NASIONAL

Celah Aturan Izin Aborsi di PP Kesehatan

Celah itu salah satunya soal keterangan dari penyidik polisi, yang tertuang dalam Pasal 118.

AUTHOR / Hoirunnisa

EDITOR / Sindu

Celah Aturan Izin Aborsi di PP Kesehatan
Ilustrasi: Kampanye pro-aborsi di Amerika Serikat. Foto: VoA

KBR, Jakarta- Asosiasi LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) menyebut masih banyak celah dalam penerapan praktik aborsi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan. Celah itu salah satunya soal keterangan dari penyidik polisi, yang tertuang dalam Pasal 118.

Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi LBH APIK Khotimun Sutanti khawatir, akses aborsi bagi korban tindak pidana kekerasan seksual masih sulit, meski kini telah diatur dalam regulasi.

"Itu kan syaratnya masih ada dua, ya. Syaratnya yang pertama dengan surat dokter dan akumulatif, dan keterangan penyidik. Berartikan artinya kasusnya sudah harus dilaporkan ke polisi, dan ada keterangan dari penyidik, bahwa ini ada kekerasan seksual," ujar Khotimun kepada KBR Media, Rabu, 31 Juli 2024.

"Nah, proses untuk mendapatkan surat dari penyidik ini yang terkadang lama, dan akhirnya korban kekerasan seksual yang dia tidak tahu dirinya hamil, atau dia tahu dirinya hamil tapi dengan proses yang lama, kemudian usia kehamilannya sudah melebihi batas waktu yang ditetapkan oleh undang-undang, itu tidak bisa mengakses," imbuhnya.

Tim Pertimbangan

Selain itu, Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi LBH APIK Khotimun Sutanti menyebut dewan atau tim pertimbangan selama ini menjadi kendala dalam melakukan aborsi yang aman bagi korban pelecehan. Kata dia, tidak semua rumah sakit di Indonesia siap dengan adanya dewan pertimbangan.

Dalam PP Kesehatan tim pertimbangan diatur di Pasal 120, tugasnya memberikan pertimbangan dan keputusan dalam melakukan pelayanan aborsi karena adanya kehamilan yang memiliki indikasi kedaruratan medis dan/atau kehamilan akibat tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan lain.

"Kalaupun ada dewan pertimbangan ini cenderung mendorong dengan bahasa yang menyudutkan korban sehingga korban takut untuk di aborsi. Nah, kemungkinan itu masih bisa terulang setelah adanya pp ini," kata Khotimun.

Khotimun menyebut pemerintah harus dapat memperbaiki penyediaan layanan untuk melakukan aborsi aman bagi korban kekerasan seksual. Kata dia, perbaikannya dengan sosialisasi dan koordinasi antara kementerian/lembaga (k/l) yang harus diperkuat.

"Aturan turunan (aturan teknis) atau berbagai panduan yang akan diatur dari PP ini lebih bisa mengakomodasi pengalaman korban, dan mengakomodasi suara masyarakat sipil," kata Khotimun.

Izin Aborsi

Sebelumnya, pemerintah memperbolehkan praktik aborsi bersyarat lewat Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan yang sudah diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Terdapat dua kondisi tertentu untuk melakukan aborsi, yakni indikasi kedaruratan medis, dan terhadap korban tindak pidana pemerkosaan atau kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan.

Sementara pada Pasal 118 PP 28/2024 disebutkan, kehamilan akibat pemerkosaan atau kekerasan seksual harus dibuktikan dengan:

a. surat keterangan dokter atas usia kehamilan sesuai dengan kejadian tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan; dan

b. keterangan penyidik mengenai adanya dugaan perkosaan dan/atau kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan.

Baca juga:

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!