indeks
Viral Rojali dan Rohana: Benarkah Faktor Daya Beli Lesu hingga Kemiskinan Perkotaan Meningkat?

Pakar bilang angka kemiskinan di perkotaan yang meningkat berdampak pada kehati-hatian masyarakat dalam berbelanja.

Penulis: Shafira Aurel, Cornelia W

Editor: Resky Novianto

Google News
BOGOR
Pengunjung memilih buku bacaan dalam bazar perlengkapan sekolah di Mal Botani Square, Kota Bogor, Jawa Barat, Senin (7/7/2025). Foto: ANTARA

KBR, Jakarta- Belakangan di media sosial ramai istilah fenomena Rojali, akronim dari rombongan jarang beli dan Rohana atau disebut rombongan hanya nanya. Bahkan, ada pula yang menyebut Rocita alias rombongan cuci mata.

Beberapa sebutan itu diperuntukkan bagi sekelompok orang yang mengunjungi pusat perbelanjaan atau mal, kafe, hingga ruang publik lainnya tanpa berbelanja atau minim pengeluaran.

Pusat perbelanjaan dijadikan sebagai tempat bergaul, rekreasi, dan melepas penat. Pengunjung hanya melihat-melihat atau membandingkan harga dan kualitas produk, kemudian membeli secara daring. Tak sedikit orang mengaitkan fenomena ini dengan melemahnya daya beli masyarakat.

Mal Tempat Melihat dan Membandingkan Harga

Asti (24), pegawai swasta di daerah Jakarta Selatan, menyediakan waktu sekali dalam satu bulan untuk bersosialisasi dengan rekan kantor. Gelora Bung Karno (GBK) dan mal menjadi pilihan destinasi untuk menghabiskan waktu.

"Awalnya cuma lihat-lihat. Kalau enggak, pasti ada sesuatu yang pengen dibeli di mal. Beli kapas atau apa yang memang urgent (mendesak), harus dibeli," jelasnya.

Asti mengatakan jalan-jalan dan window shopping di mal menjadi aktivitas yang terhindarkan ketika berkumpul dengan rekan dan temannya. Ia kerap mengunjungi toko-toko dan booth kecantikan, hanya sekadar untuk mencoba sampel produk.

"Pernah kita ke Lippo Mall Nusantara. Kita emang pengen liat parfum bazar. Mereka di situ cuma nyiumin parfum yang unik-unik. Mereka checkout-nya setelah dari mal itu. Karena ke situ untuk lihat-lihat doang, tidak beli," cerita Asti.

Ia mengaku suka membandingkan harga barang di mal dengan toko daring. Jika harga barang berbeda jauh, ia akan memilih belanja secara daring karena lebih murah.

"Kita bisa langsung lihat kan perbandingannya (harga) jauh atau tidak. Kalau misalnya jauh, ya mending beli di Shopee," ujarnya.

Survei Kualitas Produk sebelum Membeli di Mal

Tak hanya membandingkan harga, tapi memastikan kualitas produk juga penting bagi Asti. Ia kerap bertanya pada staf toko terkait kandungan dalam suatu produk.

"Biasanya kalau nanya yang mengena di tubuh. Skincare, make up, parfum, sampo, sabun. Kalau sampo-sabun kan krusial ya, jadi ada banyak yang perlu ditanya," cerita Asti.

Namun, Asti sadar bahwa setiap toko punya target penjualan untuk produk tertentu. Karena itu dia tetap mencari ulasan dari pihak luar selain penjaga toko.

"Jadi tetap cari review (ulasan) di internet juga akhirnya," ucapnya.

red
Pengunjung memilih buku bacaan dalam bazar perlengkapan sekolah di Mal Botani Square, Kota Bogor, Jawa Barat, Senin (7/7/2025). Bazar yang menyediakan beragam buku bacaan, alat tulis dan perlengkapan sekolah dengan potongan harga hingga 90 persen tersebut diselenggarakan dalam rangka menyambut tahun ajaran baru. ANTARA FOTO/Arif Firmansyah

Senada, mahasiswa semester akhir di Tangerang, Fani (22), juga suka mengunjungi mal bersama teman-temannya. Ia rutin mengunjungi mal hingga dua kali dalam seminggu.

"Biasanya kalau ke mal buat jalan-jalan, makan, atau nonton. Biasanya berdua, tapi kadang-kadang juga ramai-ramai sama teman sekitar 4-5 orang," kata Fani.

Kebiasaan membandingkan harga juga kerap ia lakukan. Namun, belanja daring lebih disukainya. Bahkan dalam satu bulan bisa lima kali belanja daring.

"Kalau beli online lebih banyak diskon atau promo, jadi lebih murah," jelasnya.

Belanja Menyesuaikan Isi Tabungan

Meski belum bekerja, Fani tahu batasan keuangannya. Ia lebih memilih belanja daring dibandingkan membeli langsung di mal untuk menyesuaikan tabungannya.

"Dan tergantung isi dompet juga," ujarnya sambil tertawa.

Selain itu, dia juga ikut program magang untuk menambah uang jajannya.

Fani menilai situasi ekonomi sekarang cukup sulit, sehingga banyak orang memilih tidak langsung belanja di mal.

"Tapi ada efek kecil karena pola belanja yang apa-apa sekarang udah online juga. Apalagi belanja kebutuhan rumah juga udah bisa lewat online," jelas Fani.

Bukan Fenomena Baru

Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonsus Widjaja menyebut tren Rojali, Rohana, hingga Rocita bukanlah fenomena baru.

Menurutnya kondisi tersebut selalu terjadi setiap saat, hanya saja jumlahnya akan sangat tergantung dari berbagai faktor.

"Ditengah kondisi daya beli yang menurun, masyarakat tetap datang berkunjung ke pusat perbelanjaan karena saat ini pusat perbelanjaan adalah salah satu fasilitas publik yang memenuhi kebutuhan masyarakat. Bukan saja dalam hal berbelanja tapi juga hal lainnya seperti hiburan, edukasi dan lain sebagainya. Jadi ya wajar saja, karena uang yang dipegang semakin sedikit," ujar Alphonsus kepada KBR, Minggu (27/7/2025).

Meski demikian, Alphonsus meyakini kondisi tersebut tidak akan berlangsung lama. Ia juga menegaskan fenomena ini tidak mengganggu kinerja pusat perbelanjaan.

"Belum mengganggu kinerja Pusat Perbelanjaan, karena sebenarnya daya beli masyarakat di luar pulau Jawa relatif masih lebih stabil dibandingkan dengan yang di pulau Jawa," katanya.

red
Pengunjung bermain salju di Mal Ciputra Tangerang, Kabupaten Tangerang, Banten, Jumat (4/7/2025). Wahana permainan salju buatan di dalam pusat perbelanjaan tersebut menjadi salah satu destinasi wisata tematik dalam mengisi liburan sekolah dengan rata-rata kunjungan 80 - 100 orang per hari. ANTARA FOTO/Putra M. Akbar


Promo dan Diskon Jadi Solusi


Alphonsus menyebut saat ini potongan harga atau diskon menjadi salah satu jurus untuk memikat daya beli masyarakat.

Menurutnya, promo dan diskon cukup efektif untuk mengatasi fenomena masyarakat yang menahan uangnya untuk berbelanja di mal atau pusat perbelanjaan.

"Strategi utama yang harus dilakukan adalah menopang daya beli tersebut dengan melakukan berbagai kegiatan ataupun program untuk membantu daya beli masyarakat,” tutur Alphon.

“Sejak pasca Idul Fitri, Pusat Perbelanjaan telah dan akan banyak menyelenggarakan berbagai program promo belanja sampai dengan menjelang Natal dan Tahun Baru nanti," imbuhnya.

Fenomena Rojali, Rohana, hingga Rocita Buntut Pelemahan Daya Beli?

Tak sedikit pihak menilai fenomena ini berkaitan dengan penurunan daya beli dan meningkatnya angka kemiskinan di perkotaan.

Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin nasional per Maret 2025 tercatat 23,85 juta orang. Angka ini mengalami penurunan 0,2 juta orang dibandingkan pada September 2024. Menurut BPS, ini capaian angka kemiskinan terendah selama 20 tahun terakhir.

Namun, persentase kemiskinan di perkotaan justru naik menjadi 6,73 persen dan angka setengah pengangguran di perkotaan meningkat 460 ribu orang. Ini berbanding terbalik dengan angka kemiskinan di pedesaan yang turun menjadi 11,03 persen.

Kemiskinan Kota, Desa, dan Pengaruhnya pada Daya Beli

Staf Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Ninasapti Triaswati menyebut angka kemiskinan di perkotaan yang meningkat berdampak pada kehati-hatian masyarakat dalam berbelanja.

"Ini adalah fakta bahwa angka makronya ada, angka mikronya juga ada dan itu perilaku menjadi terlihat di daerah perbelanjaan perkotaan," ujar Nina dalam talk show Ruang Publik KBR, Kamis (31/7/2025).

Turunnya daya beli juga didukung dengan banyak kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) di pabrik-pabrik yang ada di perkotaan.

"Penggerak ekonomi kan pertumbuhan. Tapi di perkotaan terutama yang ada pabrik malah PHK besar," ucapnya.

red
Pengunjung mengamati produk busana pada Festival Budaya Urban dan Streetwear dari Indonesia-Prancis JF3 ke-21 tahun 2025 di Sumarecon Mall Serpong, Gading Serpong, Kabupaten Tangerang, Banten, Kamis (31/7/2025). Foto: ANTARA


Nina menyoroti sektor pertumbuhan ekonomi yang menjadi fokus pemerintah, banyak terjadi di pedesaan. Bisa dilihat dari program-program yang dicanangkan pemerintahan Presiden Prabowo, seperti Koperasi Desa Merah Putih, hingga Sekolah Rakyat.

Ia menilai program ini bagus untuk menciptakan lapangan pekerjaan di pedesaan. Namun faktanya, angka kemiskinan di perkotaan tinggi. Jika kemiskinan di perkotaan tidak segera diatasi, dampaknya pertumbuhan ekonomi tidak merata.

"Secara rata-rata nasional itu bagus angka kemiskinan turun, tapi di daerah yang melakukan PHK ini yang akan terjadi tekanan di malnya walaupun enggak merata. Itu yang menyebabkan ada yang daya beli naik, ada yang turun," jelas Nina.

Apa Jadinya Bila Rojali dan Rohana Terus Berlanjut?

Fenomena Rojali dan Rohana banyak dilakukan sebagai sarana hiburan dan rekreasi masyarakat. Bahkan ada juga yang mengunjungi mal untuk membandingkan harga sebelumnya akhirnya memilih belanja secara daring.

Nina berpendapat fenomena ini, jika terus berlanjut, dapat berdampak pada juga pada lapangan kerja.

"Daya beli kita akan semakin tergerus ketika orang tidak belanja langsung di ritel offline. Karena lapangan kerja ada di jaga tokonya itu. Kalau semakin enggak laku, dia tutup. Nanti pelan-pelan bisa dibayangkan yang tersisa sedikit sekali lapangan kerja di ritel," ucapnya.

Strategi Meningkatkan Daya Beli dan Mengatasi Kemiskinan

Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PDIP, Selly Andriany Gantina mengatakan pemerintah perlu melakukan perbaikan data kemiskinan di perkotaan. Ia menyoroti masih banyaknya data di tiap kementerian dan lembaga yang tidak sinkron dan kurang tepat.

"Data yang selama ini menjadi data sekunder yang ada di masing-masing kementerian dan lembaga, ternyata datanya itu sendiri belum bisa divalidasi secara akurat," ujar Selly.

Perbaikan data ini, menurutnya, dapat mengatasi bantuan sosial untuk masyarakat miskin yang saat ini masih belum tepat sasaran.

Selly menawarkan solusi yang bisa dilakukan pemerintah dengan menciptakan lapangan pekerjaan bersama kemampuan kerja yang relevan, menyiapkan hunian yang terjangkau yang bisa dijangkau masyarakat menengah ke bawah, hingga menciptakan transportasi murah dan manusiawi.

"Pekerjaan yang dibutuhkan masyarakat urban itu bukan hanya penciptaan lapangan pekerjaan yang sifatnya lapangan kerja kontrak atau yang hanya terima gaji 3 bulan, setelah itu selesai,” jelas Selly.

“Tapi juga harus disiapkan pekerjaan-pekerjaan yang layak dengan pelatihan skill yang relevan sehingga mereka bisa hidup layak," tambahnya.

red
Rilis BPS Jumat, (25/7/2025). (Tangkapan Layar Youtube BPS Statistics)

Bukan Hanya Pedesaan, Pemerintah juga Mesti Fokus pada Perkotaan

Ninasapti Triaswati, Staf Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), menilai pemerintah perlu membagi fokus program pada pedesaan dan perkotaan.

"Pemerintah harus punya dua strategi. Jangka pendek di pedesaan sudah benar, tapi meningkatkan daya beli sampai ke perkotaan harus mencegah PHK besar-besaran yang ada di perkotaan yang ada pabrik-pabriknya. Jadi dua sisi ini yang harus diperkuat," katanya.

Menurunkan pajak pendapatan, menurut Nina, dapat meningkatkan daya beli secara makro. Tapi, menjaga lapangan kerja tetap ada juga signifikan.

"Menekan harga itu juga sangat penting. Harga semua, barang dan jasa. Harga emas turun, itu kalau bisa kebutuhan pokok turun, harga rumah turun. Itu yang penting," ucap Nina.

Kelas Menengah Tertekan

Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menilai fenomena tersebut menjadi sinyal serius dari tekanan ekonomi yang dialami oleh masyarakat kelas menengah.

Sebab, kata dia, hal tersebut berkaitan erat dengan kemampuan daya beli masyarakat Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja.

"Jadi gambaran itu secara keseluruhan membuktikan bahwa memang ada persoalan daya beli di masyarakat Indonesia saat ini. Fenomena Rojali ini menandakan bahwa orang hanya membeli jika ada diskon. Artinya orang mempunyai urutan prioritas untuk dibeli karena keterbatasan uang," ujar Eko kepada KBR, Senin (28/7/2025).

Eko mengungkapkan ada sejumlah faktor yang menyebabkan fenomena Rojali dan Rohana terjadi. Salah satunya yakni sektor industri yang mengalami tekanan, kondisi keuangan masyarakat yang tidak stabil, serta pengaruh dari meningkatnya jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Selain itu karena sekarang sudah online, banyak masyarakat juga lebih tertarik berbelanja online karena harga murah," katanya.

red
Pengunjung memilih tempat pensil dalam bazar perlengkapan sekolah di Mal Botani Square, Kota Bogor, Jawa Barat, Senin (7/7/2025). Bazar yang menyediakan beragam buku bacaan, alat tulis dan perlengkapan sekolah dengan potongan harga hingga 90 persen tersebut diselenggarakan dalam rangka menyambut tahun ajaran baru. ANTARA FOTO/Arif Firmansyah


Potensi Ekonomi Melambat


Lebih lanjut, Eko mengatakan fenomena Rojali dan Rohana bisa menyebabkan pertumbuhan ekonomi melambat. Sebab kata dia, hampir 60% pertumbuhan ekonomi RI itu tergantung dari konsumsi masyarakat.

"Jadi kalau hanya nanya dan hanya jalan-jalan tidak membeli tentu berimplikasi kepada tingkat penjualan ya, dan itu artinya kalau secara makro pertumbuhan ekonomi kita bisa tertekan karena daya beli yang melambat tadi begitu," ucap Eko.

Untuk itu, Eko mendorong pemerintah segera mengambil langkah tegas untuk mengatasi daya beli masyarakat yang menurun ini. Semisal menyiapkan stimulus ekonomi yang ditujukan khusus untuk kelompok kelas menengah.

"Pemerintah harus memacu daya beli ya. Nah daya beli ini potensialnya itu terutama di kelas menengah. Jadi kelas menengahnya jangan Justru lebih banyak dibebani dengan berbagai pajak-pajak ya, tapi justru dikasih stimulus ya untuk bisa mereka berkonsumsi. Semisal bantuan listrik, dan lain-lain," ujar Eko.

Dalih Pemerintah soal “Rojali, Rohana, dan Rocita”

Merespon fenomena masyarakat hadir di mall tanpa atau minim berbelanja, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto berdalih saat ini trennya memang kebanyakan masyarakat ke mal untuk makan. Oleh karena itu banyak pusat perbelanjaan yang memperbanyak tempat kulinernya.

Selain itu kata dia, masyarakat saat ini lebih suka belanja di event-event.

"Sekarang memang trennya kebanyakan ke mal itu makan dan itu beberapa lama terakhir kan trennya ke sana. Makanya banyak mal yang memperbanyak kuliner. Ini diupayakan pemerintah untuk mendorong ada event baru lagi untuk diskon. Kalau ke depan ya kita persiapkan lagi untuk Nataru di akhir tahun," ujar Airlangga di kantornya, Jakarta Pusat, Jumat (25/7/2025) dikutip dari ANTARA.

Mengacu data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenans) 2025, tercatat kelompok atas mulai menahan laju konsumsinya. Namun, perubahan ini tidak serta-merta berpengaruh ke angka kemiskinan karena hanya mencakup segmen tertentu.

Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media

Baca juga:

Januari 2025 Tercatat Deflasi, Apa Kabar Daya Beli?

Rojali
Rohana
Rocita
Mall
Mal
Daya beli
kemiskinan

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...