NASIONAL

Menyelamatkan Industri Tekstil dari Ancaman Gelombang PHK

Hingga Juni 2024 tercatat kurang lebih 13.800 buruh tekstil di-PHK dengan alasan efisiensi hingga penutupan pabrik.

AUTHOR / Astri Yuanasari, Shafira Aurel

EDITOR / Wahyu Setiawan

PHK
Ilustrasi. (Foto: ANTARA/HO-Humas Kemenperin)

KBR, Jakarta - Ekonom dari Center of Reform on Economic (CORE) Yusuf Rendy Manilet meminta pemerintah segera mengambil sikap untuk menyelamatkan industri tekstil dalam negeri. Sebab dia menilai pemerintah selama ini cenderung lebih memperhatikan industri padat modal saja.

Yusuf mengatakan jika pemerintah tidak serius mengatasi hal ini, badai pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tekstil akan lebih besar.

Salah satu yang harus segera dilakukan pemerintah adalah dengan mengevaluasi seluruh kebijakan, serta meningkatkan daya saing bagi industri tekstil domestik.

"Jadi permasalahan daya saing ini yang kemudian perlu dimitigasi pemerintah kalau ingin kembali menggeliatkan industri padat karya. Bagaimana mitigasinya? Saya kira memang banyak hal yang perlu dilakukan, termasuk di dalamnya pertama melihat isu-isu dasar dulu," ujar Yusuf kepada KBR, Rabu (19/6/2024).

"Pertama, kemampuan sumber daya manusianya. Apakah kemampuan sumber daya manusianya ini sudah sesuai dengan kebutuhan dari industri padat karya itu sendiri. Kemudian infrastruktur untuk kemudian mendorong industri padat karya itu kembali menggeliat. Apakah infrastruktur yang dibutuhkan itu sudah tersedia, ya terutama untuk industri padat karya," imbuhnya.

Yusuf juga mendorong pemerintah lebih memfasilitasi industri tekstil dalam negeri. Salah satunya dengan mempermudah pengadaan mesin.

Berdasarkan catatan Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), hingga Juni 2024 tercatat sekitar 13.800 buruh tekstil di-PHK dengan alasan efisiensi hingga penutupan pabrik.

Evaluasi Permendag

Anggota Komisi Bidang Perdagangan DPR Harris Turino mendorong Kementerian Perdagangan meninjau ulang Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024.

Permendag itu diteken sebagai solusi dari ribuan kontainer berisi barang impor yang tertahan di pelabuhan. Beleid ini merelaksasi persyaratan impor untuk beberapa komoditas seperti elektronik dan produk kimia. Aturan itu mengundang protes dari pelaku usaha yang khawatir akan adanya gempuran produk impor ke pasar domestik.

Harris menilai aturan itu justru menjadi penyebab banyaknya pabrik tekstil di tanah air gulung tikar. Menurutnya, kebijakan tersebut cenderung berpihak kepada importir umum dan pemilik dari Angka Pengenal Importir-Umum (API-U).

"Permendag Nomor 8 ini kan pada hakikatnya mencabut pertek (pertimbangan teknis) dari Kemenperin. Dan pertek ini selama ini digunakan sebagai bendungan utama terhadap arus masuknya tekstil dari luar negeri. Kalau dibiarkan terbuka, kita memang tidak mampu untuk bersaing. Sehingga harapannya Permendag Nomor 8 tahun 2024 ini bisa dipertimbangkan untuk ditinjau ulang demi kepentingan industri tekstil dan produk tekstil nasional," ujar Harris dalam rapat kerja bersama Kementerian Perdagangan, Kamis (13/6/2024).

Baca juga:

Sementara itu, Pengamat Ketenagakerjaan Universitas Indonesia Payaman Simanjuntak memperkirakan badai PHK di industri tekstil dan produk tekstil bakal makin marak terjadi. Sebab hal ini dipengaruhi oleh upaya perusahaan yang terus melakukan perampingan, rasionalisasi, dan akuisisi didasarkan kepada strategi bisnis dan iklim bisnis yang sedang terjadi.

Faktor lain yang menyebabkan PHK atau penambahan angka pengangguran adalah makin sempitnya ketersediaan lapangan pekerjaan.

"Daya serap sektor formal itu sangat terbatas, jadi sektor formal itu menyerap sekitar 45 persen dari angkatan kerja. Sedangkan 55 persen lainnya itu terserap di sektor informal termasuk usaha-usaha mandiri, usaha-usaha kecil dan kompetensi angkatan kerja kita belum cocok terserap di sana," ujar Payaman kepada KBR, Senin (17/6/2024).

Tak Mau Disalahkan

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) tak mau aturannya disalahkan jadi penyebab PHK massal di pabrik tekstil. Menurutnya, permendag yang merupakan revisi Permendag Nomor 36 Tahun 2023 itu tidak bersinggungan langsung dengan kinerja industri tekstil dan produk tekstil (TPT).

"Loh TPT (Tekstil dan Produk Tekstil) kan tetap pertek. Loh gimana? Tekstil enggak ada perubahan, enggak ada, tetap. Besi, baja, tekstil itu nggak ada perubahan. Ya enggak ada kaitannya, karena perteknya kalau tekstil TPT tetap, tidak ada perubahan dalam Permendag 8," kata Zulhas di Kantor Kemendag, Jakarta Pusat, Rabu (19/6/2024).

Zulhas menyebut, permendag tersebut masih mensyaratkan pertimbangan teknis sebagai dokumen impor produk TPT yang sebelumnya disyaratkan dalam Permendag No.36/2023. Tujuan penerapan pertek adalah untuk melindungi industri dalam negeri.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!