NASIONAL

Polemik Soal Aturan Pembatasan Layanan Gratis Ongkir dari Komdigi, Apa yang Sebenarnya Terjadi?

"Karena di e-commerce itu dan di sosial commerce juga sama, ini juga pasti akan melihat dari ongkos kirimnya berapa, karena ongkos kirim ini menjadi salah satu sub-biaya yang mereka lihat,"

AUTHOR / Siska Mutakin, Resky Novianto

EDITOR / Resky Novianto

Google News
gratis
Ilustrasi: Kurir ngangkut paket ke motor di gudang ID Express Tanjung Priok, Jakarta, Senin (19/5/2025). Foto: ANTARA

KBR, Jakarta- Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) meluncurkan aturan baru, yakni Peraturan Menteri Komunikasi dan Digital Nomor 8 Tahun 2025 tentang Layanan Pos Komersial.

Beleid tersebut dikritik Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI).

Ketua Umum SPAI, Lily Pujiati menilai regulasi baru yang dikeluarkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) masih jauh dari harapan para pekerja.

"Permen ini tidak mengatur tarif batas atas maupun bawah. Tarif tersebut tetap diserahkan kepada pihak penyelenggara dalam hal ini adalah perusahaan platform. Artinya tarif diserahkan pada harga pasar yang tidak mengindahkan aspek hak ketenagakerjaan dari pihak kurir," katanya dalam rilis yang terima KBR, Senin (19/5/2025).

Menurut Lily, pembatasan program gratis ongkir tidak akan berpengaruh besar terhadap upah kurir, selama tarif satuan kerja tidak diatur oleh pemerintah.

"Karena kembali lagi pihak perusahaan platform akan sewenang-wenang menetapkan besaran tarif dengan memperhitungkan komponen biaya tenaga kerja pada urutan terakhir dan bukan prioritas," ujarnya.

red
Kurir menyortir paket di gudang ID Express Tanjung Priok, Jakarta, Senin (19/5/2025). Pemerintah melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Nomor 8 Tahun 2025 tentang layanan pos komersial berencana membatasi program gratis ongkos kirim menjadi hanya tiga kali dalam satu bulan pada layanan ekspedisi agar tidak berdampak kerugian perusahaan ekspedisi, penurunan kualitas layanan, dan kurir dibayar rendah. ANTARA FOTO/Sulthony Hasanuddin


Ketidakpastian Upah Kurir 

Senada dengan Lily, Koordinator Advokasi Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), Raymond J. Kusnadi, menilai regulasi baru yang dikeluarkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) belum menyentuh permasalahan utama.

"Permenkom kemarin itu hanya diatur formulanya aja. Kayak untuk biaya tenaga kerja, biaya angkutan, logistik, dan lain segala macamnya, seperti itu. Jadi tidak mengena pada esensi masalah, dasar masalahnya itu tidak diselesaikan," katanya kepada KBR, Senin (19/5/2025).

Menurut Raymond, salah satu solusinya adalah penetapan tarif minimum oleh pemerintah yang mengacu pada upah minimum regional (UMR) masing-masing daerah untuk memastikan kurir menerima upah layak.

"Karena selama ini kan aspek atau sisi biaya tenaga kerja itu hanya dijadikan nomor sekian dari komponen tadi. Biaya angkutan, biaya logistik, dan segala macamnya itu," ujarnya.

Raymond juga menilai kebijakan Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) belum maksimal. Menurutnya, kebijakan ini seperti peraturan sebelumnya yaitu Permenkominfo Nomor 1 Tahun 2012 tentang Formula Tarif Layanan Pos Komersial, dimana besaran tarif diserahkan pada harga pasar yang tidak mempertimbangkan aspek hak ketenagakerjaan para kurir.

"Jadi mereka akan berperang tarif perusahaan platformnya dan logistik itu yang terkena dampak dan menjadi korbannya lagi-lagi di pekerjaannya itu, yang sebagai kurir," tegasnya.

red
Peraturan Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Nomor 8 Tahun 2025 tentang layanan pos komersial. Foto: jdih.komdigi.go.id

Sebelumnya, dalam aturan Peraturan Menteri Komunikasi dan Digital Nomor 8 Tahun 2025 dijelaskan bahwa Penyelenggara Pos dapat menerapkan potongan harga terhadap besaran Tarif Layanan Pos Komersial sepanjang tahun, apabila besaran Tarif Layanan Pos Komersial setelah potongan harga masih di atas atau sama dengan biaya pokok layanan.

Sementara, tarif Layanan Pos Komersial di bawah biaya pokok layanan hanya dapat diterapkan untuk kurun waktu tertentu.

"Kurun waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan paling lama 3 (tiga) hari dalam satu bulan," bunyi beleid Pasal 45 Ayat 4. 

Keluhan Konsumen

Sejak Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemenkomdigi) mengatur layanan gratis ongkos kirim (ongkir) hanya berlaku selama tiga hari dalam sebulan, banyak memicu respons dari masyarakat.

Naya, warga asal Cianjur, Jawa Barat menyatakan ketidaksetujuan secara jelas, karena menurutnya fitur gratis ongkir dapat menghemat ongkos pengeluaran bulanan.

"Untuk saya yang tinggal di daerah kabupaten dimana belanja kebutuhan yang tergolong dibutuhkan jarang ada di daerah saya, mau ga mau harus beli online dan gratis ongkir ini sangat membantu," katanya kepada KBR, Selasa (20/5/2025).

Naya berharap regulasi ini diatur ulang, misalnya diberi aturan ada minimum belanja sekian baru bisa mendapatkan gratis ongkir.

red
Ilustrasi war diskon belanja online. Foto: ANTARA


Selain Naya, salah satu mahasiswa, Ayu Nurul berpendapat kini dirinya harus berpikir ulang sebelum belanja online.

"Jujur agak kaget karena yang gua tau ini dibatasi sama Komdigi emang agak lumayan aneh ya, gua kan emang dasarnya suka beli di online daripada offline alasannya karena harga lebih terjangkau, nah gratis ongkir ini tuh salah satu alasan utama kenapa banyak orang dan termasuk gua yang jadi betah belanja online. Jadi pas dibatasi sekarang ini rasanya kayak ada yang kurang," katanya kepada KBR, Selasa (20/5/2025).

Ayu menyatakan, keberadaan fitur gratis ongkir sangat krusial dalam pengambilan keputusan untuk berbelanja. Menurutnya, jika ongkir terlampau tinggi, maka keinginan untuk membeli barang tersebut akan hilang.

"Semoga ada perubahan tanpa ada pembatasan gratis ongkir ini atau mungkin nambahin kali ya kuotanya, masa sebulan 3x atau ada sistem baru yang tetap ngasih keuntungan ke pembeli. Agar belanja online tetap lebih terjangkau dan nggak bikin kantong jebol," ujarnya.

Penjelasan Komdigi

Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menegaskan bahwa Peraturan Menteri Komdigi Nomor 8 Tahun 2025 tentang Layanan Pos Komersial tidak mengatur atau membatasi promosi gratis ongkir yang dilakukan oleh e-commerce. Yang diatur adalah pemberian potongan harga ongkir oleh perusahaan kurir, dan itu pun hanya dalam konteks biaya yang berada di bawah struktur biaya operasional kurir.

“Perlu kami luruskan, peraturan ini tidak menyentuh ranah promosi gratis ongkir oleh e-commerce. Yang kami atur adalah diskon biaya kirim yang diberikan langsung oleh kurir di aplikasi atau loket mereka, dan itu dibatasi maksimal tiga hari dalam sebulan,” jelas Edwin Hidayat Abdullah, Direktur Jenderal Ekosistem Digital Komdigi, di Jakarta Pusat, dikutip dari siaran pers komdigi.go.id.

red
Direktur Jenderal Ekosistem Digital Komdigi, Edwin Hidayat Abdullah. Foto: komdigi.go.id

Edwin menjelaskan, potongan harga yang dibatasi adalah diskon yang berada di bawah ongkos nyata pengiriman, termasuk biaya kurir, angkutan antarkota, penyortiran, dan layanan penunjang lainnya. Bila diskon semacam ini terjadi terus-menerus, dampaknya bisa serius: kurir dibayar rendah, perusahaan kurir merugi, dan layanan makin menurun.

“Kita ingin menciptakan ekosistem layanan pos yang sehat, berkelanjutan, dan adil. Kalau tarif terus ditekan tanpa kendali, maka kesejahteraan kurir yang jadi taruhannya. Ini yang ingin kita jaga bersama,” katanya.

red
Peraturan Menteri Komdigi Nomor 8 Tahun 2025 tentang Layanan Pos Komersial. Foto: Komdigi.go.id

Edwin menegaskan bahwa konsumen tetap bisa menikmati gratis ongkir setiap hari jika itu bagian dari strategi promosi dagang e-commerce. “Kalau e-commerce memberikan subsidi ongkir sebagai bagian dari promosi, itu hak mereka sepenuhnya. Kami tidak mengatur hal tersebut,” tambah Edwin.

Menurut Edwin, kebijakan ini hadir bukan untuk membatasi konsumen atau pelaku usaha digital, tetapi untuk melindungi pekerja kurir dan memastikan mutu layanan pengiriman. Kurir adalah pahlawan logistik di era digital—mereka layak dihargai dan diberi penghasilan yang manusiawi.

“Kami ingin pastikan para kurir bisa hidup layak dan perusahaan logistik tetap tumbuh. Ini bukan hanya soal tarif, tapi soal keadilan ekonomi,” ujar Edwin.

red
Foto: Komdigi.go.id


Perusahaan Jasa Logistik Bakal Utamakan Kualitas Layanan

Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres Pos dan Logistik Indonesia (Asperindo) mengimbau kepada perusahaan anggota untuk mengutamakan kualitas layanan ketimbang sekadar menawarkan tarif murah dalam persaingan industri jasa pengiriman.

Maka dari itu, Asperindo menyampaikan apresiasi dan dukungan terhadap penerapan Peraturan Menteri Komunikasi dan Digital (Permen Komdigi) Nomor 8 Tahun 2025 tentang Layanan Pos Komersial.

“Dengan terbitnya Peraturan Menteri No. 8 Tahun 2025 ini diharapkan tidak terjadi praktik perang tarif yang menjurus pada persaingan usaha tidak sehat dalam lingkup ekosistem industri usaha pos dan kurir,” kata Sekretaris Jenderal DPP Asperindo Tekad Sukatno dalam keterangannya di Jakarta, Senin (19/5/2025) dikutip dari ANTARA.

red
Pekerja menyortir barang yang akan dikirim melalui PT Pos Indonesia (Persero) di Sentral Pengolahan Pos, Bandung, Jawa Barat, Jumat (5/4/2024). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/nym. (ANTARA FOTO/RAISAN AL FARISI)

Asperindo memahami bahwa dengan terbitnya regulasi baru ini akan ada sejumlah implikasi yang mengharuskan para penyelenggara pos menyesuaikan dengan ketentuan baru Permen Komdigi tersebut.

Tekad menjelaskan bahwa regulasi ini dirancang sebagai landasan pembaruan menyeluruh terhadap ekosistem pos dan kurir yang semakin vital dalam mendukung pertumbuhan ekonomi digital dan konektivitas nasional di era niaga-el (e-commerce) saat ini.

Menurut dia, regulasi baru ini dirancang untuk mendorong efisiensi operasional, standarisasi layanan, dan perluasan jangkauan pengiriman yang mendukung pertumbuhan ekonomi digital dan konektivitas nasional.

Asperindo juga menegaskan agar para penyelenggara layanan pos tidak larut dalam program promosi ongkos kirim gratis alias free ongkir yang dilakukan marketplace, karena program tersebut merupakan bagian dari strategi promosi internal marketplace untuk pembeli atau penjual, bukan berasal dari penyelenggara pos dan kurir.

"Program free ongkir yang dilakukan oleh marketplace adalah program promosi yang dijalankan marketplace untuk pembeli/penjual dan bukan program yang berasal dari penyelenggara pos dan kurir," tegas Tekad.

red
Sekretaris Jenderal DPP Asperindo, Tekad Sukatno (berpeci/kopiah)) Foto: asperindo.id

Lebih lanjut, Tekad mencermati bahwa dalam Permen Komdigi ini tidak terdapat ketentuan mengenai promosi free ongkir di platform e-commerce. Namun demikian, regulasi ini justru mendorong agar penentuan harga layanan dilakukan berdasarkan kesepakatan yang adil dan transparan antara penyelenggara pos dan pengguna jasa.

Dengan begitu, akan tercipta iklim usaha yang sehat serta berdampak positif terhadap pendapatan para kurir.

"Dalam praktik pelayanannnya, perusahaan anggota Asperindo juga mengadakan program potongan ongkir yang diberikan langsung dari pelaku usaha pos dan kurir ke pengguna jasa, tetapi tidak ada layanan free ongkir dari penyelenggara pos," jelasnya.

red
Ilustrasi - Kurir ekspedisi bersiap mengantarkan barang menggunakan motor listrik di Jakarta, Senin (5/9/2022). Penggunaan motor listrik oleh kurir di perusahaan ekspedisi jasa tersebut bertujuan untuk menekan biaya operasional di tengah kenaikan harga BBM. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Tanggapan Kadin

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) menilai kebijakan Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto telah membangkitkan bisnis kurir dengan memperbaiki ekosistem logistik melalui regulasi baru yang mendukung industri pos, kurir, dan logistik nasional.

Hal itu menyusul diresmikan Peraturan Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Nomor 8 Tahun 2025 tentang Layanan Pos Komersial oleh Menteri Komdigi Meutya Hafid pada Jumat (16/5/2025).

Dimana, regulasi itu dirancang sebagai landasan pembaruan menyeluruh terhadap ekosistem pos dan kurir yang semakin vital dalam mendukung pertumbuhan ekonomi digital dan konektivitas nasional.

“Regulasi baru ini tidak hanya membuka lembaran baru bagi industri pos kurier dan logistik, tetapi juga sebagai langkah strategi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia,” kata Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Perhubungan Carmelita Hartoto dalam keterangan di Jakarta, Sabtu (17/5/2025), dikutip dari ANTARA.

red
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Perhubungan Carmelita Hartoto. Foto: ANTARA

Dia menilai peraturan itu juga dilancang untuk mengisi celah hukum pada sektor pos komersial sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2013 dalam menghadapi era digital yang semakin berkembang pesat.

“Peran sektor pos, kurir, dan logistik tidak lagi sekedar tentang pengantaran surat atau paket semata. Data menunjukkan bahwa tahun 2023 nilai transaksi e-commerce Indonesia mencapai Rp533 triliun dengan peningkatan unit usaha yang signifikan 27,4 persen secara year-on-year,” ujarnya.

Menurutnya, hal itu jelas mengindikasikan peluang besar sekaligus tantangan untuk memperkuat efisiensi dan efektivitas layanan logistik agar mampu mendukung pertumbuhan tersebut.

Oleh karena itu, lanjutnya, regulasi yang baru disusun oleh Kementerian Komunikasi dan Digital mengenai kelayanan pos komersial itu merupakan jawaban atas kebutuhan akan standar pelayanan yang lebih terintegritas dan harmonis.

Kadin optimistis regulasi baru menjawab tantangan distribusi pos yang terpusat di Jawa melalui konsolidasi industri, efisiensi operasional, standarisasi layanan, serta perluasan jangkauan pengiriman ke seluruh wilayah nusantara.

red
Ilustrasi - Warga menggunakan perangkat elektronik untuk berbelanja secara daring di salah satu situs belanja di Bogor, Jawa Barat, Senin (21/3/2022). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

Pembatasan Gratis Ongkir Bikin Daya Beli Menurun?

Ekonom sekaligus Direktur Ekonomi Digital Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyebut biaya ongkos kirim merupakan salah satu komponen penting dalam keputusan konsumen saat melakukan pembelian.

Menurutnya, mayoritas konsumen e-commerce masih sangat berorientasi pada harga (price-oriented), ketika ada pembatasan program gratis ongkir, total harga pembelian akan meningkat.

"Karena di e-commerce itu dan di sosial commerce juga sama, ini juga pasti akan melihat dari ongkos kirimnya berapa, karena ongkos kirim ini menjadi salah satu sub-biaya yang mereka lihat sebelum membeli barang," kata Nailul kepada KBR, Senin (19/05/2025).

"Maka ketika harga naik dan naiknya cukup signifikan, ini bisa mempengaruhi dari keinginan masyarakat untuk membeli barang di e-commerce. Jadi kalau kita lihat keinginan masyarakat akan mengarah kesana, harga naik, kemudian permintaan untuk transaksi di e-commerce juga menurun Ini dampaknya yang sebenarnya tidak kita inginkan," tambahnya.

Selain itu, hal ini juga akan berdampak pada pedagang, karena ketika animo belanja online berkurang, maka yang dirugikan adalah pedagangnya.

red
Ekonom sekaligus Direktur Ekonomi Digital Center of Economics and Law Studies (Celios) Nailul Huda ditemui usai menghadiri diskusi forum wartawan industri di Jakarta, Kamis (17/4/2025). (ANTARA/Muzdaffar Fauzan)


Nailul juga mempertanyakan kejelasan aturan tersebut dalam mengatur apakah pembatasan juga berlaku terhadap kerja sama antara platform e-commerce dan penyedia logistik.

"Karena kalau kita lihat aturannya kan memang itu untuk penyelenggara jasa logistik tapi tidak dijelaskan apakah di e-commerce juga berlaku atau tidak. Nah, ketika yang berlaku di e-commerce, maka tentu ini akan memengaruhi dari harga jual barang," ujarnya.

Nailul meningkatkan pemerintah agar tidak terburu-buru dalam membuat regulasi. Menurutnya, kebijakan yang menyentuh ekosistem digital harus disusun dengan pendekatan yang matang, berdasarkan kajian yang komprehensif tentang model bisnis e-commerce dan jasa logistik.

"Makanya ini yang kita lihat harusnya pemerintah membuat kajian sampai ke sana, bukan hanya kajian yang dia sifatnya membatasi dan sebagainya, yang saya rasa itu justru tidak efektif," tutupnya.

red
Layanan belanja daring sayur dan kebutuhan pokok siap antar ini bertujuan untuk membantu dan memudahkan masyarakat yang sedang membatasi bepergian keluar rumah guna menekan penularan dan upaya pencegahan penyebaran COVID-19. ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

Mengutip dari ANTARA, Permen Komdigi Nomor 8 Tahun 2025 mengatur formula tarif pos komersial berbasis biaya operasional ditambah margin, yang bertujuan langsung memperbaiki ekosistem industri logistik nasional secara menyeluruh.

Biaya operasional yang diatur mencakup biaya tenaga kerja, transportasi, aplikasi, teknologi, biaya kerja sama penyedia sarana dan prasarana, serta biaya akibat kerja sama dengan pelaku usaha orang perseorangan.

Pemerintah juga dapat melakukan evaluasi tarif berdasarkan lima aspek, yaitu ulasan pasar, kajian biaya, penilaian dampak terhadap masyarakat, kinerja keuangan perusahaan, dan keberlangsungan layanan pos.

Penetapan tarif batas oleh pemerintah bersifat sementara dengan masa berlaku maksimal 6 bulan, memberikan fleksibilitas sekaligus perlindungan bagi industrI sehingga mencegah praktik predatory pricing yang merugikan industri.

Baca juga:

Rencana Ojol sebagai UMKM, Kenapa Ditolak?

Bonus THR Ojol dan Kurir Berdasarkan Keaktifan Kerja, SPAI: Diskriminatif!


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!