Article Image

NASIONAL

Riset: Minim Pemimpin Perempuan di Industri Keuangan

"Hasil riset Women’s World Banking, jumlah pemimpin perempuan di industri keuangan hanya 15%, padahal keterlibatannya sangat berpengaruh terhadap perusahaan."

KBR, Jakarta, - Kesetaraan gender di dunia kerja masih jadi problem di era modern. Bagi yang nggak percaya, bisa lihat data Badan Pusat Statistik (BPS) 2021-2022 yang menunjukkan kesenjangan antara partisipasi angkatan kerja perempuan dengan laki-laki.

Jumlah perempuan di usia produktif yang bekerja hanya 53 persen. Beda jauh dengan laki-laki yang mencapai 83 persen. Padahal, jumlah usia produktif antara laki-laki dan perempuan, sama. 

Kondisi ini juga tercermin di industri keuangan seperti perbankan dan teknologi finansial (fintech), sebagaimana hasil temuan Women’s World Banking pada 2022.

Menurut Deputy Director of Policy Southeast Asia di Women's World Banking, Vitasari Anggraeni, masih banyak bias gender di industri keuangan, tetapi tidak disadari. Makin tinggi level jabatannya, jumlah perempuan yang menjadi pemimpin kian minim. 

"Dari junior level memang tidak ada perbedaan. Bahkan perempuan lebih banyak, 54%, 45,5%-nya laki-laki. Tapi kalau udah naik ke middle level, semakin turun nih perempuannya 42%, senior level perempuannya hanya tinggal tersisa 32%.

Perusahaan enggan memberi perempuan promosi jabatan dilatari kuatnya bias gender.  

“Misalnya si B, dia laki-laki, dia tidak akan cuti melahirkan. Ya, saya promote si B aja. Padahal itu kan bukan satu-satunya ukuran. Karena kompetensi sebenernya tidak didefinisikan oleh hal-hal seperti itu,” tuturnya.

Alhasil, sangat sedikit perempuan yang menduduki posisi-posisi elit di perusahaan terbuka.

"Perempuan hanya hold like 15% kepemimpinan dari di leadership position dari 200-an perusahaan yang terdaftar di Indonesia Stock Exchange. Kita bicara tidak ada diskriminasi, tapi angkanya kan tidak berkata demikian,” terang Vita.

Baca juga:

Mental Hack untuk Kontrol Revenge Spending

Teka-teki Umur Ideal untuk Menikah

Deputy Director of Policy for Southeast Asia di Women’s World Banking, Vitasari Anggraeni menyebut perlu ada perempuan di kursielit perusahaan agar desain produk yang dihasilkan bisa lebih inklusif. (Foto: dok pribadi)

Saat evaluasi kinerja, perempuan kerap dinilai berdasarkan stigma. Misalnya, perempuan tidak rasional dan hanya memakai perasaan. 

"Kalau ada feedback dari atasan, feedback-nya itu bukan dari keputusan-keputusan mereka (perempuan) dari sisi profesionalitasnya. Tetapi lebih ke karakter ataupun emotional status," ujar alumni Universitas Gadjah Mada itu.

Padahal, kehadiran perempuan di posisi elit bakal memberi keuntungan bagi perusahaan. Vita juga menyodorkan riset Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) yang menunjukkan, ada 30 persen saja perempuan di jajaran elit, perusahaan mampu profit 6 persen lebih tinggi ketimbang yang all men leaders.

“Perusahaan akan menjadi lebih stabil dan resilient. Karena, kita melihat perspektif dari perempuan, laki-laki, dan juga mungkin penyandang disabilitas, kemudian perspektif social inclusion lainnya. Ketika perempuan menjadi pembuat keputusan maka produk-produk keuangan eventually juga akan punya perspektif gender," ungkap Vita. 

Vita bilang, perusahaan perlu menyadari soal problem bias gender dan diskriminasi ini. 

“Memang perlu ada intensi dari awal untuk mendesain produk dengan lensa perempuan atau membuat kebijakan dengan melibatkan perempuan secara bermakna di dalam desain-desain produk keuangan, maupun pembuatan kebijakan di industri keuangan,” pungkas Vita.

Dengarkan Uang Bicara episode Riset: Minim Pemimpin Perempuan di Industri Keuangan bersama Deputy Director of Policy, Southeast Asia, Women’s World Banking di KBR Prime, Spotify, Apple Podcast, dan platform mendengarkan podcast lainnya.