NASIONAL

Tolak Kenaikan Pajak Hiburan, PHRI Ajukan Gugatan ke MK

Insentif hanyalah solusi jangka pendek.

AUTHOR / Heru Haetami, Astri Yuana Sari

Tolak Kenaikan Pajak Hiburan, PHRI Ajukan Gugatan ke MK
Ilustrasi pajak. Foto: pexels

KBR, Jakarta- Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) akan mengajukan judicial review UU HKPD ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai bentuk penolakan terhadap aturan kenaikan pajak hiburan sebesar 40-75 persen.

Ketua Umum BPP PHRI, Hariyadi Sukamdani mengatakan, uji materi yang diajukan karena kenaikan tarif pajak dinilai terlalu tinggi dan sangat mengkhawatirkan. Kata dia, kebijakan tersebut tidak tepat dan hanya akan mematikan industri-industri usaha dalam negeri.

Selain itu menurutnya, naskah akademik mengenai pajak ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, yaitu di Pasal 27 ayat 2 tentang warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, dan Pasal 28d yaitu terkait dengan kepastian hukum.

Hariyadi juga menyayangkan sikap pemerintah yang tidak melibatkan para pengusaha dalam memutuskan kebijakan.

"Tidak pernah terjadi sosialisasi tentang rencana kenaikan tarif untuk sektor tersebut. Jadi sehingga rekan-rekan pada proses ini kami akan mengajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi (MK) yang akan dilakukan saat ini. Yang sudah confirm adalah IPI dari gabungan Insan Pariwisata Indonesia secepatnya, dan juga akan diikuti oleh asosiasi lain yang terkait," ujar Hariyadi dalam konferensi pers, Senin,(22/1/2024).

Solusi Jangka Pendek

Ketua Umum BPP PHRI, Hariyadi Sukamdani juga mengkritik insentif fiskal yang ditawarkan pemerintah. Menurutnya, insentif hanyalah solusi jangka pendek.

"Ini bicara insentif fiskal. Jadi, sekarang yang bisa untuk mengurangi tarif, menghapus denda dan sebagainya. Itu ada dua metode yaitu kepala daerah bisa mengeluarkan berdasarkan jabatannya atau perusahaan mengajukan permohonan untuk minta insentif fiskal. Kami dari asosiasi mendorong metode yang pertama," kata Hariyadi kepada KBR, Selasa, (23/1/2024).

"Karena kalau metode kedua yang dipakai itu sama saja membunuh mereka juga. Bagaimana perusahaan itu harus memohon dan harus diaudit, menyerahkan laporan keuangannya dan sebagainya. Ya, itu sama saja dia udah mati duluanlah kira-kira gitu," imbuhnya.

Hariyadi mengungkap, aturan pajak hiburan yang baru, untuk bar, karaoke, klub malam, diskotik dan spa mandi uap itu diberikan tarif bawah 40 persen dan maksimal 75 persen. Sementara, untuk sektor yang lain rata-rata pajak barang dan jasa tertentu tertinggi adalah 10 persen.

"Tentunya ini jadi masalah lah ya karena tidak mungkin sektor ini akan hidup dengan pajak 40 persen minimalnya dan apalagi mereka menyerap tenaga kerja dengan jumlahnya besar," ujar Hariyadi.

Pajak Hiburan

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan, pajak hiburan tertentu, yakni diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa tetap mengacu kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), yakni 40 persen-75 persen.

Sebelumnya, aturan ini menimbulkan protes dari kalangan pengusaha. Oleh karena itu, Airlangga menyebut, pemerintah sedang mengkaji terkait pemberian insentif Pajak Penghasilan (PPh) untuk sektor pariwisata.

"Dan yang dipertimbangkan bahwa presiden minta untuk dikaji, diberikan insentif PPh Badan sebesar 10% namun belum diputus, teknisnya masih kami perlu pelajari, masih diberi waktu untuk merumuskan usulan insentif tersebut," kata Airlangga dalam keterangannya, Senin, (23/1/2024).

Airlangga menjelaskan, dalam Pasal 101 UU HKPD, telah diatur bahwa kepala daerah dapat memberikan insentif fiskal berupa pengurangan pokok pajak daerah. Kata Airlangga, kepala daerah memiliki kewenangan untuk melakukan pengurangan tarif pajak dan jasa tertentu (PBJT) atas jasa hiburan.

"Kami sampaikan bahwa daerah bisa memberlakukan pajak lebih rendah dari 40 atau 70 persen sesuai dengan daerah masing-masing, dan juga sesuai dengan insentif yang diberikan, dan tentu terkait dengan sektor yang nanti akan dirinci," kata Airlangga.

Baca juga:

Editor: Sindu

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!