NASIONAL

Polisi Tak Bawa Senjata Api, tapi Gas Air Mata

Polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa.

AUTHOR / Hoirunnisa, Resky Novianto. Shafira Aurel, Sindu

EDITOR / Sindu

Polisi Tak Bawa Senjata Api, tapi Gas Air Mata
Ilustrasi: Poliri menembakkan gas air mata saat membubarkan unjuk rasa. Foto: ANTARA

KBR, Jakarta- Kepolisian menggunakan gas air mata saat mengawal aksi demo Kawal Putusan MK atau tolak revisi UU Pilkada di sejumlah daerah. Misalnya saat aksi demo di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta. Di sana, polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa.

Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) mencatat hingga Kamis malam, (22/08), ada 11 orang ditangkap polisi. Tim advokasi juga menyebut ada tiga orang mengalami luka serius akibat kekerasan aparat.

Tak hanya pedemo, aparat juga melakukan dugaan tindak kekerasan ke para jurnalis. Dewan Pers mengecam tindakan polisi terhadap para jurnalis yang tengah meliput unjuk rasa tolak revisi UU Pilkada di berbagai daerah.

Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengatakan tindakan kekerasan polisi tidak dapat dibenarkan. Sebab, kegiatan jurnalis dilindungi undang-undang saat menjalankan tugasnya. Ninik menyebut, kekerasan berulang aparat kepada jurnalis bukti sangat lemahnya perlindungan negara terhadap kebebasan pers.

"Mengecam keras tindakan aparat terhadap para jurnalis yang melakukan profesinya pada saat kegiatan unjuk rasa penolakan RUU Pilkada. Tidak hanya itu selain teman-teman jurnalis, pers kampus, pers mahasiswa juga menjadi korban kekerasan yang diindikasikan kuat dilakukan oleh aparat, yang seharusnya melakukan perlindungan, melakukan penertiban. Bukan dengan cara kekerasan apa pun alasannya," ujar Ninik dalam konferensi pers secara daring, dikutip Minggu, (25/8).

Klaim Polisi

Padahal sebelumnya, dalam konteks pengamanan di Jakarta, Kapolres Metro Jakarta Pusat, Susatyo Purnomo Condro mengeklaim tetap menghargai massa aksi yang menyampaikan pendapat. Kata dia, personel yang terlibat pengamanan juga tak ada yang membawa senjata api. Namun, di lapangan, polisi menggunakan gas air mata untuk bubarkan pedemo.

"Dalam rangka pengamanan aksi elemen masyarakat di bundaran Patung Kuda Monas dan sekitarnya, kami melibatkan sejumlah 1.273 personel gabungan. Personel gabungan tersebut dari Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Pusat, TNI, Pemda DKI dan instansi terkait personel ditempatkan di sejumlah titik di sekitar Patung Arjuna Wijaya, depan Gedung MK, hingga depan Istana Merdeka," ujar Susatyo kepada wartawan, Kamis, (22/8/2024).

Susatyo mengatakan pengamanan dilakukan untuk mengantisipasi, dengan menyiapkan sejumlah personel untuk melakukan pengamanan dan mencegah massa aksi masuk ke kawasan. Ia mengingatkan seluruh personel selalu bertindak persuasif, tidak memprovokasi dan terprovokasi.

"Lakukan unjuk rasa dengan damai, tidak memaksakan kehendak, tidak anarkis dan tidak merusak fasilitas umum. Hormati dan hargai pengguna jalan yang lain yang akan melintas di Bundaran Patung Kuda Monas dan beberapa lokasi lain," imbau Susatyo.

Polri Beli Gas Air Mata Rp188,9 Miliar

Dalam penelusuran Indonesia Corruption Watch (ICW) di Layanan Pengadaan Secara Elektronik (lpse.polri.go.id), Polri menggunakan duit pajak warga Rp188,9 miliar untuk membeli gas air mata. Pembelian dilakukan dua satuan kerja, yakni Korbrimob Polri, dan Korsabhara Baharkam Polri, di rentang Desember 2023-Februari 2024.

Karena itu, dalam rilis persnya, Jumat, 23 Agustus 2024, ICW mendesak Polri berhenti menembakkan gas air mata ke massa aksi dan kelompok warga. Polri juga didesak membuka laporan pertanggung-jawaban penggunaan gas air mata sejak 2019-2024.

Aparat Brutal

Merespons aksi kekerasan di berbagai daerah saat aksi demo Kawal Putusan MK, Amnesty International menyebut aparat polisi bertindak brutal. Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, ini bukan kali pertama polisi bertindak brutal.

"Aparat yang brutal tersebut seolah tidak mau belajar dari sejarah, bahwa penggunaan kekuatan eksesif telah merenggut hak asasi manusia, dari hak untuk berkumpul damai, hingga hak untuk hidup, tidak disiksa, dan diperlakukan tidak manusiawi," kata Usman dalam siaran persnya, Kamis, 22 Agustus 2024.

Menurut Usman, para pedemo bukan kriminal, tetapi warga yang ingin mengkritik pejabat dan lembaga negara. Ia menegaskan, seumpama mereka melanggar hukum pun tak boleh diperlakukan dengan brutal.

"Di petang hari, ada banyak yang ditangkap dan diperlakukan dengan cara-cara yang tidak mencerminkan penegak hukum yang profesional. Kekuatan hanya bisa dipakai ketika polisi bertindak untuk melindungi warga atau menyelamatkan jiwa, baik jiwa peserta aksi maupun petugas," imbuhnya.

Aksi demo diikuti sejumlah tokoh mulai dari guru besar, akademisi, dan aktivis 1998 untuk mengawal putusan MK yang berusaha diakali DPR dan pemerintah.

Baca juga:

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!