NASIONAL
Uang Pesangon PHK Kena Pajak Progresif, Buruh Minta Dihapus
Bagi sebagian korban PHK, uang pesangon itu bagai modal untuk survival alias bertahan dan melanjutkan hidup ...

KBR, Jakarta- Para korban pemutusan hubungan kerja (PHK) dikenakan pajak atas uang pesangon yang mereka diterima. Sistemnya progresif alias makin besar pesangon, makin tinggi pajak yang dikenakan.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menjelaskan, sifat uang pesangon merupakan pendapatan terakhir yang diberikan perusahaan. Sama seperti gaji, pesangon dikenakan pajak karena ada aturannya.
“Jadi, kalau menurut saya semestinya bukan lantas dihilangkan sama sekali. Karena kan ini juga kalau kita lihat dari proporsinya kan, ini sifatnya progresif. Jadi, artinya ada seperti juga pajak pada sampai level nilai tertentu, kan, sebetulnya tidak dikenakan pajak PHK. Tetapi, kalau sudah lebih besar makin besar itu dikenakan pajak yang lebih tinggi progresif, ya,” kata Faisal kepada KBR, Jumat, (16/05/25).
Namun, kata dia, pengenaan pajak pesangon perlu memerhatikan kondisi subjek pajaknya. Terutama bagi penerima pesangon karena alasan pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Nah, ini mungkin tingkat rate tarifnya dan juga progresivitasnya itu mungkin yang semestinya tidak mengikuti rate dan progresivitas di pajak pendapatan yang harian orang menerima gaji yang dalam masa bekerja,” kata dia.
“Jadi, semestinya lebih rendah, lebih memudahkan dan juga meringankan karena ini kan orang yang di-PHK. Jadi, tidak serta-merta dihilangkan apalagi kalau nilai pesangonnya itu besar, ya, tadi di atas 500 juta sebetulnya kan masih relatif bisa dikenakan pajak cuma dengan rate yang lebih rendah, ya,” imbuhnya.
Aturan Pajak Pesangon
Pesangon merupakan kompensasi wajib yang diberikan kepada karyawan yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).
Aturannya ada di Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 16/PMK.03/2010 tentang tarif pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang bersifat final atas penghasilan berupa uang pesangon yang dibayarkan sekaligus. Tarif tersebut bersifat progresif dan diterapkan atas jumlah kumulatif uang pesangon.
Besaran tarif PPh Pasal 21 final menurut Pasal 3 ayat (1) PMK 16/2010:
- Penghasilan bruto 0-50 juta rupiah dikenakan tarif 0%
- Penghasilan bruto di atas 50 juta-100 juta rupiah dikenakan tarif 5%
- Penghasilan bruto di atas 100 juta-500 juta rupiah dikenakan tarif 15%
- Penghasilan bruto di atas 500 juta rupiah dikenakan tarif 25%

Keluhan Buruh
Tetapi, kalangan buruh mengeluhkan pemotongan pajak uang pesangon. Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI) Mirah Sumirat beralasan, pajak yang dikutip pemerintah kepada korban PHK cukup besar.
“Dan itu tentu memengaruhi bukan hanya untuk modal usaha, tetapi untuk keberlanjutan untuk hidup mereka,” kata Mirah kepada KBR, Kamis, (15/05/25).
Ia memberi contoh, jika korban PHK dapat pesangon di atas 50 juta rupiah, sudah dikenakan potongan 5 persen. Makin tinggi pesangon, makin tinggi pula potongannya. Ia menilai, di situasi ekonomi saat ini, pemotongan pajak itu luar biasa memberatkan para korban PHK.
“Dapat pesangon, terus mereka untuk tidak bisa lagi mencari pekerjaan karena usia, sekarang itu usia dibatasi, pekerjaan-pekerjaan yang baru dibatasi. Digunakan oleh mereka untuk modal usaha, ketika 50 juta dipotong juga dengan pajak 5 persen, artinya kan berkurang, berkurang banyak,” kata Mirah kepada KBR, Kamis (15/05/25).
Kata dia, korban PHK perlu uang pesangon itu untuk membiayai kebutuhan hidup mereka dan keluarga sehari-hari, mulai dari biaya makan, membayar listrik, hingga pendidikan anak.
Mirah menyebut, bagi sebagian korban PHK, uang pesangon itu bagai modal untuk survival alias bertahan dan melanjutkan hidup karena tidak lagi mendapat pekerjaan pengganti.
Keberatan
Hal itulah jadi alasan buruh keberatan terhadap potongan pajak progresif uang pesangon. Mirah berharap, pemerintah dan DPR RI segera mengeluarkan regulasi atau keputusan untuk menghapus pungutan pajak korban PHK dengan pesangon di bawah Rp100 juta.
“Jadi, ditiadakan, dihapuskan saja, mereka jangan dikenakan lagi. Karena kan selama ini mereka bekerja juga kan bayar pajak, dipotong PPh itu rutin dari perusahaan, dan itu uang mereka,” tambahnya.
“Masa iya, sih, telah mereka berhenti gitu, ya, mereka berhenti bekerja di-PHK masih dibebankan juga sampai akhir hidup mereka di dalam pekerjaan? Karena setiap bulan, setiap tahun mereka juga membayar pajak dari gaji-gaji mereka,” ujarnya.
Untuk pesangon di atas 100 juta, ia mendorong besaran pajaknya diperkecil menjadi 5 persen saja. Sebab, bagi korban PHK dan di tengah situasi ekonomi yang sulit, pajak uang pesangon yang berlaku saat ini terasa sangat berat.
“Kalau yang tadi di bawah yang 50 juta mungkin, ya, tidak usah pakai pajak, tetapi yang di atas 100 juta, ya, 5 persenlah. Uang pesangon kalaupun buat modal, ya, pasti enggak semuanya buat modal, pasti untuk saving mereka melanjutkanlah biaya-biaya pengeluaran yang tetap yang selama ini mereka keluarkan,” tambahnya.
Aturan Pemerintah
Namun, di sisi lain, Ketua Komite Regulasi dan Hubungan Kelembagaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Myra Hanartani menyebut, kewenangan pengenaan pajak pesangon ada pada kementerian. Sebab, angka besaran pajak pesangon ditetapkan melalui peraturan pemerintah.
“Kalau itu, kan, ranahnya perpajakan. Kita enggak bisa apa-apa. Itu memang dia konstruksinya begitu. Jadi, mungkin tidak bisa disampaikan juga kepada kami. Jadi, ya, itu urusannya ada peraturan perpajakannya seperti itu,” kata Myra dalam program Ruang Publik KBR Media, Kamis, (15/05/25).
Menurut data Apindo, selama periode 1 Januari-10 Maret 2025. Korban PHK di Indonesia mencapai hampir 74 ribu orang.
Jika diasumsikan rata-rata korban PHK tersebut mendapat uang pesangon Rp100 juta. Maka, jika dipotong 5% dan dikalikan dengan 74 ribu orang, maka pemerintah mendapat pajak uang pesangon Rp370 miliar.

Pajak Turun?
Meski jumlah PHK tinggi, penerimaan dan jumlah orang yang lapor pajak menurun tahun ini. Dalam dokumen APBN KiTa Februari 2025, penerimaan pajak Januari 2025 Rp88,89 triliun atau 4,06 persen dari target setahun ini.
Jumlah itu turun 41,86 persen dibandingkan Januari 2025, yang ada di angka Rp152,89 triliun (7,5 persen dari target setahun).
Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) sebagai salah satu kontributor penerimaan pajak juga turun pada tahun ini dibanding tahun lalu, yakni dari Rp28,3 triliun pada Januari 2024 menjadi Rp15,95 triliun pada Januari tahun ini.
Faktor Penurunan Pajak
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda menyebut, ada banyak faktor penyebab penurunan penerimaan dan pelaporan pajak, salah satunya karena maraknya PHK.
Nailul menjelaskan, maraknya PHK turut menurunkan penerimaan negara yang didapatkan dari sisi pajak karyawan dan dari pajak pertambahan nilai (PPN). Sebab, ketika masyarakat tidak lagi mendapatkan pendapatan, maka jumlah barang yang dikonsumsi akan semakin menurun.
“Ini yang membuat penerimaan pajak dari dua jenis pajak tersebut akan mengalami penurunan,” kata Nailul kepada KBR, Jumat, (09/05/25).

Penggunaan Pajak
Selama ini, pajak yang diterima pemerintah digunakan untuk belanja pemerintah pusat dan belanja pemerintah daerah.
Dalam APBN 2025, belanja negara ditetapkan Rp3.621 triliun. Berasal dari penerimaan perpajakan Rp2.490,91 triliun, penerimaan negara bukan pajak Rp513,64 triliun, hibah Rp1 triliun, dan pembiayaan Rp616 triliun.
Jika dirinci, belanja pemerintah pusat antara lain untuk pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, perlindungan lingkungan hidup, pendidikan, dan perlindungan sosial.
Dengan pajak, pemerintah juga bisa mengatur pertumbuhan ekonomi, dan memiliki dana untuk menjalankan kebijakan terkait stabilitas harga dan pengendalian inflasi.
Baca juga:
- Pengangguran Naik, Pemerintah Bakal Sulit Menciptakan Lapangan Kerja
- Penerimaan Pajak Turun, Benarkah karena PHK dan Perlawanan Publik?
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!