Article Image

SAGA

Pejuang Lingkungan Dibayangi Overkriminalisasi KUHP Baru (Bagian 2)

"Pejuang lingkungan Indramayu, Sawin dan Sukma dikriminalisasi dengan pasal bendera pada 2018. Pasal itu masuk di KUHP baru dan berpotensi jadi pasal karet."

Ilustrasi. (Foto: Antara)

KBR, Indramayu - Selepas Maghrib, Yati dan Sawin, petani Desa Mekarsari, Indramayu, Jawa Barat berbincang santai di rumah. Mereka mengurai rasa penat setelah seharian bekerja di sawah.

Sembari menikmati kudapan, suami-istri itu, berbagi memori tentang masa-masa berat empat tahun lalu.

Selama lima bulan, Yati terpaksa menanggung beban keluarga sendirian, karena Sawin dibui.

Pria 50 tahun ini dikriminalisasi bersama dua rekannya, Sukma dan Nanto.

Mereka dipenjara karena dianggap mengibarkan bendera merah putih dalam posisi terbalik. Sawin berkukuh dirinya difitnah.

“Saya tidak pernah membalikkan bendera merah putih, buat apaan saya membalikkan lambang negara sendiri?,” sanggah Sawin.

Sawin merupakan anggota Jaringan Tanpa Asap Batubara Indramayu (Jatayu). Mereka gencar menolak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara II Indramayu.

Baca juga: Pejuang Lingkungan Dibayangi Overkriminalisasi KUHP Baru (Bagian 1)

Sawin (50), petani Desa Mekarsari, Kec. Patrol, Indramayu, Jawa Barat tetap menyuarakan penolakan pembangunan PLTU batubara II. Sebab proyek itu akan merampas ruang hidupnya dan mencemari lingkungan (Foto: KBR/Ninik).

Kriminalisasi itu bermula saat Sawin dan dua rekannya mengibarkan bendera di lapangan setempat.

Ini sebagai tanda syukur atas kemenangan gugatan warga atas rencana pembangunan PLTU II.

“Cuma kan nggak langsung saya foto. Begitu dipasang, berkibar, saya hormat, udah saya tinggal pulang, ya itu salahnya nggak difoto,” tutur dia.

Tak dinyana, beberapa hari kemudian, Sawin dijemput paksa oleh sejumlah aparat bersenjata laras panjang.

Kasus pun terus bergulir, hingga ia diputus bersalah melanggar Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.

Sawin tak kuasa menahan amarahnya usai sidang vonis.

“Oh jelas marah, pintu gerbang aja saya tendang, saya emosi, ‘udah Pak Sawin’, katanya, ‘lima bulan jalanin aja’,” kata ayah satu anak ini.

Sang istri, Yati mesti bekerja lebih keras demi mencukupi kebutuhan Sawin di penjara dan putri semata wayangnya.

“Ya mikirin anak sekolah, istri, ga ada yang usaha, sedangkan tulang punggungnya kan di lapas. Jadi pasti nangis terus, di sini ya nangis, di sana apalagi pusing,” kisah Sawin.

Sawin bersyukur tak perlu sampai berutang.

“Ya alhamdulillah nggak ada (aset) yang keluar, motor pun masih ada, nggak kejual. Kebanyakan kan orang dipenjara, kan dijualin, barang yang punya seadanya tuh,” ujar dia.

Baca juga: Warga Indramayu Pantang Surut Tolak PLTU Batubara

Para ibu anggota Jaringan Tanpa Asap Batubara Indramayu (Jatayu) saat upacara peringatan kemerdekaan RI ke-77, 17 Agustus 2022. (Foto: KBR/Ninik)

Berhati-hati

Usai bebas, semangat Sawin justru makin berkobar. Perjuangan menolak PLTU II terus berlanjut, demi mempertahankan ruang hidup dan lingkungan yang bersih.

“Saya maju terus pantang mundur, ya berangkat terus (aksi), ke Jakarta, ke Bandung, saya mah nggak takut, sudah kepalang basah,” kata Sawin tegas.

Yati, istrinya, juga gigih menyemangati.

Namun, mereka kini lebih berhati-hati, guna mencegah kriminalisasi. Apalagi, banyak aturan karet yang bisa dijadikan modus memberangus suara kritis.

Yang terbaru adalah pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pasal bendera yang menjerat Sawin bahkan ikut masuk ke KUHP, meski dengan ancaman hukuman lebih rendah. Yakni di Pasal 234, Setiap orang yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain terhadap bendera negara dengan maksud menodai, menghina atau merendahkan kehormatan bendera negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV

“’Kalau demo silakan tapi Pak Sawin jangan di depan, di belakang aja, tinggal ngikut orasi. Biasanya di depan terus,” celetuk Sawin.

Kini, Sawin tak pernah lupa mengabadikan tiap aktivitas yang terkait dengan Jatayu, termasuk tiap kali memasang bendera.

“Saya pasang, foto, jebret. Biar ketahuan, biar jelas. Dulu kan nggak kepikiran bahwa ada yang mau balikin, dikira saya aman-aman aja. Difoto, takut kejadian lagi, pasangnya benar, ntar ada yang ngebalik lagi,” jelas dia.

Potensi overkriminalisasi

Masuknya pasal bendera di KUHP baru disayangkan oleh Roni Saputra dari Yayasan Auriga Nusantara. Ini akan menyebabkan pemidanaan berlebihan atau overkriminalisasi.

“Mestinya kriminalisasi (pemidanaan) itu terhadap hal-hal yang benar-benar, menimbulkan kerusuhan, ketidaktenangan, mengancam ketenteraman masyarakat. Jadi jangan semua hal bisa dipidana, sehingga yang akan terjadi apa? setelah overkriminalisasi maka juga akan terjadi overpopulasi di penjara,” Roni menjelaskan.

Kelebihan populasi di penjara ujung-ujungnya bakal membebani keuangan negara.

“Artinya hal-hal yang sebenarnya, bisa diselesaikan dengan cara lain, maka tidak perlu dilakukan proses pemidanaan,” tutur dia.

Baca juga:

Potret Media Alternatif di Tengah Ancaman KUHP Baru (Bagian 1)

Potret Media Alternatif di Tengah Ancaman KUHP Baru (Bagian 2)

Direktur Penegakan Hukum Yayasan Auriga Nusantara, Roni Saputra. (Foto: dok pribadi)

Menurut Roni, celah kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan tetap menganga.

Yayasan Auriga Nusantara mencatat tak kurang dari 112 kasus kekerasan dan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan terjadi pada kurun 2014 hingga 2023. Di dalamnya termasuk kasus Sukma dan Sawin.

Adanya pasal perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dianggap belum memadai karena multitafsir.

Ini diperparah dengan kapasitas aparat hukum yang masih rendah.

“Mereka memandang hukum seperti kacamata kuda. Pasal-pasal yang sebenarnya mengkriminalisasi pejuang lingkungan, semestinya menjadi pelajaran bagi penegak hukum, bahwa tidak semua aturan hukum itu harus ditegakkan saklek. Ada unsur keadilan, kemanfaatan yang harus diperhatikan, dan kepastian hukum,” ujar dia.

Pada 2022, Auriga membantu Kejaksaan Agung menyusun pedoman, termasuk ketika menangani kasus kriminalisasi pejuang lingkungan. Hal serupa juga tengah diupayakan untuk kepolisian.

“Sehingga celah-celah, ruang-ruang yang dibuka oleh UU, baik dari KUHP, maupun UU sektoral, itu bisa ditutup dengan pedoman-pedoman internal di penegak hukum,” jelas Roni.

Kalangan pejuang lingkungan juga didorong untuk semakin berhati-hati. Potensi jebakan dengan modus pasal-pasal karet mesti diantisipasi. Misalnya, dengan memastikan produk yang dikeluarkan maupun tindakan yang dilakukan tidak bisa dijerat hukum.

“Misalnya, ketika kita menyiapkan rilis, hasil penelitian, maka ada peer review dan legal review yang harus dilakukan. Kemudian, mengklarifikasi dan memastikan setiap pernyataan yang dikeluarkan dengan bukti-bukti yang dimiliki,” pungkas Roni.

Penulis: Ninik Yuniati