Article Image

ARTIKEL PODCAST

Makin Susah Punya Rumah, Tapera Solusinya?

" Program Tapera diklaim bisa menyelesaikan backlog, LPEM UI membuat riset kelebihan dan kekurangan soal kebijakan yang akan berlaku di 2027 ini"

KBR, Jakarta - Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) masih menuai pro-kontra. Rencananya, kebijakan ini mulai berlaku pada 2027. 

Apakah dengan menjadi peserta Tapera, bisa menjamin warga memiliki rumah? 

Menurut peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) UI, Nauli Desdiani, efektivitas Tapera untuk mengatasi tingginya kesenjangan antara kebutuhan rumah dengan pasokan hunian (backlog), perlu dikaji ulang. 

Peserta wajib menyetor iuran 3% per bulan dengan skema: 2,5% ditanggung pekerja dan 0,5 dibayarkan perusahaan atau pemberi kerja.  Di sisi lain, harga rumah tiap tahun meningkat. 

“Pemerintah perlu menjelaskan ke masyarakat secara substansi, apa keunggulan dari program ini dibandingkan program-program terkait kebijakan rumah lainnya seperti perumahan subsidi, rumah rusun,” kata Nauli.

Berdasarkan riset, Jakarta menjadi provinsi dengan kepemilikan rumah terendah di Indonesia. Banyak pekerja di Jakarta memilih beli rumah di pinggiran kota, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi, karena harganya lebih terjangkau.

Namun, opsi ini menyulitkan akses mereka ke Jakarta, karena jaraknya terlampau jauh. 

“Program Tapera itu untuk membantu masyarakat mendapatkan rumah layak, yang perlu dilakukan pemerintah adalah menyediakan rumah terjangkau yang dekat dengan pusat kegiatan masyarakat,” ujar Nauli.

Baca juga: 

Teliti sebelum Membeli Rumah Seken

Kapan Waktu Tepat Membeli/Mencicil Rumah?

Peneliti LPEM UI, Nauli Desdiani menyebut ada sejumlah program alternatif Tapera yang diterapkan di negara lain, yang bisa dijadikan pertimbangan pemerintah. (Foto: dok pribadi)

Di sisi lain, Tapera juga dianggap membebani masyarakat berpenghasilan rendah maupun pekerja informal. 

Di negara lain yang punya program serupa, iurannya digabung dengan jaminan kesehatan dan dana pensiun, serta tidak bersifat wajib.

“Untuk negara-negara berkembang seperti Malaysia, Indonesia, ini masih tanda tanya. Karena di Malaysia, beberapa kasus ketika dana iurannya selesai, masyarakatnya mendapatkan dana kontribusi yang dibayarkan, lebih rendah dibandingkan seharusnya,” sebut Nauli.

Opsi lain, Nauli mendorong pemerintah untuk melanjutkan subsidi rumah bagi masyarakat menengah bawah, seperti DP 0%, cicilan terjangkau, maupun bebas pajak.

Selain itu, pemerintah juga perlu mengatur regulasi tentang properti kosong yang bisa diambil alih, kemudian dimanfaatkan sebagai rusun.

“Pemerintah bisa melakukan kerja sama, misalkan dengan pemerintah daerah, atau dengan developer, untuk membangun perumahan publik atau rusun misalnya. Jadi developer yang membangun rusun, akan diberikan insentif perpajakan, misalkan tax allowance,” saran Nauli.

Dengarkan Uang Bicara episode Makin Susah Punya Rumah, Tapera Solusinya? bersama peneliti LPEM UI, Nauli Desdiani di KBR Prime, Spotify, Noice, dan platform mendengarkan podcast lainnya.