NASIONAL

Pemerintah Terbitkan PP soal Waralaba, Harus Libatkan UMKM sebagai Pemasok

Peraturan ini menggantikan PP Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, yang dianggap sudah tidak bisa menampung dinamika kebutuhan hukum dan dinamika kegiatan usaha waralaba.

AUTHOR / Agus Luqman

EDITOR / Rony Sitanggang

aturan baru bisnis waralaba 2024, PP Waralaba 35 tahun 2024, PP waralaba terbaru
Pengunjung melihat produk sepatu di mal Grand Indonesia, Jakarta, Kamis (29/8/2024). (Foto: ANTARA/Aprillio Akbar)

KBR, Jakarta - Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2024 tentang Waralaba. Peraturan ini menggantikan PP Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, yang dianggap sudah tidak bisa menampung dinamika kebutuhan hukum dan dinamika kegiatan usaha waralaba.

PP 35/2024 ditandatangani Presiden Joko Widodo pada Senin, 2 September 2024 dan diterbitkan di lembar negara pada hari yang sama. Ini merupakan aturan turunan dari Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Pengesahan Perppu Cipta Kerja. 

PP terbaru ini rinci penyelenggara waralaba yang semula hanya dua (pemberi dan penerima waralaba berdasarkan PP 42/2007), menjadi delapan penyelenggara.

Pada pasal 3, PP 35/2024 membagi penyelenggara Waralaba 8 kelompok. Di antaranya:

  1. Pemberi Waralaba berasal dari luar negeri
  2. Pemberi Waralaba berasal dari dalam negeri
  3. Pemberi Waralaba Lanjutan berasal dari Waralaba luar negeri
  4. Pemberi Waralaba Lanjutan berasal dari Waralaba dalam negeri
  5. Penerima Waralaba berasal dari Waralaba luar negeri
  6. Penerima Waralaba berasal dari Waralaba dalam negeri
  7. Penerima Waralaba Lanjutan dari Waralaba luar negeri
  8. Penerima Waralaba Lanjutan dari Waralaba dalam negeri.

    Pemberi waralaba lanjutan adalah pihak penerima waralaba yang mendapat hak dari pemberi waralaba, untuk menunjuk orang atau badan sebagai penerima waralaba lanjutan.

    Utamakan barang produksi dalam negeri

    Salah satu ketentuan dari PP itu adalah kewajiban bagi pengusaha waralaba agar mengutamakan penggunaan barang produksi dalam negeri. Pada PP 42/2007 sebetulnya juga mengatur hal ini, namun keharusan kerjasama lebih dibebankan kepada pemberi waralaba.

    Ini tercantum dalam Pasal 26 ayat (1) yang berbunyi: "Pemberi Waralaba dan Pemberi Waralaba Lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b sampai dengan huruf d mengutamakan penggunaan barang dan/atau jasa hasil produksi dalam negeri."

    Pasal 26 ayat (2) menyebutkan: "Penerima Waralaba dan Penerima Waralaba Lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e sampai dengan huruf h mengutamakan penggunaan barang dan/atau jasa hasil produksi dalam negeri sepanjang memenuhi standar mutu barang dan/atau jasa yang ditetapkan secara tertulis oleh Pemberi Waralaba dan Pemberi Waralaba Lanjutan."

    Pasal 26 ayat (3) menyebutkan: "Pemberi Waralaba dan Pemberi Waralaba Lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b sampai dengan huruf d harus bekerja sama dengan pelaku Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah di daerah setempat sebagai pemasok barang dan/atau jasa."

    Pasal 26 ayat (4) menyebutkan: "Penerima Waralaba dan Penerima Waralaba Lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e sampai dengan huruf h harus bekerja sama dengan pelaku Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah di daerah setempat sebagai pemasok barang dan/atau jasa sepanjang memenuhi ketentuan persyaratan yang ditetapkan oleh Pemberi Waralaba dan Pemberi Waralaba Lanjutan."

    Pasal 26 ayat (5) menyebutkan: "Pemberi Waralaba dan Pemberi Waralaba Lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b sampai dengan huruf d harus memberikan kesempatan kepada pelaku Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah di daerah setempat sebagai Penerima Waralaba sepanjang memenuhi ketentuan persyaratan yang ditetapkan oleh Pemberi Waralaba dan Pemberi Waralaba Lanjutan."

    Pasal 26 ayat (6) berbunyi: "Pengutamaan penggunaan barang dan/atau jasa hasil produksi dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 27 berbunyi: "Dalam penyelenggaraan Waralaba, penyelenggara Waralaba mengutamakan pengolahan bahan baku di dalam negeri."

    Baca juga:

    Sama seperti pada PP 42/2007, pada PP 35/2024 ini meski ada penekanan keharusan atau kewajiban seperti pada Pasal 26 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) bagi penyelenggara waralaba untuk melibatkan UMKM, namun tidak ada sanksi bagi yang melanggar. Tidak ada pasal sanksi yang merujuk pada pelanggaran pasal 26 PP Waralaba. 

    Padahal, dalam pertimbangan penyusunan PP 35/2024 tertulis: "bahwa dalam perkembangan kegiatan usaha waralaba di Indonesia yang bersifat dinamis, diperlukan adanya regulasi yang dapat mewujudkan keadilan berusaha, kepastian hulnrm, dan kemitraan usaha antara pemberi waralaba dengan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah." 

    Wajib lapor tahunan

    PP 35/2024 juga memberi perhatian khusus kepada pemberi waralaba maupun penerima waralaba dari luar negeri. Di antaranya mewajibkan membuat laporan rutin setiap tahun, paling lambat 30 Juni setiap tahun.

    Pada Pasal 28 ayat (1) disebutkan: "Pemberi Waralaba berasal dari dalam negeri, Pemberi Waralaba Lanjutan berasal dari Waralaba luar negeri, Pemberi Waralaba Lanjutan berasal dari Waralaba dalam negeri, dan Penerima Waralaba berasal dari Waralaba luar negeri wajib menyampaikan laporan kegiatan usaha Waralaba kepada Menteri melalui Sistem OSS."

    Pada Pasal 28 ayat (2) disebutkan: "Penerima Waralaba berasal dari Waralaba dalam negeri, Penerima Waralaba Lanjutan berasal dari Waralaba luar negeri, dan Penerima Waralaba Lanjutan berasal dari Waralaba dalam negeri wajib menyampaikan laporan kegiatan usaha Waralaba kepada kepala dinas yang membidangi perdagangan di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta atau kabupaten/kota setempat, atau Kepala Otorita lbu Kota Nusantara melalui Sistem OSS."

    Laporan tahunan yang diminta berisi:

    1. jumlah penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan;
    2. jumlah gerai;
    3. laporan keuangan yang memuat neraca laba rugi;
    4. omzet;
    5. jumlah imbalan,
    6. keterangan mengenai pengolahan bahan baku di Indonesia;
    7. keterangan mengenai pengelolaan bahan baku di Indonesia;
    8. jumlah tenaga kerja;
    9. status pelindungan kekayaan intelektual; dan
    10. bentuk dukungan yang berkesinambungan kepada Penerima Waralaba atau Penerima Waralaba Lanjutan.

    Pada pasal 29, penyelenggara waralaba yang sudah tidak lagi menjalankan kegiatan usaha waralaba juga diwajibkan membuat laporan tertulis kepada Menteri melalui Sistem OSS atau kepada otoritas perdagangan di daerah.

    Pelanggaran terhadap pasal 28 dan 29 diancam sanksi, dari teguran tertulis, penghentian sementara kegiatan usaha, hingga pencabutan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW).

    PP 35/2024 juga mengubah aturan soal STPW. Pada PP 42/2007, STPW berlaku untuk jangka waktu lima tahun dan dapat diperpanjang lagi selama lima tahun jika perjanjian waralaba belum berakhir.

    Sedangkan, pada PP 35/2024, STPW tidak ada batas masa berlaku. Pasal 16 PP ini menyatakan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW) penerima waralaba dinyatakan tidak berlaku jika:

    • Perjanjian waralaba berakhir,
    • Pemberi Waralaba dan/atau Penerima Waralaba menghentikan kegiatan usahanya, dan/atau;
    • berakhirnya masa perlindungan kekayaan intelektual sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Baca juga:

      Komentar

      KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!