NASIONAL

Diskriminasi Disabilitas di Dunia Kerja, Minim Lapangan Kerja hingga Terpaksa Berwirausaha

"Penyandang disabilitas terpaksa harus membuka usaha sendiri. Karena sulit untuk masuk dipasar kerja dan masih minimnya alternatif pekerjaan."

AUTHOR / Astri Yuanasari

disabilitas
Dua penari mengikuti lomba tari disabilitas di Balai Budaya, Badung, Bali, Jumat (12/5/2023). (Foto: ANTARA/Nyoman Hendra)

KBR, Jakarta - Jumlah pekerja formal dengan disabilitas di Indonesia, lebih dari 7,04 juta orang atau 5,37 persen dari total penduduk yang bekerja. Data itu Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021.

Angka ini turun dibanding 2020. Saat itu, jumlah pekerja disabilitas mencapai 7,67 juta orang atau 5,9 persen dari total penduduk yang bekerja.

Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengatakan berdasarkan data tersebut, terjadi juga tren peningkatan proporsi penyandang disabilitas yang berwirausaha.

Ida menilai, tren peningkatan proporsi penyandang disabilitas yang berwirausaha ini ironi bagi para pengusaha dan pemerintah. Data itu diungkap Ida akhir tahun lalu.

"Saya harus sampaikan justru ini menandakan bahwa penyandang disabilitas terpaksa harus membuka usaha sendiri. Karena sulit untuk masuk dipasar kerja dan masih minimnya alternatif pekerjaan yang bisa dikerjakan. apalagi minimnya awareness perusahaan untuk merekrut tenaga kerja disabilitas," ujar Ida Fauziyah, saat memberikan sambutan dalam acara Pemberian Penghargaan Nasional BUMN Yang Mempekerjakan Penyandang Disabilitas, Senin, (21/11/2022).

Ida menyebut, isu tenaga kerja disabilitas merupakan isu prioritas yang diangkat dalam pembahasan G20, akhir tahun lalu.

Hasilnya, berupa dokumen yang berisi kesepakatan para anggota dalam mengakselerasi kelompok penyandang disabilitas untuk masuk pasar kerja inklusif. Ia pun meminta pemerintah tidak abai dan segera menerapkan kesepakatan tersebut.

"Pemerintah Indonesia harus segera melakukan percepatan dan melakukan pemantauan atas prinsip-prinsip G20 tersebut. Untuk diintegrasikan ke dalam pasar tenaga kerja penyandang disabilitas yang inklusif antara lain berupa : berkomitmen untuk mempromosikan pekerjaan yang inklusif, adil dan berkelanjutan bagi penyandang disabilitas," kata Ida Fauziyah.

Ida Fauziyah menyayangkan ketidakmampuan Indonesia dalam merangkul dan menyediakan lapangan kerja bagi kaum disabilitas.

Ia berharap ke depan, pemerintah dan para pengusaha mampu mengakomodasi permasalahan ini, walaupun di tengah ancaman resesi global. 

Baca juga:

Meski berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk mengakomodasi hak-hak penyandang disabilitas, namun berbagai aturan masih dianggap bakal semakin mendiskriminasi kelompok ini.

Salah satunya muncul dari Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas. Koalisi menilai Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan masih diskriminatif dan tidak menyelesaikan masalah.

Itu sebab, koalisi menuntut DPR dan presiden membuka ruang partisipasi bagi organisasi penyandang disabilitas untuk memberikan masukan terhadap RUU Kesehatan seluas mungkin. 

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Fajri Nursyamsi mendesak pembuat kebijakan tidak membatasi ruang dan waktu pemberian masukan.

"RUU Kesehatan ini akan mencabut 9 UU. Itu bukan pekerjaan yang sederhana, karena lingkupnya semakin banyak. Sedangkan saat ini justru yang dilakukan oleh pemerintah, terutama Kementerian Kesehatan, membuka ruang partisipasi tapi sangat terbatas. Masyarakat hanya diberikan waktu hitungan minggu untuk menyelesaikan, memahami 400-an pasal dalam RUU. Saya pikir itu salah satu hal yang mustahil dan mengkerdilkan salah satu aspek partisipasi dalam pembentukan sebuah peraturan," kata Fajri dalam Siaran Pers Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas RUU Kesehatan, Rabu, (19/3/2023).

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, Fajri Nursyamsi menjelaskan salah contoh diskriminasi dalam RUU Kesehatan adalah pembuat kebijakan masih memandang penyandang disabilitas mental sebagai seseorang yang tidak cakap hukum. Akibatnya ada hak-hak yang tidak terlindungi bagi masyarakat penyandang disabilitas mental, dalam RUU kesehatan.

Baca juga:

Sebelumnya, diskriminasi juga terjadi saat pembahasan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dianggap minim partisipasi penyandang disabilitas. 

Bahkan menurut Koordinator Program dan Riset LBH Masyarakat, Albert Wirya, pembahasan masih jauh dari konsep ideal partisipasi yang bermakna.

Padahal, kata dia, terdapat pasal krusial pada RKUHP yang berpotensi menebalkan stigma bagi penyandang disabilitas. Di antaranya pada Pasal 38 yang tertulis “Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menderita disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual pidananya dapat dikurangi dan dikenai tindakan".

Menurutnya, jika itu diberlakukan secara merata tanpa melihat latar belakang orang tersebut ataupun jenis tindakan yang mereka lakukan, maka bisa menyebabkan diskriminasi.

"Ini yang membuat lebih banyak lagi orang berpikir bahwa orang dengan disabilitas khususnya mental intelektual itu tidak punya kapasitas hukum, yang menyebabkan mereka tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana. Sama juga seperti sebelumnya, jika tidak berhati hati maka penggunaannya bisa melestarikan stigma terhadap penyandang disabilitas,"ujar Albert dalam Diskusi: Urgensi Pelibatan Penyandang Disabilitas dalam Pembahasan RKUHP secara daring, Kamis (18/8/2022).

Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas Pemantau RKUHP mengaku, tidak pernah diundang atau dijelaskan mengenai pasal-pasal dalam RKUHP yang erat dengan kepentingan penyandang disabilitas.

Koalisi menilai bentuk pelibatan sulit tercapai karena pembahasan RKUHP tidak transparan dan inklusif. Dokumen-dokumen RKUHP yang tersebar dalam bentuk yang tidak aksesibel, karena sulit dibaca penyandang disabilitas dengan hambatan penglihatan.

Editor: Agus Luqman

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!