BERITA

Pelanggaran HAM Berat Tragedi KKA Aceh, Kontras: Mestinya Komnas Temukan Motifnya

"Harapan kita kan hasil penyelidikan Komnas HAM ini yang maksimal supaya tidak dikembalikan lagi oleh Kejaksaan Agung,"

AUTHOR / Ika Manan, Sasmito

Pelanggaran HAM Berat Tragedi KKA Aceh, Kontras: Mestinya Komnas Temukan Motifnya
Korban tragedi simpang KKA di Aceh Utara. (Sumber: Youtube)

KBR, Jakarta- LSM Kontras menilai hasil penyelidikan Komnas HAM atas kasus penembakan di Simpang PT Kertas Kraft Aceh (KKA) takkan jauh beda dengan temuan lembaganya. Mestinya, menurut  Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras sekaligus pendamping kasus Simpang KKA, Feri Kusuma, Komnas HAM mampu mengungkap dugaan motif penembakan tentara pada 1999 silam. Sehingga, ada temuan baru yang memperkuat pengusutan dugaan pelanggaran HAM berat oleh Kejaksaan Agung.

"Kita melihat pengalaman sebelumnya, kasus-kasus yang pernah diselidiki Komnas HAM kan dikembalikan kita. Harapan kita kan hasil penyelidikan Komnas HAM ini yang maksimal supaya tidak dikembalikan lagi oleh Kejaksaan Agung," kata Feri saat dihubungi KBR, Kamis (23/6/2016).


Meski simpulan Komnas HAM ini tergolong terlambat, Fery masih berharap dalam berkas ringkasan Komnas HAM terdapat informasi baru selain yang selama ini sudah umum diketahui masyarakat dan lembaga pendamping.


"Kalau saya lihat di rilis, memang tidak ada temuan yang baru, yang lompat begitu. Yang selama ini sudah menjadi pengetahuan masyarakat awam. Makanya saya mau melihat ringkasan eksekutifnya, siapa tahu ada yang berbeda. Karena Komnas HAM kan bisa meminta informasi tentara, mungkin ada atau dokumen rahasia yang tidak dipublikasikan selama ini," imbuhnya.


Seharusnya, kata Fery, hasil penyelidikan Komnas HAM bisa mengungkap kebenaran informasi mengenai kabar anggota TNI yang hilang. Sebab hal ini yang disebut-sebut menjadi latar penembakan di Simpang KKA saat itu.


"Dulu informasi itu berkembang di masyarakat, ada yang bilang benar ada yang bilang tidak. Tapi semua masyarakat yang ikut pada acara Isra Miraj saat itu menyebut tidak ada yang melihat tentara yang ikut dalam barisan massa, itu sebelum peristiwa ya. Kan peristiwa penembakan itu dilatari pencarian anggota TNI yang hilang. Karena kan mereka bisa minta informasi ke tentara," kata Fery.


Komnas HAM, Fery melanjutkan, dalam penyelidikannya itu harus bisa menemukan motif penembakan yang pasukan TNI ke warga sipil di Simpang KKA.


"Peristiwa itu kan tidak lepas dari konflik bersenjata di Aceh. Saya yang penasaran sebenarnya, sebelum peristiwa Simpang KKA itu kan ada informasi salah satu anggota TNI hilang. Nah itu, Komnas HAM sudah membuktikan belum benar ada anggota TNI yang hilang. Karena kalau kami kontras kan tidak punya kekuatan untuk menyelidiki ke arah itu kan," kata Fery.


"Apakah benar atau tidak ada anggota TNI yang hilang? Atau ini hanya akal-akalan tentara untuk mencari masalah dengan masyarakat, atau ada motif yang lain. Setidaknya kan kalau Komnas HAM melakukan penyelidikan kan bisa berkembang ke motif-motif lain. Karena jumlah pasukan yang turun waktu itu sangat banyak," imbuhnya.


Lebih lanjut, Feri juga mempertanyakan temuan Komnas HAM terkait jumlah korban penembakan. Pasalnya, hasil itu berbeda dengan temuan Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh  (KIPKA) bentukan Presiden Ketiga Habibie.


"Hasil temuan KIPKA dulu jumlah korban yang meninggal 39 termasuk salah satu anak yang usianya 7 tahun namanya Sadam Husein. Kalau yang temuan Komnas saya lihat 23. Makanya, saya sedang pelajari, saya baru lihat di web Komnas HAM sambil menunggu ringkasan eksekutif. Mereka kan baru rilis jumlah korban dan dugaan pelaku. Saya juga khawatir dengan informasi ini," ungkap Fery.


Pada 2000 silam, Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh yang dibentuk melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 88/1999 telah melakukan penyelidikan atas kasus ini. Dalam laporannya, komisi independen ini menyebutkan sebanyak 39 warga sipil tewas--termasuk seorang anak berusia tujuh tahun, 156 sipil mengalami luka tembak, dan sekitar 10 warga sipil dinyatakan hilang.


"Tapi tidak ada ujungnya hasil temuan mereka," ujar Fery.


Ditanya soal kasus ini, Juru Bicara TNI Tatang Sulaiman mengaku belum mengetahui laporan dari Komnas HAM soal kasus pelanggaran HAM berat pada peristiwa penembakan di Simpang KKA Aceh. Karena itu, ia enggan berkomentar terkait simpulan Komnas HAM yang menyebut TNI terlibat dalam kasus terlebih dahulu.

"Coba saya pelajari itu dulu. Tahun berapa itu? Tahun 99 Pak. Jadi saya akan pelajari dulu karena saya saat ini sedang di Natuna," jelasnya saat dihubungi KBR, Kamis (23/6/2016).
 

Dalam penyelidikan kasus tragedi penembakan Simpang KKA Aceh pada 3 Mei 1999 lalu, Komnas HAM menyimpulkan terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadi pelanggaran HAM berat masa lalu pada kasus itu, berupa pembunuhan dan penganiayaan yang dilakukan aparat Detasemen Arhanud Rudal dan Yonif 113 kepada warga sipil. Komnas HAM menduga kasus itu melibatkan TNI, Pangdam Bukit Barisan tahun 1999, Komandan Korem Liliwangsa, Komandan Kodim Aceh Utara, Komandan Batalyon Infanteri, Komandan Detasemen Arhanud Rudal hingga Komandan Koramil dan anggota di kesatuan-kesatuan itu.

Tragedi Simpang KKA, yang juga dikenal dengan nama Insiden Dewantara atau Tragedi Krueng Geukueh ini sudah berusia lebih dari 16 tahun. Peristiwa ini berlangsung saat konflik Aceh pada 3 Mei 1999 di Kecamatan Dewantara, Aceh. Saat itu, pasukan militer Indonesia menembaki kerumunan warga yang sedang berunjuk rasa memprotes insiden penganiayaan warga yang terjadi pada tanggal 30 April di Cot Murong, Lhokseumawe.

Komnas HAM menyatakan terjadi pelanggaran HAM berat dalam kasus ini. Pelanggaran HAM berat dari hasil penyelidikan terjadi meluas dan sistematis. Komnas HAM mencatat korban tewas sebanyak 23 orang. Selain itu, 30  orang mengalami penyiksaan.  

Simpang KKA adalah sebuah persimpangan jalan dekat pabrik PT Kertas Kraft Aceh di Kecamatan Dewantara, Aceh Utara. Insiden ini terus diperingati masyarakat setempat setiap tahunnya. Hingga kini, belum ada pelaku yang ditangkap dan diadili.


Editor: Rony Sitanggang    

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!