya banyak. Ini organiknya kan di kompos ya nanti komposnya balik ke kita buat tanaman, enam bulan sekali dipanen, balik lagi ke warga untuk menyuburkan tanaman," kata Nina.

Nina tak menampik butuh hitungan tahun hingga ia terbiasa mengelola sampah sendiri. Sekarang, ibu rumah tangga berusia 70 tahun ini langsung miris begitu melihat tumpukan sampah tak terpilah.

“Lama-lama kita biasa, jadi udah gereget ya, kalau misalkan di jalan atau di RW lain lihat ‘aduh masih nyampur’, jadi gimana gitu rasanya. Kalau di sini kan sudah biasa ya, malahan RT yang warganya banyak yang memilah, dikasih apresiasi," kata Nina.

Baca juga: Dilema Perajin Tahu di Sidoarjo Tinggalkan Sampah Plastik

Warga RW 09 Sukaluyu, Bandung, Nina, sudah terbiasa memilah sampah dan mengompos sampah organik sendiri di rumah. (Foto: KBR/Astri)

Ketua RW 09 Sukaluyu, Iwan Poernawan menuturkan, kemandirian mengelola sampah membuat masyarakat tak terdampak tutupnya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti Bandung akibat kebakaran.

"Di kawasan kami itu tetap bersih-bersih aja, tidak berbau busuk, itu dampak positif yang kami ini kalau milah sampah karena memang sistem kita sudah berjalan. Darurat sampah ini kita tidak berdampaknya secara langsung di kawasan. Jadi panik kalau nggak memilah, terus sampah menumpuk jadi mengundang bau yang tidak sedap," kata Iwan.

RW 09 memang sudah bebas dari lautan sampah. Namun, masih ada PR menanti, bagaimana membuat seluruh warga mau mengelola sampah sendiri dari rumah. Masih tersisa sekitar 10 persen warga yang perlu dipersuasi.

Menurut Iwan, mereka rata-rata warga pendatang yang mengontrak rumah atau indekos.

"Anak-anak kos saya lebih cenderung ke RT-nya masing-masing saya serahkan. Jadi tergantung pendekatannya sebetulnya. Pokoknya saya tidak mau tahu RT 1 sampai 7 tidak mengenal apakah itu kosan, harus memilah sampah suka atau tidak suka," tegas Iwan.

Ratna Ayu Wulandari, pendamping dari YPBB berharap warga RW09 konsisten mengolah sampah dari rumah, sampai menjadi gaya hidup sehari-hari.

Sehingga secara bertahap, RW 09 tak perlu lagi didampingi karena sepenuhnya mandiri.

"Kan nggak mungkin kita terus-terusan dampingin. Tapi kalau pak RW mau konsultasi, mau tanya, kita masih ada. Di DLH (Dinas Lingkungan Hidup) kan juga punya tim pendamping, yang itu juga bisa rutin kalau ada masalah, error pengolahan, bisa ada pendamping juga (dari) DLH," kata Ayu.

Penulis: Astri Yuana Sari

Editor: Ninik Yuniati