NASIONAL
Kritik Revisi UU Penyiaran, Dewan Pers: Jangan Batasi Kebebasan Pers
"Pasal ini berpotensi membatasi kerja jurnalistik, merenggut kebebasan pers, dan juga melemahkan kinerja pers dalam mengontrol proses demokrasi yang ada di negara kita,” ujar Yadi
AUTHOR / Shafira Aurel, Astri Yuana Sari
KBR, Jakarta- Dewan Pers menilai isi draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran dapat memberangus kebebasan pers dan bertentangan dengan Undang-Undang Pers. Salah satu yang menjadi sorotan adalah larangan penayangan jurnalistik investigasi.
Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers Yadi Hendriana mengatakan revisi undang-undang tersebut hanya akan mempersulit dan membatasi ruang gerak jurnalistik. Sebab menurutnya tak ada alasan yang mendasar untuk melarang penayangan jurnalistik investigasi.
Menurutnya, larangan untuk menyiarkan konten eksklusif jurnalisme investigasi sebagaimana yang dimuat pada Pasal 50 B Ayat (2) RUU Penyiaran tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Yang dimana Undang-Undang tentang Pers telah mengatur ihwal kerja dan etika pers, termasuk soal kegiatan jurnalisme investigasi.
“Kalau seandainya ada larangan tersebut ini sama saja dengan membatasi kebebasan pers, dan ini berbahaya. Saya tidak paham kenapa mesti ada pasal ini. Pasal ini berpotensi membatasi kerja jurnalistik, merenggut kebebasan pers, dan juga melemahkan kinerja pers dalam mengontrol proses demokrasi yang ada di negara kita,” ujar Yadi kepada KBR, Minggu (12/5/2024).
Yadi Hendriana juga mengkritik peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pers. Menurutnya hal tersebut tidak tepat dan hanya akan menimbulkan tumpang tindih kewenangan.
“Itu merupakan kewenangan yang tidak perlu. Sudah jelas sebetulnya jurnalistik itu berada dikewenangan Dewan Pers. Sengketa pers itu seperti dalam Pasal 15 mengenai fungsi-fungsi Dewan Pers salah satunya itu adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Jadi memang Dewan Pers ini satu-satunya lembaga yang diberi kewenangan oleh undang-undang untuk menyelesaikan sengketa pers,” ucapnya.
Lebih lanjut, Yadi juga menyayangkan sikap pemerintah dan DPR yang minim untuk melibatkan kelompok masyarakat dalam penyusunan RUU ini.
Baca juga:
- AJI Indonesia: Nasib Kebebasan Pers Makin Mengkhawatirkan
- Represi Kebebasan Pers Terus Berulang
Dihubungi terpisah, Anggota Komisi I DPR RI Dave Laksono mengatakan, DPR periode ini akan segera menyelesaikan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran atau Revisi UU Penyiaran. Menurutnya, proses revisi sudah memakan waktu yang cukup panjang.
"Undang-Undang Penyiaran akan segera kita rampungkan sesuai dengan proses yang berlaku. Masukkan dari para stakeholder baik pemerintah masyarakat sipil dan juga dari industri akan kita tampung untuk kita sempurnakan undang-undang ini," kata Dave kepada KBR, Kamis (25/4/2024).
Proses revisi UU Penyiaran sudah dilakukan sejak tahun 2012 untuk mengubah UU Nomor 32 Tahun 2022 tentang Penyiaran. Alasannya, UU Penyiaran yang ada, dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan masyarakat dan teknologi saat ini.
Anggota Komisi I DPR RI Dave Laksono berharap revisi UU Penyiaran bisa rampung sebelum akhir periode DPR 2019-2024.
"Kita tentu berharap di penghujung masa jabatan kita nanti di periode ini dapat selesai, sehingga menjadi salah satu prestasi DPR periode ini," imbuhnya.
Editor: Resky Novianto
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!