NASIONAL

Lemhannas-KPAI Beri Catatan soal Pendidikan di Barak Militer ala Dedi Mulyadi

Pendidikan militer bukanlah untuk anak-anak yang nakal ...

AUTHOR / Siska Mutakin, Sindu

EDITOR / Sindu

Google News
Lemhannas-KPAI Beri Catatan soal Pendidikan di Barak Militer ala Dedi Mulyadi
Gubernur Jabar Dedi Mulyadi melakukan salam hormat ke salah satu siswa yang ikut pendidikan di barak militer. Foto: jabarprov.go.id

KBR, Jakarta- Gubernur Lemhanas, Ace Hasan Syadzily tak sepakat jika setiap anak-anak yang bermasalah langsung dimasukkan ke barak militer.

Pendapat ini disampaikan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) merespons program pendidikan ala militer yang digagas Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Program ini diperuntukkan bagi anak atau siswa yang diklaim Dedi Mulyadi bermasalah.

"Tidak boleh misalnya, setiap ada orang atau anak-anak yang bermasalah langsung dimasukkan ke militer," kata Ace saat konferensi pers Orasi Kebangsaan HUT ke-60 Lemhannas di Jakarta, Selasa, 20 Mei 2025, seperti dikutip KBR dari Kantor Berita ANTARA, Kamis, (22/05/2025).

Menurutnya, perlu perspektif menyeluruh dan holistik untuk mengkaji program yang dicetuskan Dedi Mulyadi ini. Ia berharap, rencana pengkajian yang akan dilakukan pemerintah terhadap program tersebut bisa melihat masalah secara utuh.

Selain itu, Ace menjelaskan, pendidikan militer bukanlah untuk anak-anak yang nakal, melainkan untuk orang-orang terbaik dan terpilih.

"Jangan sampai terstigma, bahwa kalau orang nakal dimasukkan ke barak militer," ujarnya.

Menurutnya, pendidikan militer dilakukan untuk membentuk patriotisme dan kedisiplinan. Karena itu, muruah pendidikan militer harus dijaga sebagai pendidikan untuk aspek emosional, akademis, serta kepemimpinan sesuai kondisi anak.

Sebab kata dia, perilaku anak dipengaruhi lingkungan keluarga, sosial, dan pengasuhan yang diberikan orang tua.

Ace menyarankan memperbaiki perilaku anak di institusi yang sesuai, ketimbang memasukkan mereka ke barak militer. Insitusi yang dimaksud Ace antara lain Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

red
Gubernur Lemhannas RI, Ace Hasan Syadzily. Foto: lemhannas.go.id


Temuan KPAI

Sebelumnya, dalam konteks program pendidikan militer ala Gubernur Jabar, Dedi Mulyadi, KPAI telah melakukan pengawasan terkait pelaksanaannya.

Ketua KPAI Ai Maryati Solihah mengatakan, kewajiban pengawasan terhadap berbagai program perlindungan anak, sesuai amanat Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Pemerintah Daerah.

"Efektivitas inilah yang diperlukan oleh kementerian lembaga di tingkat pusat dan pemerintah daerah di tingkat daerah. Apakah sudah efektif atau tidak, apakah sudah sesuai dengan aturan perlindungan atau tidak, apakah sudah berdampak atau tidak," katanya dalam konferensi pers secara daring, Jumat, (16/05/2025).

Ai Maryati menyebut, kondisi anak-anak Indonesia saat ini masih menyisakan berbagai persoalan dalam pemenuhan hak-hak dasar dan perlindungan khusus.

Ia mencatat pada 2024, KPAI menerima hampir 2.500 laporan terkait berbagai pelanggaran hak anak, mulai dari hak sipil, pengasuhan, pendidikan, kesehatan hingga kasus-kasus kekerasan seksual, eksploitasi, dan perdagangan orang (TPPO).

"Ini yang teradukan. Bagaimana yang tidak teradukan? Mereka yang mungkin di sekolahnya ada berbagai permasalahan. Misalnya mereka yang sering bolos sekolah jarang teradukan ke KPAI dan mungkin jarang juga anak-anak ini diadukan ke lembaga pengaduan di tingkat pemerintah maupun swasta," ujarnya.

Ketua KPAI Ai Maryati Solihah mengatakan salah satu bentuk pelanggaran terhadap prinsip ini tercermin dari adanya praktik diskriminatif dan tidak dilibatkannya anak dalam proses, yang kemudian menimbulkan stigma negatif seperti label “anak nakal” atau “anak bermasalah” terhadap peserta program.

Menurutnya, hal ini akan berdampak pada tumbuh kembang anak di kemudian hari, sekaligus berpotensi mengabaikan pemenuhan hak-hak anak lainya.

Belum Ada Standar Baku

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jastra Putra, sudah berkunjunga ke lokasi pelaksanaan program di Barak Militer Resimen 1 Sthira Yudha Purwakarta dan Depo Pendidikan Bela Negara Rindam III Siliwangi, Cikole, Kabupaten Bandung Barat.

Tujuan kunjungan ini untuk mendapatkan informasi akurat tentang pelaksanaan program di lapangan, serta memastikan ada tindakan mitigasi terhadap risiko pelanggaran prinsip dasar perlindungan anak.

Dalam pengawasan itu, KPAI berdialog dengan berbagai pihak, termasuk penyelenggara, serta para peserta didik. KPAI juga menyebar instrumen pengawasan kepada 90 peserta, melakukan wawancara tertutup dengan anak-anak, dan mengamati langsung proses pelatihan dan aktivitas harian.

Menurutnya, masih belum optimalnya perhatian terhadap regulasi yang mengatur perlindungan anak, seperti Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, serta Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus Bagi Anak. 

Ketidaksesuaian ini berdampak pada munculnya stigma serta pelabelan yang bersifat diskriminatif terhadap anak dan minimnya ruang partisipasi mereka dalam program tersebut.

Jastra mencatat, belum terdapat standar baku yang menjadi acuan dalam penyelenggaraan program, seperti belum ada panduan, petunjuk teknis (juknis) dan Standar Operasional Prosedur (SOP). Hal ini mengakibatkan adanya perbedaan pola pelaksanaan di dua program yang dikunjungi.

"Meskipun berasal dari jenjang kelas dan jurusan yang berbeda, kondisi ini dikhawatirkan dapat memengaruhi mutu hasil dari program secara keseluruhan. Misalnya soal sarpras, kita juga temukan di Purwakarta yang dimana anak-anak SMP gitu, ya," katanya dalam konferensi pers secara daring, Jumat, (16/05/2025).

"Itu tempat tidurnya pakai velbed, itu juga kita beri masukan kepada pemda agar tempat tidur ini ditukar, karena tempat tidur ini tidak aman, tidak nyaman bagi anak, apalagi dengan waktu yang cukup lama," ujarnya.

Ada Ancaman

Ia juga menemukan sebagian besar peserta masuk ke dalam program ini karena kebiasaan merokok, disusul oleh perilaku sering membolos sekolah, dan keterlibatan dalam tawuran.

"Sebanyak 6,7 persen siswa menyatakan tidak mengetahui alasan mereka mengikuti program. Temuan ini menunjukkan perlunya peninjauan kembali terhadap ketepatan sasaran peserta dalam pelaksanaan program," ujarnya

Selain itu, Jastra mengungkapkan, peserta program tidak ditentukan berdasarkan asesmen psikolog professional, melainkan hanya rekomendasi guru BK. Bahkan, ada ancaman bahwa siswa yang menolak mengikuti program bisa tidak naik kelas.

"Di Purwakarta ada tiga sekolah SMP negeri yang informasi yang kita dapatkan dari dinas belum ada guru BK-nya Itu pertanyaan kita rekomendasi ini siapa yang melakukan, ini tentu harus dilihat lebih jauh sehingga kita tentu merekomendasikan psikolog yang profesional," ungkapnya.

Jastra mengungkapkan, dari hasil wawancara sampel anak di dua lokasi pengawasan diketahui bahwa perilaku menyimpang anak banyak dipengaruhi kurang optimalnya pengasuhan di lingkungan keluarga.

Hal ini disebabkan kesibukan orang tua, perceraian, tidak tinggal bersama orang tua, serta harapan anak untuk mendapatkan bimbingan dari figur ayah. Selain itu, pengaruh teman sebaya dan lingkungan sekitar juga turut berperan.

red
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengawasi program pengiriman siswa ke barak militer. Foto: KPAI


Keterbatasan

Selain itu, Ia juga mengungkapkan hasil diskusi dengan dinas terkait kekurangan psikolog profesional, pekerja sosial, dan guru BK menyebabkan layanan konseling bagi anak dan siswa tidak berjalan maksimal.

Perangkat UPTD PPA, Puspaga, dan PATBM, Tim PPKSP belum berfungsi optimal, karena keterbatasan sumber daya manusia dan dukungan anggaran, serta tidak semua pembina memahami protokol Child Safeguarding.

"Karena banyak terjadi juga di lembaga, baik itu lembaga pengasuhan, lembaga pendidikan atau lembaga-lembaga tempat anak lainnya yang dimana relasi kuasa, kemudian orang yang tidak memahami dan mengerti bekerja dengan anak, potensi terkait kekerasan itu bisa saja terjadi," ujar Jastra.

"Tetapi, kalau diterapkan protocol child safeguarding, maka tentu satu ada kontrak tertulis antara pelatih atau pendidik bahwa dia tidak melakukan kekerasan terhadap anak gitu ya, baik fisik, psikis apalagi seksual. Kemudian tidak ada kehadiran tenaga medis dan ahli gizi secara tetap di Bandung," tambahnya.

Jastra menyebut keterlibatan OPD (Organisasi Perangkat Daerah) tingkat provinsi dalam program yang dilaksanakan di Dodik Bela Negara Bandung ini belum optimal. Ia mendorong OPD terkait yang ada di lintas profesi terlibat untuk mengurai persoalan tersebut.

Berdasarkan temuan hasil pengawasan, KPAI merekomendasikan hal-hal berikut:

1. Penguatan Pendidikan Karakter merupakan kebutuhan sekaligus hak seluruh anak di Indonesia guna tercapainya tujuan pendidikan nasional. Pemerintah Jawa Barat telah melaksanakan Penguatan ini melalui Program Pendidikan Karakter Panca Waluya Jawa Barat Istimewa. Namun, program tersebut harus didasarkan pada prinsip-prinsip dasar pemenuhan hak dan perlindungan anak, serta regulasi terkait anak lainnya.

2. Program Pendidikan Karakter Panca Waluya Jawa Barat Istimewa yang telah berjalan saat ini cukup dilakukan untuk satu tahap saat ini, dan tahap selanjutnya perlu dilakukan evaluasi menyeluruh untuk merumuskan model program serta standar yang sesuai dengan prinsip prinsip perlindungan anak.

3. Program Pendidikan Karakter Panca Waluya Jawa Barat Istimewa sebagai Co-Curricular atau lainnya.

4. Pemerintah Daerah perlu memastikan adanya komitmen tertulis dari pelatih dan Pembina Program Pendidikan Karakter Panca Waluya untuk tidak melakukan kekerasan terhadap anak.

5. Pemerintah Daerah perlu melakukan pemantauan dan evaluasi terkait perubahan perilaku peserta program selama proses pendidikan dan setelah mengikuti program secara berkala.

6. Pemerintah Daerah perlu mempersiapkan peran orang tua, sekolah, dan lingkungan, untuk mendukung keberlanjutan perubahan perilaku anak pada fase reintegrasi sosial.

7. Pemerintah Pusat dan Daerah perlu melakukan evaluasi kinerja lembaga layanan perlindungan anak di wilayah masing-masing.

8. Pemerintah Pusat dan Daerah perlu mengoptimalkan ekosistem perlindungan anak di daerah, khususnya bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus, dengan pendekatan dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan pertemanan yang negatif.

red
FGD KPAI soal pendidikan ala militer Dedi Mulyadi. Foto: KPAI


Langkah Selanjutnya

Jastra mengatakan, rekomendasi ini akan dibahas lebih lanjut melalui forum diskusi kelompok terfokus dan koordinasi bersama kementerian/lembaga serta Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Setelah proses tersebut, KPAI akan menyampaikan rekomendasi final kepada pihak-pihak terkait, sekaligus memastikan tindak lanjutnya sebagai bagian dari pelaksanaan tugas dan fungsi pengawasan KPAI dalam memastikan perlindungan hak-hak anak.

Ia juga akan terus mendorong penyempurnaan Program Pendidikan Karakter Panca Waluya Jawa Barat Istimewa melalui evaluasi menyeluruh dan kolaborasi antar pemangku kepentingan.

Dengan pendekatan yang tepat dan lingkungan yang mendukung, program ini berpotensi menjadi bagian penting dalam membentuk karakter anak yang tangguh, cerdas, dan berintegritas.

Reaksi Dedi Mulyadi

Menanggapi rekomendasi dan temuan KPAI, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi meminta komisi tersebut tak hanya mengoreksi programnya, tetapi turut mengambil langkah.

"KPAI harusnya arahnya hari ini bukan mengoreksi kekurangan dari kegiatan yang dilakukan untuk penanganan darurat dari sebuah problem," katanya di Gedung Merah Putih KPK, Senin, 19 Mei, seperti dikutip KBR dari Kantor Berita ANTARA, Kamis, 22 Mei 2025.

Pernyataan itu disampaikan Dedi Mulyadi merespons sejumlah temuan KPAI soal pendidikan untuk siswa tertentu di barak militer.

"Yang harus dilakukan KPAI adalah mengambil langkah untuk menyelesaikan berbagai problem yang dialami oleh anak-anak remaja kita. Apakah itu karena problem di rumahnya, atau sekolahnya, yang akhirnya mengarah kepada tindak kriminal," imbuhnya.

red
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (putih) saat menghadiri Hari Pendidikan Nasional 2025 tingkat Jawa Barat di Rindam III Siliwangi, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat, 2 Mei 2025. Foto-jabarprov.go.id


Tahap Pertama

Pendidikan militer siswa ala Dedi Mulyadi ini pada tahap pertama diikuti 272 anak dari 106 sekolah. Rinciannya, 6 SMA swasta, 15 SMK swasta, 53 SMAN, 32 SMKN.

Pendidikan dilaksanakan 30 hari, terdiri dari dua hari masa orientasi, 14 hari pendidikan level dasar, dan 14 hari level lanjutan sesuai capaian kompetensi peserta.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) serta Open Data Jawa Barat, terjadi tren penurunan kenakalan remaja di sana. Pada 2020, ada 12.345 , lalu 11.567 kasus pada 2021, dan 10.890 pada 2022.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Keluarga Jawa Barat, Siska Gerfianti menjelaskan, meski terjadi penurunan kasus, namun angkanya tidak signifikan.

"Kenakalan remaja di Jawa Barat ini merupakan masalah sosial yang kompleks dan membutuhkan perhatian serius dari berbagai pihak. Ini harus menjadi perhatian serius karena berdampak pada generasi muda dan stabilitas sosial," katanya dalam acara diskusi dengan Kementerian PPPA, Kamis, 8 Mei 2025.

Jenis Kenakalan

Menurutnya, tawuran antarsekolah, penyalahgunaan narkoba, pergaulan bebas, dan tindak kriminal lain merupakan jenis kenakalan remaja yang paling menonjol di Jawa Barat.

“Yang berbahaya adalah dampak yang diakibatkannya, bahaya bagi diri sendiri, kerugian materi bagi orang lain, korban fisik bagi orang lain, hingga gangguan ketertiban umum,” sambung Siska.

Karena itulah, Pemprov Jabar menerapkan program pelatihan karakter menggunakan pendekatan ketarunaan. Tujuannya, memperkuat integritas hingga membangun kedisiplinan dan tanggung jawab sosial di peserta didik.

“Tujuan lebih spesifik yaitu mewujudkan Pancawalwiya Jabar Istimewa, yaitu generasi muda yang cageur (sehat), bageur (berakhlak baik), bener, pinter, dan singer (tanggap),” kata Siska, seperti dikutip KBR dari Kementerian PPPA, Kamis, 15 Mei 2025.

Baca juga:

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!