NASIONAL
Celah Keadilan Restoratif dalam Kasus Guru Honorer Supriyani
Dalam model penyelesaian hukum dengan keadilan restoratif, sang pelaku perlu mengakui adanya tindakan kejahatan.
AUTHOR / Hoirunnisa
-
EDITOR / Muthia Kusuma Wardani
KBR, Jakarta- Kepastian hukum mekanisme restorative justice atau keadilan restoratif dalam kasus pidana menuai sorotan menyusul berbagai kasus kriminalisasi guru. Anggota Komisi XIII yang membidangi Hak Asasi Manusia di DPR, Meity Rahmatia menyampaikan keprihatinannya.
Politikus PKS itu mengaku lebih tersentuh lagi dengan masalah tersebut setelah menyaksikan berbagai konten satire para guru yang beredar di media sosial menyusul kasus guru honorer SDN 4 Barito, di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Supriyani.
“Konten-kontennya satir. Parodinya menunjukkan adegan-adegan para murid yang berperilaku negatif, kemudian gurunya tampak acuh karena ada rasa serba salah. Mereka mau meluruskan tindakan muridnya yang salah. Tapi di satu sisi, ada ketakutan pada guru, muridnya akan missed persepsi, melawan atau tidak terima lalu melaporkan ke penegak hukum,” ungkap Meity dipantau dari portal resmi PKS, Jumat, (8/11/2024).
Meity menegaskan pentingnya pendekatan restorative justice, jika tidak, kriminalisasi guru bisa terjadi terus. Dan hal tersebut tidak sehat bagi psikologi dunia pendidikan Indonesia.
“Terutama bagi guru di sekolah-sekolah negeri maupuan swasta yang tidak hanya menjalankan tugasnya sebagai pendidik pada aspek kognitif dan afektif. Tetapi pada aspek psikomotorik yang bisa meningkatkan kedisiplinan anak didik,” tambahnya.
Baca juga:
Pada kesempatan berbeda, Anggota Komisi X DPR RI, Karmila Sari, mengingatkan kriminalisasi guru tidak hanya berdampak guru yang bersangkutan, tetapi juga pada proses belajar-mengajar secara keseluruhan.
"Kita juga sebagai orang tua juga mungkin dari pengamat pendidikan, apalagi kami juga di komisi 10 kita memberi contoh, ada hal-hal tidak langsung divonis, tidak langsung harus mengganti rugi sampai seorang guru melakukan seperti ini, jadi nanti ini akan memberi beban mental pada guru untuk mendidik anaknya gitu. Nah ini kan tentunya kita harus lihat track record" ujar Karmila dipantau dari YouTube TVR Parlemen, Jumat, (8/11/2024).
"Jangan karena satu hal, jadi bagaimana track record guru ini sebelumnya itu terlupakan. Nah di sini juga kita memberi contoh pada anak kita bagaimana menyelesaikan solusi masalah. Nah hal-hal seperti ini yang betul-betul mesti dicontohkan, tidak hanya pada orang tua guru dan juga lingkungan sekitar," sambungnya.
Penyalahgunaan Restorative Justice
Jaringan Gusdurian mengungkap kekhawatiran penyalahgunaan konsep restorative justice dalam kasus Supriyani. Menurut Direktur Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, keadilan restoratif mestinya bertujuan untuk memperbaiki hubungan antara korban, pelaku dan masyarakat.
Namun, dalam model penyelesaian hukum dengan keadilan restoratif, sang pelaku perlu mengakui adanya tindakan kejahatan dan sungguh-sungguh menyesali perbuatannya dan siap memberikan kompensasi atas kerugian korban.
"Dampaknya pada keadilan restoratif itu menjadi sangat besar ya. Kasus ini sebetulnya risiko paling tingginya itu ada pada penyalahgunaan restorative justice itu sendiri. Pendekatan damai itu bukan untuk supaya selesai damai begitu saja, tetapi tujuan dari restorative Justice itu aslinya adalah agar dendamnya tidak dipelihara gitu. Restorative Justice itu intinya ada ruang untuk penyelesaian secara utuh," ucap Alissa melalui siaran di kanal YouTube Berita KBR, Rabu, (8/11/2024).
Baca juga:
Dia mendorong penegak hukum seharusnya tidak hanya mengejar penyelesaian yang cepat, tetapi juga memastikan keadilan ditegakkan. Dalam kasus Supriyani, Alissa mengingatkan penegak hukum tidak melepaskan fakta bahwa orang tua siswa adalah aparat penegak hukum.
"Ini yang berbahaya dengan model penyelesaian yang restorative justice yang di-twist apalagi ketika orang tua ini adalah pihak yang punya wewenang untuk melakukan restorative justice itu gitu ya," jelasnya.
Lebih lanjut, Alissa juga menyoroti perubahan relasi antara guru, siswa, dan orang tua.
"Dulu, orang tua menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak kepada guru. Sekarang, orang tua lebih kritis dan sadar akan hak-hak anak. Namun, di sisi lain, masih banyak guru yang menggunakan metode disiplin yang keras. Ketidakpercayaan ini membuat konflik semakin rumit," jelasnya.
Menurut Alissa, untuk mengatasi masalah ini, diperlukan perubahan mendasar dalam sistem pendidikan, termasuk pelatihan bagi guru, peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak anak, serta penegakan hukum yang adil dan konsisten.
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!