NASIONAL

Nasib Petani Gurem di Hari Tani Nasional

Pemerintah selama ini kerap mengabaikan nasib petani skala mikro atau gurem lokal dalam menggenjot produksi pertanian dalam negeri. Alih fungsi lahan pertanian yang terus terjadi setiap tahun.

AUTHOR / Hoirunnisa

EDITOR / Hoirunnisa

petani gurem, hari tani nasional, ketahanan pangan, nasib petani gurem
Petani mengawasi bibit padi yang mengering di sawah di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Senin (19/8/2024). (Foto: ANTARA/Adeng Bustomi)

KBR, Jakarta - Selama 10 tahun terakhir, pemerintahan Jokowi dinilai gagal menunjukkan kebijakan yang pro terhadap petani gurem. Petani gurem adalah istilah bagi petani yang memiliki lahan kurang dari setengah hektare.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria KPA Dewi Kartika mengatakan kebijakan agraria selama pemerintahan Jokowi tidak menunjukkan keberpihakan dan keadilan pada petani gurem.

“Bagaimana mengangkat derajat petani gurem yang 17 juta rumah tangga petani itu keluar dari garis kemiskinan. Artinya minimal satu rumah tangga petani itu keluar dari 0,5 hektar. Apalagi kalau tadi bicara 0,2 bahkan pemerintahan Jokowi di tahun-tahun terakhir mendorong satu angka baru petani gurem itu 0,3, padahal sebelumnya itu selalu kita selalu bilang 0,5 adalah batas skala gurem,” ujar Dewi dalam Acara Diskusi Publik Hari Tani Nasional 2024 Dan 64 Tahun Uupa 1960: Solusi Palsu Krisis Pangan, Selasa (17/9/2024).

Sorotan juga datang dari FIAN, sebuah organisasi sipil yang bergiat pada keadilan hak atas pangan dan gizi warga.

Koordinator Nasional FIAN Indonesia, Marthin Hadiwinata menilai kebijakan pemerintah selama ini kerap mengabaikan nasib petani skala mikro atau gurem lokal dalam menggenjot produksi pertanian dalam negeri.

“Pemerintah yang tidak hanya tidak sama sekedar memenuhi perut yang lapar, tetapi juga memastikan produksi pertanian perikanan dan pangan itu dipastikan dijamin produksinya. Bahkan peningkatan produksi pun harus dilakukan oleh pemerintah, sehingga impor pangan pun itu menjadi pilihan terakhir dan itu tidak menjadi pilihan-pilihan yang dibuat-buat,” kata Mathin dalam Acara Diskusi Publik Hari Tani Nasional 2024 Dan 64 Tahun Uupa 1960: Solusi Palsu Krisis Pangan, Selasa (17/9/2024).

Baca juga:

Lahan menyempit

Data Badan Pusat Statistik BPS menunjukkan pembangunan pertanian selama 2013 hingga 2023 semakin menjauh dari parameter inklusif. Sebab, jumlah pelaku marjinal semakin berkurang. Lahan pertanian untuk bercocok tanam semakin sempit di berbagai wilayah Indonesia. 

Imbasnya, jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian atau keluarga petani gurem naik 18 persen, dari 14 juta pada 2013 menjadi 16 juta pada 2023.

Anggota Komisi bidang Pertanian di DPR, Slamet juga menilai pemerintah kurang memprioritaskan kesejahteraan para petani. Bahkan banyak kebijakan pemerintah yang justru memberatkan para petani.

"10 tahun terakhir ini kan luar biasa ya gejala dan nasib dari petani kita itu faktanya seperti itu. Sehingga selalu saya tetap yakin dengan usulan saya bahwa subsidi pasca panen itu memberikan kepastian akan kesejahteraan dari petani kita. Efek dari yakinnya bahwa setiap saya panen pasti laku di pasar dan dengan harga yang menguntungkan, ini juga bisa merangsang regenerasi petani berikutnya mbak, kemudian produktivitas akan terjadi," ujar Slamet, kepada KBR, Rabu (18/9/2024).

Lembaga pengawas pelayanan publik, Ombudsman Republik Indonesia menyayangkan sikap pemerintah yang tidak melakukan evaluasi dalam mengatasi persoalan pertanian dan ketahanan pangan. Kritik itu disampaikan Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika.

"Hampir nyaris tidak ada satu sentuhan dari pemerintah yang bisa mengakibatkan kokohnya industrialisasi di bidang pertanian. Jadi persoalan yang ada di republik ini adalah tingginya demand kita, di satu sisi lemotnya laju pertumbuhan produksi kita. Semakin banyak mulut yang disuap dan ingin beranekaragam pangan, tetapi sebetulnya lahan kita sangat terbatas. Lahan yang adapun akhirnya dipakai dengan program-program yang sebetulnya tidak pro rakyat," ujar Yeka dalam diskusi publik, dikutip Rabu (18/9/2024).

Yeka juga meminta pemerintah tidak melanjutkan program food estate sebagai upaya untuk mencapai ketahanan pangan.

Baca juga:

Pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori menilai, sudah saatnya pemerintah memberikan perhatian lebih untuk menyelamatkan petani gurem tanah air.

“Yang diusahakan petani, yang kuasai petani, apakah lewat kepemilikan, apakah lewat penyewaan, apakah lewat pinjam dari negara, itu ditambah. Aset mereka yang paling penting adalah tanah. Idealnya begitu. Karena kalo mereka punya akses terhadap lahan, akses-akses ke sumberdaya produktif yang lain itu pasti terbuka. Ketika mereka menguasai lahan, akses kepada sumber pendanaan itu terbuka. Ketika akses sumber pendanaan terbuka, akses terhadap input apakah benih, pupuk, itu pasti terbuka." ujar Khudori kepada KBR, Rabu, (28/9/2024).

Khudori menambahkan, kehadiran Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja telah mempermudah alih fungsi lahan pertanian oleh investor, termasuk lahan pertanian yang dikelola petani gurem.

Ia berharap pemerintahan mendatang memiliki kemauan politik untuk menggandeng petani gurem dalam upaya menjaga ketahanan pangan.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!