ARTIKEL PODCAST

Sekolah Alternatif, Menjawab Masalah Pendidikan Indonesia

Pendidikan merupakan hak setiap warga negara.

AUTHOR / Tim Ruang Publik

EDITOR / Ninik Yuniati

Ilustrasi. Belajar di Taman Baca Kolong Ciputat. ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/rwa.
Ilustrasi. Belajar di Taman Baca Kolong Ciputat. ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin/rwa.

KBR, Jakarta - Sekolah alternatif banyak digagas untuk mengatasi masalah kesenjangan akses pendidikan. Sekolah Alternatif Anak Jalanan (SAAJA), misalnya, dibangun untuk mewadahi anak-anak jalanan di Pengarengan, Jakarta Timur. 

Pada tahun 2000-an, daerah itu menjadi tempat anak-anak nongkrong dan merokok. Awalnya, SAAJA hanya berupa kelompok belajar membaca dan berhitung. Sekitar dua tahun kemudian, SAAJA resmi terbentuk. 

Agus Supriyanto, Pembina SAAJA, menuturkan, sekolah alternatif merupakan bentuk kritik terhadap kesenjangan akses pendidikan. 

“Kami mencirikan SAAJA sebagai pesan kritik kami terhadap hal-hal yang belum didapatkan masyarakat dari sisi keadilan pendidikan,” ungkap Agus.

Masih banyak anak tidak bersekolah karena berbagai alasan, misalnya, jarak sekolah yang jauh dari tempat tinggal, ketiadaan biaya, maupun keharusan membantu oranguta mencari uang. Mestinya, negara bertanggung jawab memenuhi hak pendidikan tiap warganya. 

Tantangan lain berkaitan dengan kurikulum yang dinilai belum relevan dengan realitas yang dihadapi siswa di kehidupan sehari-hari. 



Baca juga:
Hardiknas 2024: PP Muhammadiyah Ungkap Tantangan Utama Pendidikan Nasional

Hardiknas 2024: YLBHI Kritisi Tujuh Hal Krusial Pendidikan Nasional

Selain SAAJA, ada juga Sekolah Pagesangan atau Sekolah Kehidupan yang diinisiasi Diah Widuretno pada 2008. Sekolah ini berlokasi di Gunung Kidul, Yogyakarta. Sekolah Pagesangan tidak menggunakan kurikulum dari pemerintah tapi menyusun sendiri kurikulum berdasarkan kebutuhan pelajar di pedesaan.

Diah menyebut Sekolah Pagesangan ingin membantu masyarakat pedesaan mendapatkan cara belajar yang sesuai dengan kehidupan mereka. Ia menilai ada kesenjangan antara apa yang diajarkan di sekolah formal dengan kehidupan sehari-hari masyarakat desa. 

“Masalah pendidikan itu tidak hanya masalah keadilan mengakses pendidikan, tapi konten belajarnya dan ideologi pendidikannya juga kadang-kadang enggak selaras dengan kebutuhan peserta belajar,” terang Diah.

“Ada kebutuhan untuk menyelaraskan apa yang dipelajari, tujuan belajarnya dengan kebutuhan yang memang benar-benar dialami oleh peserta belajar,” tambah Diah.

Lalu apa saja tantangan yang dialami sekolah alternatif ini? Simak cerita lengkapnya dalam Ruang Publik edisi Indonesia Baik episode Berdaya dengan Sekolah Alternatif hanya di kbrprime.id.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!