BERITA
Razia Buku Komunis karena Kuatir PKI Balas Dendam?
"Ini masalah dendam. PKI itu dendam. Ini kita kecilkan lagi, kalau gede susah nanti."
AUTHOR / Heru, Dian, Astri, Hermawan, Rei
KBR, Jakarta- Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mendukung usul Jaksa Agung Muhammad Prasetyo yang ingin razia buku komunis besar-besaran. Ryamizard menilai, razia buku tersebut untuk mencegah adanya usaha balas dendam dari anggota-anggota PKI saat peristiwa 1965.
Ia juga mengklaim mengetahui banyak pertemuan yang merencanakan pembangkitan kembali paham komunisme di Indonesia.
"Kalau mereka tidak berbuat apa-apa, tidak ada masalah. Ini rapat ke sana, rapat ke sini. Bukan kita nggak tau rapat apa. Itu mau apa? (Komunis masih ada kekuatannya?) Ini masalah dendam. PKI itu dendam. Ini kita kecilkan lagi, kalau gede susah nanti. Belum lagi paham radikal. Sama itu. Saya mengerti, bahaya negara ini," kata Ryamizard di kompleks Istana Kepresidenan, Kamis (24/01/2019).
Ryamizard menilai, buku menjadi salah satu media penyebaran paham komunisme yang berbahaya, sehingga perlu dirazia. Kata dia, pemerintah akan berusaha agar paham komunisme tersebut tak membesar. Alasan Ryamizard, PKI sudah tiga kali memberontak, yakni pada 1926, 1948, dan 1965. Selain itu, ia menilai, munculnya kembali komunisme tersebut sama bahayanya dengan gerakan-gerakan radikal di Indonesia.
Sebelumnya Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengusulkan razia buku yang diduga mengandung paham komunisme dilakukan secara besar-besaran.
"Saya usulkan Kalau mungkin ya lakukan razia besar besaran saja, karena toko di berbagai tempat menyatakan, ini bukan hanya di tempat saya di tempat lain ada. Ini yang perlu dicermati lagi," kata Prasetyo saat ditemui di gedung DPR, Jakarta, Rabu (23/01/2019).
Prasetyo mengatakan, saat ini Kejaksaan Agung sedang melakukan kajian terhadap buku-buku yang diduga memuat paham komunisme. Kendati dia tak menargetkan kapan hasil kajian itu akan dipubikasikan.
"Ini diawali temuan Kediri sana, justru dari laporan itu akan dievaluasi," kata Prasetyo
Penyitaan buku yang dilakukan aparat TNI di berbagai daerah di sejumlah toko buku menuai kecaman. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai tindakan penyitaan itu sewenang-wenang. Direktur Eksekutif ICJR Anggara Suwahju mengatakan penyitaan itu tanpa prosedur yang sah sesuai ketentuan hukum atau perundang-undangan.
Anggara mengatakan jika aparat hendak menyita buku, maka wajib mengantongi surat perintah pengadilan, sesuai Pasal 38 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
"Itu kan properti. Penyitaan hanya bisa dilakukan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dan atas perintah pengadilan. Tentu juga harus ada perkaranya dulu, tidak bisa kemudian menyita begitu saja. Apa yang terjadi itu menurut kami di luar prosedur hukum yang berlaku," kata Anggara kepada KBR, Kamis (27/12/2018).
Selain itu, TNI juga tidak memiliki kewenangan melakukan upaya paksa berupa penggeledahan maupun penyitaan. Dalam perkara yang melibatkan masyarakat sipil, TNI tidak memiliki wewenang atasnya.
Direktur Program ICJR, Erasmus Napitupulu mengatakan, jika tidak memiliki alasan kuat dan landasan hukum yang pasti, razia yang akan dilakukan dapat digolongkan sebagai pencurian. Dan dalam hal ini pemerintah juga telah mengambil hak informasi masyarakat terkait sejarah.
"Itukan buah reformasi kita, suatu hal yang kita perjuangkan adalah bagaimana warga negara mendapat suatu informasi, negaralah yang kemudian memberikan edukasi, tapikan tidak mampu. Akhirnya warga negara harus mencari informasi itu di tempat lain, dan kemudian dikekang untuk tidak boleh baca segala macam. Tingkat literasinya sudah kecil, bukunya diberedel. Mau jadi apa negara ini, pak Jokowi yang mau revolusi mental, gimana mau revolusi mental kalau warga negaranya tidak baca," ujar Erasmus, saat dihubungi KBR, Kamis (24/01/2019).
Menurut Erasmus, pengurangan atau pembatasan informasi kepada warga negara bisa dilakukan, asalkan dengan landasan hukum yang tepat. Karena hak untuk memperoleh informasi tertuang dalam konstitusi dan undang-undang, dimana salah satu upaya mendapatkan informasi adalah melalui buku.
Menurut Founder Rumah Literasi Indonesia di Banyuwangi Tunggul Harwanto, aparat terlalu tergesah-gesah merazia buku- buku yang dianggap mengandung isu komunis itu. Seharusnya kata Tunggul, aparat lebih mengedepankan langkah persuasif dengan cara mengkaji isi buku yang dicurigai memuat isu-isu komunis tersebut.
“Sehingga masyarakat bisa utuh memahami sejarah yang sedang terjadi. Hari ini kan tidak, ketika ada hal- hal yang berkaitan dengan simbul- simbul kiri pemerintah sudah mengeluarkan alarm bahwa itu tidak boleh,” kata TungguL Harwanto di Banyuwangi.
Founder Rumah Literasi Indonesia di Banyuwangi Tunggul Harwanto menambahkan, di zaman yang sudah serba modern ini banyak generasi milineal yang tidak mengetahui sejarah- sejarah masa lalu yang terjadi di Indonesia. Mereka hanya sekilas mendengar cerita dari orang tua. Sehingga seharusnya buku –buku yang mengulas sejarah pemberontakan PKI menjadi pengetahuan bagi generasi muda dan tidak harus dirazia dan dilarang untuk dibaca.
Tunggul berharap, agar razia buku- buku yang dinilai bermuatan komunis tersebut dihentikan. Karena buku- buku yang memuat sejarah masa lalu Indonesia ini sangat penting bagi generasi milenial. Agar kedepanya tidak menimbulkan tanda tanya besar terkait peristiwa besar yang pernah terjadi di Indonesia.
Putusan MK
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga mempersoalkan legitimasi TNI terkait razia buku yang disebut mengandung konten komunisme. Komisioner Komnas HAM Chairul Anam mengatakan, tindakan tersebut melampaui batas kewenangan dan melawan putusan Mahkamah Konstitusi.
"Tidak ada satu pun legitimasi yang dimiliki tentara melakukan sweeping buku. Kalau memang harus ada tindakan seperti itu, diuji dong di pengadilan, masa dulu masih diuji di pengadilan sekarang tidak, toko-toko buku di-sweeping gitu. Ini negara sedang membangun proses demokrasi tapi ada kerikil-kerikil tajam begitu yang melampaui batas kewenagan dan melawan putusan Mahkamah Konstitusi," kata Anam, Rabu (16/1/2019).
Anam mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi pada 2010 mencabut kewenangan pelarangan buku. Melalui keputusan nomor 6-13-20-PUU-VIII-2010 tersebut pelarangan barang cetakan, termasuk buku, kini hanya bisa dilakukan melalui proses hukum, dan diputuskan oleh pengadilan.
"MK sudah melarang pelarangan pada buku, terus apa landasan orang-orang yang melakukan sweeping pada buku? Harusnya tidak ada. Putusan MK sebagai institusi hukum paling tinggi di negara ini mengatakan tidak boleh ada pelarangan buku," imbuhnya.
Sebelumnya TNI dari Kodim 0809 Kediri Jawa Timur melakukan penyitaan di sejumlah toko buku. Penyitaan dilakukan TNI terhadap buku-buku yang diduga mengandung konten komunisme, pada Rabu 26 Desember 2018.
Selang dua minggu, aparat gabungan TNI, Polri, dan Kejaksaan Negeri Padang menyita enam eksemplar dari tiga buku yang disinyalir mengandung paham komunisme pada Selasa, 8 Januari 2018.
Editor: Rony Sitanggang
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!