NASIONAL

Putusan MKMK: 9 Hakim MK Kena Teguran Lisan, Arief Hidayat Teguran Tertulis

"Sanksi teguran lisan kolektif dikeluarkan MKMK melalui tiga putusan, yaitu Putusan Nomor 5/MKMK/L/10/2023, Putusan Nomor 3 dan Putusan Nomor 4."

Resky Novianto

MKMK, Anwar Usman
Anggota Brimob berjaga di gedung MK menjelang putusan MKMK di Jakarta, Selasa (7/11/2023). (Foto: ANTARA/Galih Pradipta)

KBR, Jakarta - Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) menjatuhkan putusan berupa teguran lisan terhadap seluruh hakim Konstitusi atas tindakan pelanggaran kode etik dan perilaku.

Sanksi itu dikeluarkan MKMK melalui tiga putusan, yaitu Putusan Nomor 5/MKMK/L/10/2023, Putusan Nomor 3 dan Putusan Nomor 4.

Dalam Putusan Nomor 5, hakim yang dikenai sanksi teguran lisan adalah Manahan MP Sitompul, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Daniel Yusmic Pancastaki Foekh dan M Guntur Hamzah.

Pada Putusan Nomor 3, hakim yang mendapat teguran lisan adalah hakim konstitusi Saldi Isra dan delapan konstitusi lainnya terkait kebocoran informasi dari Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).

Pada Putusan Nomor 4, MKMK menjatuhkan teguran lisan terhadap hakim konstitusi Arief Hidayat dan hakim MK lainnya terkait kebocoran informasi RPH, serta teguran tertulis karena pernyataan di media massa yang dianggap merendahkan Mahkamah Konstitusi.

Tradisi tidak mengingatkan

Dalam Putusan MKMK Nomor 5, MKMK menyatakan enam hakim terlapor terbukti melanggar kode etik dugaan adanya pembiaran yang kemudian menjadi tradisi bahwa memeriksa memeriksa perkara yang berpotensi munculnya benturan kepentingan tidak dilakukan secara hati-hati dengan konstruksi argumentasi yang meyakinkan.

MKMK menilai telah terbangun tradisi untuk menguji norma padahal dibaliknya terkandung muatan kepentingan yang bisa memberi manfaat bagi keuntungan pribadi.

"Pada puncaknya adalah potensi benturan kepentingan yang melibatkan Ketua Mahkamah Konstitusi dalam penanganan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Peristiwa hukum sebagaimana terjadi di atas tentunya tidak akan terjadi seandainya setiap hakim konstitusi memiliki rasa sensitifitas yang tinggi dan waspada terhadap isu benturan kepentingan," begitu bunyi putusan MKMK.

Selain itu, menurut MKMK, hilangnya budaya saling mengingatkan di antara sesama hakim apabila memang dirasakan adanya benturan kepentingan salah satu hakim berpotensi terlibat benturan kepentingan menjadi persoalan tersendiri.

"Para hakim terlapor secara bersama-sama terbukti melanggar Sapta Karsa Hutama, Prinsip Kepantasan dan Kesopanan pada angka 1," bunyi putusan MKMK.

"Menjatuhkan sanksi teguran lisan secara kolektif terhadap para Hakim Terlapor."

Dalam putusan itu, MKMK juga menyatakan sembilan hakim konstitusi dianggap telah melanggar Prinsip Kepantasan dan Kesopanan butir penerapan ke 9 terkait kebocoran informasi, yang menyebut "keterangan rahasia yang diperoleh hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya dilarang dipergunakan atau diungkapkan untuk tujuan lain yang tidak terkait dengan tugas Mahkamah."

Terkait konflik kepentingan, MKMK menyatakan "Hakim Konstitusi tidak boleh membiarkan terjadinya praktik pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yang nyata tanpa kesungguhan untuk saling ingat mengingatkan antar hakim, termasuk terhadap pimpinan, karena budaya kerja yang ewuh pakewuh, sehingga prinsip kesetaraan antar hakim terabaikan dan praktik pelanggaran etika biasa terjadi."

Pelapor dalam laporan ini adalah Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI), Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia (TAPHI), Advokat Pengawal Konstitusi, Perhimpunan Pemuda Madani dan Alamsyah Hanafiah.

Baca juga:


Dissenting Opinion tidak melanggar

Sementara itu, pada putusan Nomor 3/MKMK/L/11/2023, MKMK menyatakan Hakim Konstitusi Saldi Isra tidak melanggar kode etik terkait dissenting opinion.

Namun, MKMK menyatakan Saldi Isra secara bersama-sama hakim konstitusi lain terbukti tidak dapat menjaga keterangan atau informasi rahasia dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang bersifat tertutup, sehingga melanggar Prinsip Kepantasan dan Kesopanan.

"Menjatuhkan sanksi teguran lisan secara kolektif terhadap Hakim Terlapor dan hakim konstitusi lainnya," demikian putusan MKMK.

Sementara pada putusan Nomor 4/MKMK/L/11/2023, MKMK menyatakan hakim terlapor Arief Hidayat dinyatakan tidak terbukti melanggar kode etik terkait dissenting opinion yang disusun secara provokatif, mengungkap rahasia dalam RPH ke publik, menjatuhkan kolega sesama hakim dan tidak koheren dengan permasalahan yang dibahas.

Menurut MKMK, hakim terlapor Arief Hidayat tidak dapat dikatakan melanggar kode etik karena materi muatan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023.

"Meskipun ada ruang pada bagian awal pembukaan pendapat berbeda (dissenting opinion) yang mengungkap sisi emosional seorang hakim, berkaitan dengan kata-kata 'kosmologi negatif' atau 'keganjilan dan keanehan yang saya rasakan' hal itu tidak dapat dikatakan sebagai pelanggaran kode etik," bunyi putusan MKMK.

Menurut MKMK, bagian pendapat berbeda hakim konstitusi merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan dari putusan Nomor 9. Karena itu, terhadap putusan berbeda berlaku asas res jidicata pro veritate habetuur (putusan hakim harus dianggap benar).

"Memang seyogyanya pendapat berbeda membahas kontra argumentasi hukum dari substansi perkara yang termuat pada bagian pertimbangan hukum putusan, sehingga terlihat jelas perdebatan ide gagasan yang dipersoalkan. Namun, jikalau hakim ingin membahas dari sudut pandang berbeda yang tidak terkait dengan pokok perkara, seperti membahas dari perspektif prosedural yang berkaitan dengan hukum acara, hal itu pun tidak bermasalah," demikian pernyataan MKMK.

Terkait ceramah dan pernyataan Arief Hidayat di sejumlah media, dan perilaku yang menggunakan baju hitam, MKMK menilai hal itu merupakan perilaku dan citra yang tidak pantas sehingga makin membebani dan menurunkan martabat Mahkamah Konstitusi.

"Hakim terlapor Arief Hidayat terbukti melanggar Sapta Karsa Hutama, prinsip Kepantasan dan Kesopanan butir penerapan pertama yang menyatakan 'hakim konstitusi harus menghindari perilaku dan citra yang tidak pantas dalam segala kegiatan' dan butir penerapan kedua yang menyatakan 'sebagai abdi hukum yang terus menerus menjadi pusat perhatian masyarakat, hakim konstitusi harus menerima pembatasan-pembatasan pribadi yang mungkin dianggap membebani dan harus menerimanya dengan rela hati serta bertingkah laku sejalan dengan martabat Mahkamah."

Arief Hidayat pernah dijatuhi sanksi pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi sebanyak 2 kali yaitu 1 kali teguran lisan pada 15 Maret 2016 dan satu kali teguran lisan pada 11 Januari 2018.

Meski begitu, MKMK menyatakan tidak ada akumluasi sanksi menjadi tiga kali atau menjadi pelanggaran berat, karena PMK 2/2014 telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh PMK 1/2023.

"Hakim terlapor terbukti melanggar Sapta Karsa Hutama, Prinsip Kepantasan dan Kesopanan sepanjang terkait dengan pernyataan di ruang publik yang merendahkan martabat Mahkamah Konstitusi dan menjatuhkan sanksi teguran tertulis," demikian bunyi putusan MKMK.

Editor: Agus Luqman

  • MKMK
  • Anwar Usman

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!