indeks
Pakar: Nabi Muhammad Tak Haruskan Umatnya Membentuk Khilafah

Penulis: Ade Irmansyah

Editor:

Google News
Pakar: Nabi Muhammad Tak Haruskan Umatnya Membentuk Khilafah
Agamas, Khilafah, NU

KBR, Jakarta - “Negara Indonesia tidak didirikan berdasarkan satu agama, tetapi ragam agama. Jadi hanya Pancasila yang layak dijadikan acuan dan itu adalah harga mati,” ujar Alumni Universitas Al-Azhar Kairo, pernah menjadi pengurus  NU Mesir, Taufik Damas dalam program Agama dan Masyarakat di Radio KBR, Utan Kayu, Jakarta Timur.

Namun belakangan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI dihadap-hadapkan pada sistem khilafah. Beberapa kelompok gencar menyerukan bahwa khilafah adalah solusi atas berbagai permasalahan di tanah air. Sejumlah organisasi masyarakat seperti NU dan Muhammadiyah yang jarang sekali menyinggung diskusi soal khilafah, mulai tegas menyuarakan sikap mereka menolak sistem khilafah seperti yang diterapkan kelompok ISIS di Irak dan Suriah. PP Muhammadiyah bahkan menyatakan bahwa masalah NKRI sudah selesai, dan tidak perlu dipersoalkan lagi.

Sementara menurut Taufik, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama telah menyatakan pendirian khilafah merupakan utopia. Karena umat Islam sedunia secara implisit telah mencapai kesepakatan untuk hidup di bawah naungan berbagai bentuk negara dan pemerintahan. Contoh Kerajaan Arab Saudi dengan al-Mamlakah al-Arabiyyah al-Saíudiyyah), UEA (al-Imarat al-Arabiyyah al-Muttahidah), Kerajaan Malaysia, Republik Islam Iran, dan Republik Indonesia. Itu merupakan ijma sukuti dari umat Islam sedunia tentang dibolehkan hidup di bawah bendera berbagai bentuk negara bangsa. “Yang menjadi alasan NU Menolak Khilafahkarena tidak ada satu ayatpun di Al-quran yang mewajibkan,” ujarnya.

Menurut Taufik, Nabi Muhammad pun menyerahkan kepada umatnya untuk mengatur dan merancang sendiri, sesuai dengan tuntutan perkembangan kemajuan zaman dan tempat. “Islam tidak pernah mewajibkan Khilafah atau sistem kenegaraan tertentu. Yang diwajibkan oleh islam adalah memilih pemimpin bagi sekelompok individu,“ ujarnya.
Sebagai agama yang sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat, Islam memungkinkan umatnya hidup di bawah naungan negara, dari khilafah (kekhalifahan), mulk/mamlakah (kerajaan), imarah (keamiran) hingga jumhuriyyah/jamahariyyah (republik). “ Pancasila dan UUD 45 sudah sangat sesuai dengan Islam. Jadi tidak perlu lagi Khilafah. NU menolak Khilafah sudah sejak awal berdirinya Indonesia karena Indonesia bukan hanya Islam,“ ujarnya.

Menurutnya, keberadaan masing-masing bentuk negara dan sistem pemerintahan itu disesuaikan dengan kebutuhan tiap zaman dan tempat. Apa yang cocok untuk suatu zaman dan tempat, belum tentu cocok untuk zaman dan tempat berbeda. “Jika khilafah dipaksakan, lalu khilafah yang seperti apa? negara islam yang ada berbeda,“ ujarnya. Khilafah adalah fakta sejarah yang dipraktikkan oleh Khulafaur Rasyidin, sepeninggal Rasulullah.

Al-Khilafah al-Rasyidah adalah model  ketika kehidupan manusia belum berada di bawah naungan negara bangsa (nation states). Umat Islam dimungkinkan hidup di bawah kendali seorang khalifah. Namun ketika manusia, tak terkecuali umat Islam, pada abad terakhir sudah hidup di bawah naungan negara-negara bangsa maka sistem khilafah untuk umat Islam kehilangan relevansinya. Selain itu menurut Taufik,, NKRI adalah hasil perjanjian luhur kebangsaan (muíahadah wathaniyyah) para  pendiri negara ini. Bentuk itu untuk mewadahi elemen bangsa yang majemuk berkait suku, bahasa, budaya, dan agama. Untuk itu, menjadi kewajiban semua elemen bangsa mencegah kemungkinan kemunculan bentuk negara lain.

Umat Islam tak boleh terjebak oleh kilau simbol dan formalitas nama yang seolah-olah atau terlihat Islami. Ada adagium populer di kalangan ulama, ” Yang menjadi pegangan pokok adalah substansi, bukan simbol atau penampakan lahiriah,“ tutup Taufik.

Editor: Sutami

Agamas
Khilafah
NU

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...