indeks
Ekspedisi Sumba: Kotoran Hewan Ternak Demi Hidup yang Lebih Baik

Pemanfaatan kotoran hewan ternak sebagai bagian dari proyek Sumba sebagai Pulau Ikonik Energi Terbarukan.

Penulis: Haryani Dannisa

Editor:

Google News
Ekspedisi Sumba: Kotoran Hewan Ternak Demi Hidup yang Lebih Baik
Sumba, energi terbarukan, pulau ikonik

KBR, Jakarta – Delapan orang yang tergabung dalam Ekspedisi Sumba baru saja merampungkan perjalanan mereka selama seminggu di pulau di Nusa Tenggara Timur itu pada 31 Agustus – 6 September 2014. Tim ekspedisi yang dikirim LSM internasional Hivos ini berangkat dalam rangka mendorong proyek percontohan Pulau Sumba sebagai Pulau Ikonik Energi Terbarukan. 


Tim terdiri dari empat peserta Indonesia dan empat dari Belanda. Mereka menjelajah Pulau Sumba sekaligus berinteraksi dan bekerjasama dengan masyarakat Sumba untuk mencari solusi untuk energi terbarukan di pulau dengan populasi kurang dari 700 ribu orang ini. 


Tim ekspedisi ini terdiri dari Shally Pristine, Hermitianta Prasetya Putra, Adra Gesza Dhanyarati dan Sapto Andika Chandra dari Indonesia, juga peserta dari Belanda yaitu Nine Geertman, Lisa Elsenburg, Ad van Breugel dan Desire Maas. Penjelajahan di Sumba kali ini difokuskan soal kemungkinan pemanfaatan energi dari kotoran hewan ternak atau biogas. 


Inisiatif Ekspedisi Sumba ini digagas oleh Hivos, LSM internasional yang salah satu fokusnya soal pemanfaatan energi terbarukan. Hivos juga mendukung proyek Pulau Sumba sebagai model untuk menunjukkan bagaimana pulau yang tadinya terisolasi bisa mendukung kebutuhan energi mereka sendiri dengan sepenuhnya memanfaatkan energi terbarukan. 


“Ini bukan soal Hivos, bukan soal Indonesia dan Belanda, tapi ini isu nasional, tanggung jawab kita semua,” kata Sapto, salah satu peserta dari Indonesia. 


Sepulang dari Sumba


Satu pesan penting yang mereka bawa pulang ke Jakarta adalah betapa berharganya kotoran hewan. “Kotoran itu bisa diproses menjadi energi terbarukan dan menggantikan kayu bakar,” jelas Dewi Suciati, Project Manager dari Ekspedisi Sumba dalam konferensi pers Selasa (9/9) di Jakarta. 


Salah satu peserta Shally Pristine bercerita, 30 kilogram kotoran yang dihasilkan 3-4 hewan ternak setiap hari bisa menghasilkan energi yang cukup untuk masak tiga kali sehari. “Ini sudah lebih dari cukup karena mereka biasanya hanya masak sekali sehari. Sisanya bisa untuk penerangan di malam hari.”


Adanya penerangan di malam hari bagi orang-orang di Sumba membawa dampak yang sangat besar. Menurut peserta lain, Adra Gesza Dhanyarati, ibu-ibu bisa memanfaatkan malam hari untuk menambah penghasilan dengan mengerjakan kerajinan tenun. 


“Sebab di siang hari mereka harus masak, menumbuk, mengurus anak sendiri serta mengambil air yang jaraknya jauh sekali,” jelas Adra. 


Begitu ada lampu di malam hari, ibu-ibu bisa menenun kain lebih banyak. Jika dalam sebulan biasanya menghasilkan satu lembar kain, maka sekarang bisa menghasilkan tiga sampai empat lembar. Anak-anak pun bisa ikut belajar di malam hari. 


Pulau Ikonik Energi Terbarukan 


Pulau Sumba memiliki semua energi terbarukan yaitu angin, panas matahari, air, biogas dan biomass – kecuali geotermal. Dalam proyek Pulau Ikonik Energi Terbarukan ini, Pulau Sumba diharapkan bisa 100 persen didukung energi terbarukan. Proyek ini sudah didukung Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sejak 2011. 


Meski energi terbarukannya melimpah, tantangan ada di depan mata. Peserta lain dari Indonesia yang juga jurnalis, Sapto Andika Candra mengatakan ada budaya setempat yang masih dipercaya betul oleh warga. 


“Mereka meyakini kalau dalam sehari itu harus ada api yang dinyalaman dalam rumah,” jelas Sapto. Padahal asap kayu bakar di dalam rumah berpotensi menyebabkan penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas). Selain itu ada juga kebiasaan melepas hewan ternak yang sebetulnya menyulitkan pengumpulan kotoran bagi pengembangan energi biogas. 


Harapan baru 


Ketika berangkat, beberapa peserta mengaku pesimistis soal pemanfaatan energi terbarukan di Pulau Sumba. 


Tapi Shally, misalnya, justru pulang dengan harapan baru. Lulusan Jurusan Arsitektur dari Institut Teknologi Bandung pernah melihat ada peralatan mikrohidro yang terlantar selama setahun. “Penduduk tidak tahu bagaimana cara mengoperasikannya,” kat Shally. 


Menurut Shally, jika proyek energi terbarukan ingin sukses, maka perlu ada pendekatan multi-aktor di Sumba. “Semua orang harus terlibat.”


Shally lantas bercerita tentang pengalamannya bertemu petani bernama Made di Sumba Timur. Made berinisiatif meminjamkan beberapa ekor babinya kepada teman-temannya. Ini dilakukan supaya ada cukup kotoran hewan untuk dijadikan energi biodigester. “Awalnya dia cuma punya tiga babi, sekarang sudah ada 18 babi dan dipinjamkan ke orang lain.” Made juga terlibat aktif untuk mengajarkan warga setempat mengumpulkan hewan ternak di kandang demi memudahkan pengumpulan kotoran ternak. 


Salah satu peserta dari Belanda, Nine Geertman mengaku mendapat banyak inspirasi dari Ekspedisi Sumba. Ia bertemu seorang petani bernama Johannes yang punya semangat besar untuk memanfaatkan energi terbarukan. 


“Dia bilang sekarang sangat bangga jadi petani karena bisa menghidupi keluarganya dengan cukup,” cerita Nine. Sebelumnya Johannes bercerita pada Nine kalau ia malu karena tidak mendapatkan hasil panen yang cukup banyak. Tapi berkat kehadiran biodigester, Johannes bisa mendapatkan akses ke pompa untuk mengairi ladanganya, sehingga panen yang dihasilkan pun lebih banyak. 


Air dan pompa adalah hal yang ‘mahal’ di Pulau Sumba. 


“Kalau di sana kita nggak mandi dua hari, warga setempat bisa nggak mandi setahun karena air mahal,” cerita Adra. 


Pertemuan dengan Made dan Johannes membuat peserta Ekspedisi Sumba yakin kalau proyek energi terbarukan ini bisa berjalan lancar di sana. 


“Adanya orang-orang seperti mereka membuat saya yakin bahwa teknologi yang kita titipkan di sana dapat dijaga dan dirawat bersama,” kata Shally.


Kampanye 

 

Setelah kembali dari perjalanan, tim Ekspedisi Sumba akan berkampanye soal pentingnya energi terbarukan. Selain itu, tim akan melakukan penggalangan dana untuk membantu penyediaan listrik dengan biogas bagi masyarakat Sumba. 


Keempat peserta dari Indonesia saat ini tengah merumuskan bentuk kampanye dan penggalangan dana yang akan mereka lakukan. Rencananya, mereka akan memilih metode crowdfunding atau mengumpulkan dana dari publik. Targetnya adalah membuat 10 biogas dalam waktu 6 bulan.


Dalam perjalanan tim Ekspedisi Sumba sebelumnya, pernah dibuat juga kampanye bernama “Give A Crap” untuk menggalang dana demi Sumba. Nine Geertman yang pernah terlibat ekspedisi ini sebelumnya bercerita “Give A Crap” bekerjasama dengan sebuah perusahaan crowdfunding di Belanda bernama 1percent. Target mereka saat itu adalah mengumpulkan 25 ribu euro atau sekitar 38 juta rupiah. Hingga kini, dana yang terkumpul mencapai 5000 euro atau 76 juta rupiah. Dana itu sudah cukup untuk membuat 10 mesin reaktor energi biogas, sementara targetnya adalah membuat 25 mesin. 




Sumba
energi terbarukan
pulau ikonik

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...