Belasan tahun sudah lamanya sengketa lahan antara petani di Desa Darmakradenan, Ajibarang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah dengan PT Rumpun Sari Antan (RSA) 4.
Penulis: Ade Irmansyah
Editor:

KBR, Purwokerto - Belasan tahun sudah lamanya sengketa lahan antara petani di Desa Darmakradenan, Ajibarang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah dengan PT Rumpun Sari Antan (RSA) 4. Masalah utamanya adalah rebutan Hak Guna Usaha (HGU) PT RSA 4 dengan warga Desa Darmakradenan, Ajibarang. Seratusan petani yang bersengketa ini tak punya lahan garapan, juga tempat tinggal. Jauh sebelum mereka sengketa dengan swasta, proses terusirnya mereka sudah dimulai sejak Jaman Kolonial Belanda. Menurut sejarah, pada 1870 Belanda memungut pajak tinggi pada para pemilih lahan. Mereka yang tak kuat bayar, menyewakan lahan dan akhirnya hilang kepemilikan.
Ketua Serikat Tani Amanat Penderitaan Rakyat (Stan Ampera) Katur Setiabudi mengatakan petani di desa Darmakradenan hanya menggantungkan diri pada pertanian pada lahan mangkrak. “Kita sudah menemui Badan Pertanahan Nasional (BPN) di Jakarta untuk menjalani proses secara prosedural mengambil alih lahan tersebut,” ujarnya.
Kata dia, dengan rata-rata pendidikan petani yang minim, pihaknya berusaha mengikuti prosedur hukum demi menggugah hati nurani pemerintah agar memberikan lahan tersebut kepada petani. Namun, sejauh ini masih sia-sia. “Tahun 2002 kita ajukan ke pengadilan, sampai menjalani beberapa sidang, namun tidak dimenangkan. Luas tanah yang disengkatakan 110 hektar,” ujarnya.
Kepala Seksi Sengketa, Konflik dan Perkara (Kasie SKP) BPN Kab. Banyumas, Suedi mengatakan, secara legal formal, lahan tersebut memang milik PT RSA 4 untuk hak guna usahanya. “Pengadilan juga sudah memenangkan PT Rumpun Sari Antang soal sengketa kepemilikan lahan tersebut, namun warga tidak terima,” ujarnya.
Suedi mengklaim lembaganya sudah mengupayakan agar tidak ada pihak dirugikan dalam hal ini. Hanya saja warga masih bersikeras untuk memiliki keseluruhan lahan tersebut dan meminta mencabut HGU PT RSA 4 tersebut. “Pertemuan antara warga, pemerintah dan LSM pernah dilakukan. Hasilnya, swasta dan petani harus berbagi lahan, tetapi petani memaksa untuk memiliki keseluruhan lahan,” ujarnya.
Menurut dia, hal tersebut sulit direalisasikan mengingat setidaknya kontrak HGU PT RSA 4 baru akan berakhir pada tahun 2018 nanti. “Data dan dokumen kita lengkap dan sah sejak zaman Belanda dulu soal siapa saja pemilik lahan ini sejak dulu,” ujarnya. Pihaknya hanya berusaha melaksanakan apa yang sudah diputuskan oleh proses hukum.
Menanggapi hal tersebut, Katur Setiabudi mengatakan pihaknya memahami bahwa secara legal formal memang pemanfaatan lahan tersebut milik PT RSA 4. Hanya saja, ada aturan juga yang mengharuskan adanya pelibatan warga sekitar dalam pemanfaatannya supaya kesejahteraan warga bisa terangkat dengan ada perusahaan tersebut. “Menurut undang-undang dan peraturan yang ada, dengan adanya perusahaan di lahan itu, seharusnya bisa mensejahterakan rakyat ketika dikelola perusahaan, tapi faktanya tidak hingga saat ini,” ujarnya.
Ditambah lagi, pengerahan aparat yang seharusnya menjaga keamanan dan melindungi warga malah terjadi sebaliknya. Aparat, terutama TNI justru malah menyerang balik warga dengan intimidasi-intimidasi. “TNI berlaku kejam saat menindak rakyat desa keluar dari lahan. Pemerintah sekarang tak ubahnya penjajah Belanda dulu yang tak dukung rakyat kecil,” ujarnya.
Dosen Pertanian Unsoed, Suprayogi berpendapat pemerintah pusat seharusnya bisa ikut turun ke daerah untuk bisa menyelesaikan masalah tersebut. Suprayogi paham, di era otonomi daerah, persoalan ini jadi urusan pemerintah daerah. Tapi itu tidak berarti pemerintah pusat lepas tangan begitu saja karena ikhwal sengketa ini prosesnya yang sudah sangat lama. “Harusnya petani sabar menunggu HGU perusahaan habis tahun 2018 nanti. Disamping itu pemerintah juga harus beri solusi alternatif,” ujarnya. Alternatif yang dia maksud adalah, baik pemerintah pusat maupun daerah harus bisa menjamin kesejahteraan dan mata pencaharian warga tidak terganggu, setidaknya hingga HGU PT RSA 4 tersebut berakhir.
Kata dia, nantinya, ketika kontrak HGU berakhir, pemerintah harus membuat kebijakan baru dalam kontrak tersebut agar kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan dan supaya kedua pihak bisa berjalan secara selaras. “Semoga RUU Agraria yang sekarang masih dibahas oleh DPR menghasilkan undang-undang yang jelas-jelas memiliki keberpihakan kepada petani miskin di daerah-daerah yang menggantungkan hidupnya dari lahan milik pemerintah,” ujarnya.
Dia menambahkan, maraknya konflik antara warga dengan pemerintah dan swasta terkait lahan di Indonesia akibat kurangnya perhatian pemerintah terhadap masalah tersebut. Pemerintah seharusnya bisa mengantisipasi masalah tersebut agar tidak terjadi, bukan baru bertindak ketika konflik dan bentrok sudah terjadi, bahkan sudah memakan korban jiwa.
“Artikel ini sebelumnya disiarkan pada program Reformasi Hukum dan HAM KBR. Simak siarannya setiap Senin, pukul 09.00 - 10.00 WIB di 89,2 FM Green Radio.”
Editor: Fuad Bakhtiar