indeks
Saat Pemerintah Turun Tangan Batasi dan Disiplinkan Anak

“Segala permasalahan bangsa seolah dijawab dengan pendekatan militer. Termasuk pendidikan anak-anak,” ujar Dr. Rizky Fajar.

Penulis: Khalisha Putri

Editor: Wydia Angga

Google News
Saat Pemerintah Turun Tangan Batasi dan Disiplinkan Anak

KBR, Jakarta – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, kembali mengeluarkan peraturan yang menyasar pada siswa yakni memberlakukan jam malam bagi pelajar dengan pembatasan aktivitas di luar rumah mulai pukul 21.00 hingga 04.00 WIB. Selain itu, Dedi juga memajukan jam masuk sekolah menjadi lebih pagi, yakni pukul 06.30 WIB yang dibarengi dengan penghapusan pekerjaan rumah (PR) yang akan berlaku per Juli mendatang.

"Untuk jam malam, aturan tersebut mulai diberlakukan bulan Juni 2025, dengan pembatasan aktivitas para siswa atau pelajar di luar rumah mulai pukul 21.00 - 04.00 WIB," kata Dedi Mulyadi dalam keterangan di Bandung pada Minggu, 1 Juni 2025, dikutip dari Antara.

Sebelumnya, 2 Mei 2025, Gubernur Dedi juga 'menyekolahkan' siswa yang dianggap bermasalah untuk digembleng di barak militer. Program ini menggandeng TNI dan Polri. Tak lupa juga larangan siswa membawa motor dan HP ke sekolah.

Segala “paket pendisiplinan” yang berfokus pada anak sekolah ini dikeluarkan berturut-turut dalam selang waktu yang berdekatan.

Seperti Apa Angka Kenakalan Remaja di Jawa Barat?

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) serta Open Data Jawa Barat, terjadi tren penurunan kenakalan remaja di sana. Pada 2020, ada 12.345 , lalu 11.567 kasus pada 2021, dan 10.890 pada 2022.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Keluarga Jawa Barat, Siska Gerfianti menjelaskan, meski terjadi penurunan kasus, namun angkanya tidak signifikan.

"Kenakalan remaja di Jawa Barat ini merupakan masalah sosial yang kompleks dan membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak. Ini harus menjadi perhatian serius karena berdampak pada generasi muda dan stabilitas sosial," katanya dalam diskusi yang sama dengan Kementerian PPPA, Kamis, 8 Mei 2025 seperti dilansir kbr.id.

Deputi bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Pribudiarta Nur Sitepu mengatakan, pengurusan anak bukan perkara sederhana. Amanat UUD 1945 menegaskan tanggung jawab negara dalam melindungi anak, termasuk korban diskriminasi dan kekerasan.

“Makanya ngurus anak itu butuh kerja sama semua orang dan dalam jangka panjang. Undang-Undang Dasar 1945 sudah menyebutkan sebenarnya, kalau orang ngurus anak itu mulai kepalanya, sampai ngurus anak dalam situasi mengalami diskriminasi dan kekerasan,” ujar Pribudiarta dalam Media Talk Menguatkan Komitmen Pendidikan Ramah Anak: Sinergi Kebijakan Daerah dan Nasional di kantor KemenPPPA, Jakarta Pusat, Kamis, (8/5/2025).

Meski begitu pendekatan yang ditempuh kepala daerah untuk menanganginya, tak lepas dari respons berbagai pihak mulai dari kalangan pengamat kebijakan publik, psikolog hingga siswa dan orang tua.

red

Foto: Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi soal Penerapan Jam Malam. Sumber: SMPN 4 kota Bekasi 


Pengamat Kebijakan Publik: Pendekatan Militer Tak Lepas dari Konteks Nasional

Menurut pengamat kebijakan publik dari Spora Communication, Dr. Rizky Fajar Meirawan, munculnya pendekatan militer dalam kebijakan publik belakangan ini tidak bisa dilepaskan dari konteks nasional. Ia menyebut, sejak kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, publik mulai mencermati adanya pergeseran corak pemerintahan ke arah militeristik.

“Segala permasalahan bangsa seolah dijawab dengan pendekatan militer. Termasuk pendidikan anak-anak,” ujar Rizky kepada KBR Media, Rabu (3/6/2025).

“Kalau kita lihat latar belakangnya Deddy Mulyadi, meskipun latar belakangnya adalah sipil, bukan seorang mantan pejabat militer, tapi dia itu satu partai, dalam hal ini Gerindra. Dan partai Gerindra ini kan pendukung utamanya pemerintah, dalam hal ini partainya presiden gitu ya. Maka bisa jadi publik menilai apa gagasan Deddy ini sebenarnya bukan gagasan yang genuine, artinya gagasan yang original dari dia. Ada kemungkinan publik bisa menilai bahwa gagasan Deddy ini sebenarnya legitimasi, jadi perpanjangan tangan saja gitu ya, publik menilai perpanjangan tangan dari militerisme yang dikembangkan oleh pemerintah pusat itu diturunkan lewat pemerintah provinsi,” tambahnya.

Namun, ia juga mengakui bahwa pendekatan disiplin melalui pola barak militer bukan hal baru. Ia mencontohkan program Basecamp yang pernah ditayangkan di Trans7 sebagai produk jurnalisme yang mendukung pendekatan serupa.

“Basecamp itu dulu memperlihatkan bagaimana anak-anak yang ekstrem kenakalannya, dididik dalam pola militer. Dan itu berhasil dalam beberapa kasus,” tambahnya.

Rizky menekankan pentingnya membedakan antara kenakalan remaja dengan tindakan kriminal. Ia menilai bahwa pendekatan pendidikan berbeda harus diterapkan tergantung dari tingkat keparahan perilaku anak.

“Kalau sekadar bolos sekolah atau merokok, itu masih kenakalan. Tapi kalau sudah menusuk teman dengan senjata tajam, itu kriminal. Maka intervensinya pun harus berbeda,” ungkapnya.

Dalam konteks ini, program pendidikan barak menurutnya memiliki dasar filosofis, yakni membentuk disiplin yang tidak cukup hanya dengan pendekatan sipil. Ia juga menyebut bahwa banyak instansi sipil seperti PNS pun menjalani pelatihan dasar militer, namun tidak dipermasalahkan.

Terkait rencana jam malam pelajar, Rizky justru mendukung kebijakan tersebut, selama pendekatannya dilakukan oleh unsur sipil seperti Satpol PP, bukan militer. Menurutnya, anak-anak memang belum memiliki kemandirian dan kemampuan berpikir panjang, sehingga perlu dikontrol aktivitasnya di luar rumah pada malam hari.

“Anak itu masih dalam tanggungan orang tua. Kalau keluyuran di jam belajar, itu kontraproduktif. Maka perlu ada pembatasan,” katanya.

Ia menambahkan bahwa jam malam justru bisa memperkuat nilai-nilai keluarga. Pemerintah daerah bisa mengatur anak-anak untuk kembali ke rumah, agar lebih dekat dengan orang tua dan terlibat dalam proses pendidikan secara menyeluruh.

red

Foto: (tengah)Pengamat Kebijakan Publik dari Spora Communication, Dr. Rizky Fajar Meirawan

Namun, rencana Dedi Mulyadi untuk menghapus pekerjaan rumah (PR) sebagai kompensasi dari penerapan jam malam dan sekolah pagi menuai kritik dari Rizky. Ia menyebut PR sebagai jembatan penting antara lembaga sekolah dan keluarga.

“PR itu bagian dari sistem komunikasi antara guru dan orang tua. Kalau dihapus, orang tua kehilangan alat untuk memantau sejauh mana anaknya belajar,” ujar Rizky.

Menurutnya, masalah bukan terletak pada keberadaan PR, tetapi pada jenis PR yang diberikan. Ia menilai PR yang memberatkan atau tidak relevan memang harus dievaluasi, tapi bukan berarti seluruh konsep PR harus dihapus.

Sebagai penutup, Rizky menyampaikan bahwa penanganan kenakalan remaja dan pembentukan karakter anak tidak bisa hanya dibebankan kepada sekolah atau pemerintah. Ia menegaskan pentingnya melibatkan keluarga dalam setiap tahapan pendidikan anak.

“Anak itu lembaganya hanya dua: sekolah dan keluarga. Maka keduanya harus sinergi,” ujarnya.

Ia merekomendasikan agar kebijakan publik diarahkan untuk meningkatkan peran serta orang tua, mulai dari jam belajar yang mendekatkan anak dengan keluarga, hingga evaluasi berkala atas efektivitas program seperti barak militer maupun jam malam.

Meski begitu, Rizky tetap menekankan pentingnya penelitian dan evaluasi jangka panjang. Ia menyarankan agar sebelum dinilai berhasil atau gagal, kebijakan tersebut harus melalui pengujian akademis dengan pendekatan riset yang melibatkan semua pihak terkait: siswa, guru, orang tua, dan instansi pendidikan.

Psikolog: Disiplin yang Efektif Tidak Berarti Keras atau Militeristik.

Semantara itu, Psikolog anak dan remaja dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia Vera Itabiliana Hadiwidjojo menilai paket disiplin ini justru dianggap berisiko menimbulkan tekanan mental pada anak dan remaja jika tidak disertai pendekatan yang manusiawi.

Kata Vera, efektivitas kebijakan ini bergantung pada pendekatannya. Ia menjelaskan bahwa pembatasan jam malam memang bisa menciptakan rutinitas sehat dan mengurangi risiko remaja terpapar lingkungan negatif. Tetapi bila diberlakukan tanpa dialog, menurut Vera, justru dapat menimbulkan efek sebaliknya.

“Jika hanya berupa larangan sepihak tanpa edukasi dan komunikasi, anak akan merasa kurang dipercaya. Ini bisa mendorong mereka berperilaku sembunyi-sembunyi atau menekan emosi mereka sendiri,” jelasnya kepada KBR Media, Rabu (3/6/2025).

red

Foto: Psikolog anak dan remaja dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia Vera Itabiliana Hadiwidjojo


Vera menambahkan, rasa diawasi berlebihan dapat memicu stres, kecemasan sosial, hingga kesulitan membangun kemandirian.

“Anak yang tumbuh dalam pengawasan ketat tanpa ruang berdiskusi bisa sulit mengambil keputusan saat dewasa, karena tidak pernah dilatih untuk mandiri dan bertanggung jawab atas pilihannya.”

Kebijakan lain yang menjadi catatannya adalah wacana masuk sekolah pukul 06.00 pagi. Meski kebijakan itu diyakini gubernur dapat menanamkan disiplin dan kebiasaan hidup teratur, namun kebijakan ini dinilai Vera justru bertolak belakang dengan kebutuhan biologis dan ritme tidur anak-anak dan remaja.

“Remaja secara biologis baru mengantuk di atas jam 10 malam. Jika mereka dipaksa bangun pukul 4 atau 5 pagi, itu bisa mengurangi jam tidur ideal yang seharusnya 8-10 jam. Akibatnya, mereka rentan kelelahan, sulit fokus, bahkan berisiko mengalami gangguan suasana hati,” pungkasnya.

Ia juga menambahkan bahwa performa kognitif, termasuk konsentrasi dan daya ingat, justru mencapai puncaknya beberapa jam setelah bangun tidur bukan di pagi buta.

Sedangkan penghapusan pekerjaan rumah (PR) untuk siswa demi menyeimbangkan waktu belajar dan istirahat, menurut psikolog Vera, hal ini bisa berdampak positif, selama tidak berdiri sendiri.

“Menghapus PR bisa memberi ruang bagi anak untuk istirahat, bersosialisasi, atau berekreasi. Tapi jika digabung dengan aturan jam malam ketat dan masuk sekolah terlalu pagi, manfaatnya bisa tertutup oleh kelelahan fisik dan kurangnya waktu interaksi sosial.” pungkasnya.

Secara keseluruhan, psikolog menilai pendekatan Dedi Mulyadi yang mengedepankan kontrol dan pembatasan terlalu kaku. Dalam psikologi perkembangan, pembentukan karakter dan disiplin idealnya dilakukan dengan pendekatan positif dan relasional.

Suara Pelajar: Bukan Dibatasi, tapi Ingin Dimengerti!

Di Depok, sejumlah pelajar menyampaikan pandangan mereka terhadap pembatasan aktivitas luar rumah dari pukul 21.00 hingga 04.00 WIB tersebut.

Aisyah, seorang siswi SMA di Depok, mengaku memahami tujuan baik di balik kebijakan tersebut, yakni untuk melindungi pelajar dari potensi bahaya di malam hari. Namun, ia juga menilai bahwa aturan ini turut membatasi ruang gerak dan kebebasan remaja dalam menjalani aktivitas sosial di luar jam sekolah.

"Dari sudut pandang seorang pelajar kayak aku, aturan malam ini kerasa sih niat baiknya untuk menjaga keamanan di lingkup kehidupan bermasyarakat. Tapi di sisi lain, timbul kekhawatiran tersendiri karena aku pribadi juga kegiatannya sering selesai agak malam, jadi rasanya kaya dikekang," jelasnya kepada KBR Media, Rabu (3/6/2025).

red

Foto: Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi berbincang dengan sejumlah siswa saat meninjau program pendidikan karakter dan kedisiplinan di Dodik Bela Negara Rindam III Siliwangi, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Senin (5/5/2025). ANTARA FOTO/Abdan Syakura


Sementara itu, Raid Naufal, pelajar lainnya, mengaku lebih santai dalam menanggapi aturan tersebut.

"Biasa saja, mungkin karena saya jarang keluar malam," ungkap Raid kepada KBR Media, Rabu (3/6/2025).

Kebijakan ini memang ditujukan untuk menciptakan rasa aman, khususnya bagi para orang tua. Namun bagi sebagian pelajar, perasaan diawasi secara berlebihan bisa muncul.

"Untuk para orang tua mungkin merasa lebih aman, tapi bagi aku kebijakan ini agak memberatkan. Jujur, tapi aku ngerti sih ini positifnya bisa meminimalisir pergaulan bebas kayak tawuran dan yang lain-lain," tutur Aisyah.

Raid memandang bahwa pengawasan justru menjadi sisi positif dari kebijakan ini.

"Menurut saya secara pribadi iya (membuat lebih aman), karena pastinya anak-anak yang sering tawuran mereka akan diawasi," jelasnya.

Ia menambahkan, aturan ini sudah tepat menyasar pelajar.

"Menurut saya sebagai seorang pelajar kebijakan ini sudah cocok untuk diterapkan karena untuk pelajar seharusnya tidak keluar malam. Terlebih mereka di hari-hari sekolah harus bangun pagi dan kebutuhan tidur harus tercukupi supaya tetap bisa fokus dalam belajar." pungkasnya.

red

Foto: Siswa berada di barak militer saat program pendidikan karakter dan kedisiplinan di Dodik Bela Negara Rindam III Siliwangi, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Senin (5/5/2025). ANTARA FOTO/Abdan Syakura


Setali tiga uang, orang tua siswa di Depok, Siti Zubaedah, yang menilai aturan jam malam dapat mencegah anak-anak terlibat dalam aktivitas negatif di malam hari. Ia percaya kebijakan itu akan membantu orang tua menjaga anak-anak dari potensi kenakalan remaja.

"Kebijakannya itu membantu banget ya jaga anak-anak dari potensi kenakalan remaja. Karena kebanyakan kegiatan malam itu rata-rata negatif, jadi bagus lah ada jam malam untuk anak-anak," ujar Siti kepada KBR Media, Rabu (3/6/2025).

Terkait jam masuk sekolah pukul 06.00 pagi, Siti juga menyambut baik kebijakan tersebut. Ia mengatakan jadwal yang lebih pagi justru membuat rutinitas anaknya lebih efektif.

"Itu udah bagus banget. Dari jeda waktu bangun subuh sampai ke sekolah gak terlalu panjang. Kondisinya juga masih segar habis mandi wudhu, lalu berangkat sekolah," jelasnya.

Ia menilai kebijakan-kebijakan ini sesuai dengan kondisi di lingkungan sekitarnya.

"Pasti relevan lah. Makanya kebijakan itu dibuat, karena pernah ada kejadian yang meresahkan," katanya.

"Kami sebagai orang tua berharap anak-anak bisa lebih baik, keamanannya terjaga, dan hak-haknya terpenuhi," tutupnya.

Baca Juga:

- Siswa Dilarang Bawa HP ke Sekolah, Bagaimana Kecakapan Digital?

- Penambahan Anggaran Pendidikan 2026, Apa Catatan agar Tepat Guna?

Jika anda tertarik dengan pembahasan seputar kesehatan mental yang terkait dengan kehidupan sehari-hari, anda bisa mendengarkan podcast Disko "Diskusi Psikologi" melalui kbrprime.id.

KDM
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi
Dedi Mulyadi
Pembatasan Jam Malam Anak
Jam Sekolah Dimajukan
Anak Masuk Barak Militer

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...