NASIONAL

Dugaan Intimidasi Guru Besar, Kontras: Perpanjang Catatan Pahit Demokrasi

"Kami lihat ini memang ada suatu pola di mana ada serangan atau ancaman yang ditujukan kepada pembela HAM"

AUTHOR / Hoirunnisa

demokrasi
Mahasiswa melindas di depan spanduk mimbar demokrasi di Sulawesi Tengah, Jumat, (1/12/2023) (Foto: ANTARA/Basri)

KBR, Jakarta- LSM Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai dugaan intimidasi kepada Guru Besar Psikologi UGM, Yogyakarta, Koentjoro Soeparno memperpanjang catatan pahit kebebasan berpendapat dan demokrasi di Indonesia.

Menurut Peneliti KontraS Divisi Riset dan Dokumentasi Rozy Brilian, intimidasi terhadap orang-orang yang kritis berpendapat selalu diikuti dengan langkah pembungkaman.

"Tentu saja kami melihat bahwa segala macam intimidasi terhadap orang-orang yang kritis ingin menyampaikan pendapat dari ruang publik ini, selalu diikuti oleh langkah-langkah pembengkakan. Kami lihat ini memang ada suatu pola di mana ada serangan atau ancaman yang ditujukan kepada pembela HAM atau mereka yang bersuara untuk menuntut hak-haknya," ujar Rozy kepada KBR, Rabu (20/3/2024).

Peneliti KontraS Divisi Riset dan Dokumentasi Rozy Brilian mengatakan, saat ini pembela HAM punya ruang yang sempit untuk menyampaikan pendapatnya. Salah satunya dalam peristiwa di berbagai Proyek Strategis Nasional (PSN) di Rempang, Wadas hingga Labuan Bajo.

Sepanjang 2021-2023 Kontras mencatat 300-an peristiwa pelanggaran kebebasan berekspresi di Indonesia.

Baca juga:

Lebih jauh Rozy Brilian menyoroti aksi perampasan spanduk yang dibentangkan seorang ibu di Pasar Gelugur, Labuhanbatu, Sumatera Utara (Sumut), saat kunjungan Presiden Joko Widodo. Menurutnya, aksi ini bertolak belakang dengan esensi blusukan Presiden yang kerap dilakukan di berbagai daerah.

Pada video yang beredar luas di media sosial, spanduk yang dibentangkan itu bertuliskan "Kami ingin sehat, tidak dicemari PT PPSP". Perampasan itu dilakukan pria berkemeja merah. Belakangan, Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) menegaskan perampasan spanduk itu bukan dilakukan oleh anggotanya.

Rozy mendesak pemerintah segera melakukan perbaikan kualitas demokrasi. Dia menekankan, Kepala Negara punya tanggung jawab moral untuk menegakkan demokrasi. Apalagi, menurut dia kondisi demokrasi saat ini telah hilang dan justru menguatkan otoritarianisme.

Sebelumnya,Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Koentjoro mengaku mendapat serangkaian intimidasi. Kata dia, intimidasi itu berupa kiriman pesan berisi hinaan serta caci maki, hingga didatangi orang asing kerumah.

Menurut Koentjoro, berbagai intimidasi itu terjadi setelah dirinya ikut dalam dua aksi civitas akademika yang menyerukan pemerintah menyelamatkan demokrasi di Indonesia.

Koentjoro setidaknya ikut dalam dua aksi civitas akademika. Pertama adalah 'Petisi Bulaksumur' pada Januari 2024 lalu. Kedua adalah 'Kampus Menggugat' pada Selasa pekan lalu (12/3/2024).

Editor: Muthia Kusuma

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!