NASIONAL

Fadli Zon Disorot, Bagaimana Nasib Tragedi Pemerkosaan Massal '98 dalam Proyek Sejarah Nasional?

“Kalau fakta sejarah seperti pemerkosaan massal 1998 dihapus, itu bentuk penyesatan identitas bangsa,” ujarnya

AUTHOR / Naomi Lyandra, Hoirunnisa

EDITOR / Resky Novianto

Google News
HAM
Warga berdoa di makam korban pelanggaran HAM masa lalu saat mengikuti Napak Reformasi di TPU Pondok Ranggon, Jakarta, Sabtu (17/5/2025). Foto: ANTARA

KBR, Jakarta- Rencana pemerintah menulis ulang sejarah nasional kembali menuai sorotan luas. Penyebabnya adalah pernyataan kontroversial Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut tragedi pemerkosaan massal pada Mei 1998 sebagai "rumor".

Pernyataan itu sontak menuai kecaman dari berbagai pihak, terutama pegiat hak asasi manusia, lembaga negara, hingga parlemen.

Komisioner Komnas Perempuan, Daden Sukendar, menyayangkan pernyataan Fadli Zon yang dianggap mengabaikan fakta sejarah.

“Kami sangat prihatin. Ini fakta yang sudah disampaikan TGPF lengkap dengan data. Bahkan Presiden RI ke-3, BJ Habibie kala itu sudah meminta maaf secara resmi kepada para korban,” ujar Daden dalam siaran Ruang Publik di Youtube KBR Media, Selasa (17/6/2025).

Daden juga menyoroti pentingnya penulisan sejarah yang profesional dan tidak menegasikan atau menyangkal kebenaran sejarah yang telah diakui secara nasional dan internasional.

“Kalau fakta sejarah seperti pemerkosaan massal 1998 dihapus, itu bentuk penyesatan identitas bangsa,” lanjutnya.

red
Komisioner Komnas Perempuan, Daden Sukendar. Foto: Youtube KBR Media

Dorongan Pelaksanaan Rekomendasi TGPF 

Komnas Perempuan juga menyerukan agar pemerintah segera melaksanakan rekomendasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), memperbarui data korban, dan memperkuat pemulihan psikososial.

“Kalau sejarah kita tulis ulang dengan menutupi tragedi ini, itu akan mempermalukan bangsa kita sendiri di mata dunia,” ujar Daden.

Selain itu, Komnas Perempuan juga mengecam adanya dugaan teror terhadap Itta F. Nadia, aktivis yang selama ini mendampingi korban kekerasan seksual 1998. Daden menyebut jika benar terjadi, itu merupakan langkah mundur dalam demokrasi dan perlindungan HAM.

“Bangsa yang melupakan sejarahnya, tidak akan bisa membangun masa depan dengan baik,” tegasnya.

Disorot Parlemen, Sebut Ruang Impunitas Terbuka

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI yang juga Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa, Nihayatul Wafiroh atau akrab disapa Bu Nini. Menurutnya, pernyataan Fadli Zon bertentangan dengan semangat pemberantasan kekerasan terhadap perempuan, yang selama ini diperjuangkan melalui UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

“Penyangkalan seperti ini berbahaya. Kalau kejadiannya saja dianggap tidak ada, bagaimana korban bisa mendapat keadilan? Ini bisa membuka ruang impunitas bagi pelaku,” ujar Nini dalam siaran Ruang Publik di Youtube KBR Media, Selasa (17/6/2025).

red
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI yang juga Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa, Nihayatul Wafiroh. Foto: Youtube KBR Media


Nihayatul juga menyoroti dampak psikologis pernyataan tersebut terhadap korban dan keluarganya. Menurutnya, pemulihan korban bukan sekadar soal fisik, tetapi juga soal pengakuan dan keadilan.

“Luka batin itu tidak bisa sembuh dengan infus. Bahkan bisa menurun ke generasi selanjutnya,” tuturnya.

Nihayatul menyatakan Komisi IX DPR RI sangat memperhatikan aspek kesehatan mental korban dan generasi masa depan. Ia mengkritik keras narasi yang bisa mengaburkan sejarah dan menyakiti korban.

“Sejarah tidak boleh ditulis ulang dengan menyingkirkan luka dan air mata perempuan,” tegasnya.

Desakan Meminta Maaf

Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas mendesak Fadli Zon untuk mencabut pernyataannya dan meminta maaf kepada korban serta keluarga. Menurut mereka, pernyataan tersebut bertolak belakang dengan hasil penyelidikan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang mencatat setidaknya 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 kasus pemerkosaan selama kerusuhan Mei 1998.

Pernyataan Menteri Kebudayaan yang meragukan terjadinya pemerkosaan massal dalam peristiwa Mei 1998 dinilai sebagai bentuk pengingkaran sejarah dan upaya penggembosan terhadap proyek kebangsaan yang penting.

Pernyataan itu disampaikan Ketua Komnas Perempuan periode 2020-2025, Andy Yentriyani dalam konferensi pers daring yang digelar Koalisi Perempuan Indonesia, Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), dan sejumlah aktivis perempuan, Jumat (13/6/2025).

“Pernyataan dari Menteri Kebudayaan tadi seperti menyiram bensin ke dalam api kebencian berbasis ras dan etnis. Komunitas korban, komunitas perempuan, komunitas HAM, dan kita semua sebagai anak bangsa perlu waspada bahwa peristiwa serupa dapat terulang jika sejarah kembali dituliskan dengan penyangkalan terhadap peristiwa yang penting dalam perjalanan kebangsaan kita,” ujar Andy.

Menurut Andy, penulisan sejarah yang jujur dan jernih adalah fondasi dalam membentuk identitas bangsa. Tanpa itu, Indonesia berisiko terus terjebak dalam siklus penyangkalan dan pengulangan kekerasan.

Ia mengutip hasil pemantauan Komnas Perempuan yang dilakukan 10 tahun pasca-tragedi Mei 1998. Dari pendalaman itu, teridentifikasi tujuh alasan utama korban memilih bungkam, mulai dari trauma mendalam, tekanan keluarga, hingga budaya menyalahkan korban.

“Kalau pun korban mau bicara, sering kali yang muncul justru penyangkalan. Orang tidak percaya pada mereka karena punya ekspektasi bagaimana ‘seharusnya’ seorang korban,” tambahnya.

Soroti Sikap Negara yang 'Ambigu' dan Tidak Serius

Andy juga menyoroti sikap negara yang ambigu terhadap tragedi Mei 1998. Meski Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) telah menyatakan adanya indikasi keterlibatan aparat dan kekerasan seksual sistematis, negara tetap membiarkan pandangan bahwa kekerasan seksual saat itu hanyalah dugaan atau rumor.

“Buku sejarah kita tidak pernah serius mencatat kekerasan berbasis etnis maupun seksual dalam peristiwa politik. Pengetahuan kita tentang tragedi nasional dibentuk dalam kerangka penyangkalan,” ujarnya.

Ia juga menyinggung kegagalan negara dalam memberikan jaminan keamanan dan keadilan kepada korban. Bahkan, ketika Presiden Jokowi meluncurkan mekanisme non-yudisial penyelesaian pelanggaran HAM berat, banyak korban enggan terlibat karena takut dan ragu terhadap komitmen negara.

“Jika negara terus menyangkal tragedi seperti Mei 98, maka luka kolektif bangsa tidak akan pernah pulih dan justru diwariskan ke generasi berikutnya,” tegas Andy.

red
Sejumlah aktivis membawa bunga saat menghadiri acara doa bersama untuk korban peristiwa 98 di halaman kampus Universitas Trisakti Monumen Reformasi, Jakarta, Sabtu (17/5/2025). ANTARA FOTO/Jasmine Nadhya Thanaya

Kecaman terhadap Fadli Zon, Disebut Fatal dan Menyangkal Fakta Sejarah

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid juga mengecam pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon, yang menurutnya mengandung kekeliruan fatal dan merupakan bentuk penyangkalan terhadap fakta sejarah.

“Kalau definisi rumor adalah cerita yang beredar tanpa otoritas yang mengetahui kebenarannya, maka ini jelas bukan rumor. Peristiwa ini telah diselidiki oleh otoritas resmi negara,” tegas Usman.

Usman merujuk pada TGPF yang dibentuk pemerintah pada 1998. TGPF menyimpulkan telah terjadi kekerasan seksual sistematis selama kerusuhan, termasuk pemerkosaan massal. Tim ini terdiri dari berbagai unsur, termasuk Panglima ABRI, Menteri Kehakiman, hingga Jaksa Agung.

Usman juga mengingatkan bahwa delapan rekomendasi penting dari TGPF belum ditindaklanjuti hingga hari ini. Termasuk di antaranya penyelidikan lanjutan, proses pengadilan, perlindungan saksi dan korban, serta rehabilitasi.

“Banyak korban dan saksi masih memilih tinggal di luar negeri karena negara belum memberi jaminan keamanan. Satu saja perempuan diperkosa, itu sudah merupakan pelanggaran berat HAM,” katanya.

Pemerkosaan Massal Ada, Ditegaskan dalam Buku Sejarah Nasional

Peneliti sejarah sekaligus aktivis Reformasi 1998, Ita Fatia Nadia, menyebut pernyataan Fadli Zon sebagai dusta publik yang menyakiti penyintas dan mengingkari fakta sejarah.

“Pernyataan itu menyalahi fakta sejarah yang sudah ditulis dalam Buku Sejarah Nasional Indonesia. Di halaman 609 buku tersebut disebutkan secara jelas bahwa pada Mei 1998 terjadi pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa di berbagai kota,” tegas Ita.

Sebagai Ketua Tim Relawan untuk Kekerasan terhadap Perempuan saat itu, Ita mengaku turut menangani langsung para korban, termasuk mendampingi mereka yang kini tinggal di luar negeri.

Ia mengingatkan, pengakuan resmi atas kekerasan seksual tersebut telah diberikan Presiden BJ Habibie pada Oktober 1998, setelah menerima dokumen dari TGPF yang diserahkan oleh 11 tokoh perempuan.

“Saya berdiri di depan Ibu Saparinah Sadli ketika beliau menyerahkan dokumen setebal ini kepada Presiden Habibie. Saat itu beliau berkata, ‘Saya percaya bahwa telah terjadi perkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa,’” jelas Ita.

Pengakuan inilah yang menjadi dasar dibentuknya Komnas Perempuan sebagai bentuk tanggung jawab negara terhadap kekerasan berbasis gender dan etnis.

Pernyataan Kontroversial Fadli Zon

Sebelumnya, dalam wawancara di kanal Real Talk with Uni Lubis pada Senin (13/6/2025), Fadli Zon menyebut kekerasan seksual dalam tragedi Mei 1998 sebagai hal yang belum terbukti.

“Kita gak pernah tahu, ada gak fakta keras kalau itu? Ada gak bukti bahwa itu perkosaan massal? Itu gak pernah ada proof-nya. Itu cerita. Kalau ada, tunjukkan,” ujar Fadli.

Ia mengaku belum membaca secara utuh draf revisi buku sejarah Indonesia dan tidak ingin mengintervensi isi yang disusun para sejarawan. Namun, ia menilai peristiwa tersebut masih bisa diperdebatkan.

red
Menteri Kebudayaan (Menbud) RI Fadli Zon saat diwawancarai di Strzelinko, Kota Slupsk, Polandia, Senin (16/6/2025). ANTARA/Muhammad Zulfikar.

Istilah 'Massal' Kasus Perkosaan Mei 1998 Butuh Bukti Akurat

Menanggapi sorotan luas, Menteri Kebudayaan (Menbud) RI Fadli Zon menjelaskan istilah "massal" dalam tragedi dugaan pemerkosaan Mei 1998 membutuhkan bukti-bukti yang akurat serta harus ditelusuri dengan penuh kehati-hatian.

"Saya ingin menggarisbawahi bahwa persoalan-persoalan masa lalu itu kita harus hati-hati. Penuh kehati-hatian terkait dengan data dan bukti," kata Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon di Polandia, Senin (17/6/2025), dikutip dari ANTARA.

Hal tersebut disampaikan Menteri Kebudayaan Fadli Zon di sela-sela peresmian Bali Indah Cultural Park di Strzelinko, Kota Slupsk, Polandia.

Menurut Menbud, pada masa peralihan itu terjadi banyak informasi yang simpang siur yang mungkin menimbulkan perbedaan pendapat. Tapi, terkait dengan pemerkosaan massal, hal itu menjadi salah satu catatan sebab dibutuhkan sebuah kebijaksanaan (wisdom) dalam melihatnya.

"Saya yakin terjadi kekerasan perundungan seksual terhadap perempuan, bahkan tidak hanya dulu sampai sekarang masih terjadi. Tapi, istilah massal itu mungkin yang memerlukan pendalaman, bukti yang lebih akurat, data yang lebih solid karena ini menyangkut nama baik bangsa kita," ujarnya.

Terkait laporan atau data Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus dugaan perkosaan massal 13-14 Mei 1998, Fadli menyebut dari beberapa investigasi tersebut ada hal yang pada saat itu memerlukan pendalaman dan lain-lain.

"Ketika informasinya simpang siur di situlah saya kira memerlukan pendalaman. Jadi, saya tidak menegasikan terjadinya berbagai macam bentuk kejahatan ketika itu," ujarnya menegaskan.

Menbud menambahkan bahwa ia hanya menginginkan data-data yang lebih otentik dan lebih akurat sehingga tidak menimbulkan kerugian atau dampak buruk bagi bangsa Indonesia karena belum ada fakta hukum dari pengadilan.

"Coba bayangkan kalau bangsa kita dicap sebagai bangsa pemerkosa massal," ujarnya.

Namun jika terbukti, Fadli Zon menegaskan mendukung penuh para pelaku pemerkosaan massal pada Mei 1998 untuk diadili dan dihukum seberat-beratnya atau sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan yang berlaku.

Istana Minta Publik Tak Berspekulasi

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi meminta publik untuk tidak terburu-buru berspekulasi terkait proses penulisan lanjutan sejarah Indonesia, termasuk periode penting tahun 1998.

Hasan menyatakan bahwa proses ini sedang dilakukan oleh sejarawan profesional yang memiliki kredibilitas tinggi dan tidak akan mengorbankan integritas akademiknya.

"Ini bukan menulis ulang, tapi melanjutkan penulisan sejarah Indonesia. Mungkin terakhir kali ditulis tahun 1998. Sejak itu, belum ada upaya serius untuk mendokumentasikan perkembangan sejarah bangsa," ujar Hasan di Kantornya, Senin (16/6/2025), dikutip dari ANTARA.

Menanggapi spekulasi publik, termasuk pernyataan sejumlah tokoh seperti Fadli Zon atas kasus "pemerkosaan massal" 1998, Hasan menekankan pentingnya memberi ruang kepada para ahli untuk bekerja secara ilmiah.

Menurutnya, terlalu banyak opini prematur dan pergunjingan di media sosial yang belum tentu berdasar," tuturnya.

"Jadi, kekhawatiran-kekhawatiran semacam ini mungkin bisa jadi diskusi, tapi jangan divonis macam-macam dulu," katanya.

Hasan menambahkan, jika memang ada perbedaan pendapat atau kritik, sebaiknya disampaikan oleh pihak yang memiliki otoritas dan kapasitas di bidang sejarah, bukan berdasarkan spekulasi atau narasi populer yang belum terverifikasi.

"Jadi, kita lihat dulu mereka menulis apa. Kalau sudah kita punya draft resminya, nanti baru kita koreksi bareng-bareng," katanya.

Data Temuan TGPF

TGPF yang dibentuk pada 23 Juli 1998, menyatakan bahwa kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan, memang terjadi dalam kerusuhan 13–15 Mei 1998. Temuan ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual selama tragedi Mei 1998 adalah fakta, bukan sekadar isu atau cerita sepihak.

TGPF Mei 1998 mengungkapkan fakta tersebut sudah diverifikasi oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) terhadap 85 kasus kekerasan seksual. Dari penyelidikan itu, TGPF Mei 1998 menyimpulkan kekerasan seksual pada saat itu terjadi dalam empat bentuk.

Adapun empat bentuk kekerasan seksual pada Mei 1998 yang terjadi ialah 52 kasus perkosaan, 14 kasus perkosaan dengan penganiayaan seksual, 10 kasus penganiayaan seksual, dan 9 kasus pelecehan seksual.

Pernyataan Menbud Fadli Zon Dikecam, Disebut Fatal karena Bentuk Pengingkaran Fakta Sejarah 1998

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!