NASIONAL
Cakupan Kekerasan di Kampus Diperluas, Dukungan untuk Satgas PPKPT Terbatas
Pentingnya perlindungan hukum bagi anggota Satgas PPKPT, karena hingga kini belum ada perlindungan hukum yang konkret.

KBR, Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) memperluas cakupan penanganan kekerasan di Perguruan Tinggi.
Itu ditandai dengan perubahan dari Satgas PPKS (Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual) menjadi Satgas PPKPT (Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi).
Perubahan ini sebagai bagian dari perbaikan regulasi dan kebijakan yang lebih luas untuk menciptakan lingkungan kampus yang aman dan inklusif.
Perubahan dilakukan melalui Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi, yang mulai berlaku 10 Oktober 2024.
Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 menggantikan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Perubahan dari PPKS ke PPKPT menandakan perluasan ruang lingkup penanganan kekerasan di kampus, tidak hanya terbatas pada kekerasan seksual.
Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (Satgas PPKPT) sekarang menangani berbagai bentuk kekerasan di lingkungan Perguruan Tinggi, seperti perundungan, diskriminasi dan kekerasan psikologis.
Ditjen Dikti: Cakupan Perlindungan Lebih Menyeluruh
Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa) Ditjen Dikti, Berry Juliandi berharap seluruh unsur dalam lingkungan Perguruan Tinggi dapat menerima perlindungan yang lebih menyeluruh.
"Karena cakupannya lebih luas, maka perlindungan kepada seluruh civitas akademika, ataupun unsur lain di Perguruan Tinggi jadi lebih baik. Karena sekarang semuanya bisa dilaporkan dan bisa dicegah oleh Perguruan Tinggi masing-masing," kata Berry kepada KBR Media, Rabu (23/4/2025).
Ia juga menegaskan, perubahan PPKS menjadi PPKPT bukanlah beban tambahan bagi institusi Pendidikan. Melainkan kewajiban yang harus dipenuhi sebagai bagian dari tanggung-jawab dalam menyelenggarakan Pendidikan yang aman juga nyaman.
Selama ini, menurut Berry, terdapat berbagai bentuk kekerasan lain yang juga terjadi di lingkungan Perguruan Tinggi, seperti kekerasan verbal, fisik dan lainnya yang belum terakomodasi dalam regulasi sebelumnya.
"Karena tugas kita sebagai penyelenggara pendidikan adalah untuk menjaga seluruh peserta didik, dan menjaga para pendidik serta pihak-pihak lain yang ada di institusi Pendidikan Tinggi. Agar semuanya dapat bekerja dengan nyaman," ujar pria kelahiran Jakarta, 23 Juli 1978 ini.
Berry memastikan, mekanisme pelaporan dan penanganan telah dijabarkan secara rinci dalam peraturan perubahan tersebut, sehingga tidak ada lagi alasan bagi Perguruan Tinggi untuk tidak menaatinya.

Peraih gelar Doktor bidang Neurosains Molekuler dari Nara Institute of Science and Technology, Jepang ini juga menekankan, pentingnya perlindungan terhadap pelapor. Selain, mendorong masyarakat supaya jangan ragu melapor ke Satgas PPKPT.
“Jika ada kejadian jangan ragu-ragu untuk melapor ke Satgas PPKPT. Jika Perguruan Tingginya belum punya Satgas PPKPT, juga bisa melapor ke Kementerian. Jika kekerasan yang terjadi tidak bisa di-handle oleh Perguruan Tinggi, maka bisa melapor langsung ke Kementerian,” ucap bekas Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Institut Pertanian Bogor periode 2021-2025.
Satgas PPKPT ULM: Banyak Tantangan, Lebih Banyak Keterbatasan
Di sisi lain, Anggota Satgas PPKPT Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Lena Hanifah menilai, perluasan cakupan kekerasan di Perguruan Tinggi merupakan langkah positif. Tapi juga membawa tantangan baru bagi Satgas-satgas PPKPT se-Indonesia.
Ini lantaran berdampak pada peningkatan beban kerja, potensi kelelahan anggota Satgas, serta kebutuhan akan peran ganda sebagai konselor, mediator sekaligus investigator secara bersamaan.
"Maka ketika cakupan kekerasannya diperluas, tentu ada tantangan baru yang harus diperhatikan. Terutama pada keterbatasan SDM dan anggaran. Mungkin perlu digarisbawahi, bahwa tidak semua Satgas PPKPT memiliki anggaran, ada banyak Satgas PPKPT yang bergerak, beraktivitas, menjalankan tugasnya tanpa anggaran sama sekali lho," prihatin Lena kepada KBR Media, Rabu (23/4/2025).
Ia menyebut, meskipun sudah diatur dalam Pasal 98 Permendikbudristek tentang Perguruan Tinggi mengalokasikan anggaran untuk pendanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di lingkungan Perguruan Tinggi (PPKPT), tapi beberapa Satgas masih ada yang harus menjalankan tugasnya tanpa dukungan dana. Apalagi sekarang pemerintah tengah memasifkan kebijakan efisiensi anggaran.
Baca juga:
Menyoroti Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi
Perubahan PPKS menjadi PPKPT, menurut Lena, menuntut adanya penyesuaian prosedur pelaporan dan standar operasional (SOP) baru. Artinya, berbeda untuk setiap jenis kekerasannya seperti diskriminasi, intoleransi, dan kebijakan represif.
Selain itu, ia juga mengungkapkan, kerap menghadapi resistensi dari kalangan akademisi maupun pihak eksternal yang salah kaprah menilai keberadaan Satgas PPKPT sebagai bentuk legalisasi perilaku menyimpang.
"Itu yang sering kami temui di beberapa forum, bahwa Satgas PPKPT itu kalau ngurusin kekerasan seksual berarti melegalkan perzinahan, melegalkan Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Queer (or Questioning) atau LGBTQ misalnya. Padahal kan tidak seperti itu. Jadi, ada kurang pemahaman terhadap makna kekerasan itu sendiri," ujar Lena yang lulus S2 Ilmu Hukum di Fakultas Hukum, Universitas Kebangsaan Malaysia, Malaysia ini.

Untuk mengatasi hal itu, ujar Lena, harus dengan sosialisasi masif, mengingat adanya keterbatasan SDM seperti yang dialami Satgas PPKPT ULM yang hanya terdiri dari 17 personel, namun harus menangani kasus di dua kampus di dua kota berbeda, Banjarbaru dan Banjarmasin.
Lena pun mengusulkan agar Kemendiktisaintek lebih tegas mendorong Perguruan Tinggi memberikan dukungan konkret, baik material maupun moral, untuk keberlanjutan tugas Satgas PPKPT masing-masing.
“Kurangnya dukungan konkret itu menyulitkan Satgas PPKPT yang harus bekerja hampir 24 jam menangani laporan dan mendampingi korban.”
Jumlah Laporan Masuk Satgas PPKPT ULM
Anggota Satgas PPKPT Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalsel, Lena Hanifah menjelaskan sepanjang 2024 lalu, Satgas PPKPT ULM menerima 66 laporan kasus, atau melonjak dari 15 laporan di tahun sebelumnya.
Tetapi, ia menilai, lonjakan ini justru sebagai pertanda baik, karena makin besar keberanian korban untuk melapor dan kepercayaan pada Satgas PPKPT pun mulai tumbuh.
Jenis kasus terbanyak yang dilaporkan ke Satgas PPKPT ULM adalah Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), terutama penyebaran gambar intim tanpa persetujuan (Non-Consensual Intimate Images/NCII).

Dalam menangani kasus tersebut, Satgas PPKPT bekerja sama dengan berbagai pihak seperti Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), serta Unit Cybercrime.
“Ada banyak kasus yang masuk ke kami, tapi tidak mau sebutkan nama atau identitasnya, anonim. Meskipun kami juga sebenarnya membuka hal (menerima laporan) yang anonym sedemikian. Tujuan utamanya, agar korban melapor dulu, diajak ngobrol, didampingi, ditawarkan untuk ketemuan, dan lain sebagainya. Barulah kemudian mereka diminta untuk melapor,” ucap lulusan S3 Ilmu Hukum di Fakultas Hukum, University of New South Wales, Australia itu.
Satgas PPKPT Universitas Pancasila: Butuh Perlindungan Hukum
Sementara itu, Ketua Satgas PPKPT Universitas Pancasila, Sarah Zaidan menilai perubahan dari PPKS ke PPKPT membawa tantangan yang semakin berat bagi tim pelaksana di lapangan.
“Sebenarnya semakin berat. Bukan soal efektif maupun efisiennya, itu sih tergantung kondisi saat-saat di universitasnya masing-masing. Tapi kalau secara global ya itu makin berat, karena yang kekerasan seksual saja sudah cukup membebani sebagai Satgas,” kata Sarah kepada KBR, Kamis (24/4/2025).
Sarah menyebut jumlah personel Satgas PPKPT di kampus “Jaket Biru” ada 11 orang.
Sejak perubahan PPKS menjadi PPKPT, Sarah mengungkapkan, Satgas PPKPT hanya menerima lima laporan kasus, yaitu empat laporan kekerasan seksual dan satu laporan perundungan (bullying).
Terkait laporan yang diterima, Sarah menjelaskan, Satgas PPKPT hanya bisa memproses laporan yang disampaikan langsung oleh korban, meskipun laporan awal bisa saja datang dari saksi.

Saat ini, lanjut Sarah, kanal-kanal pelaporan itu sudah tersedia dan mencakup berbagai media. Misalnya, email dan Google Form. Semua ini memudahkan siapa saja untuk mengungkapkan kekerasan di Perguruan Tinggi.
"Kalau kita tidak speak up, maka kekerasan seksual tak mungkin bisa kita hapus dari dunia pendidikan. Itu memang butuh keberanian untuk melapor. Itu butuh keberanian," ujarnya.
Sarah juga menegaskan pentingnya perlindungan hukum bagi anggota Satgas PPKPT, karena hingga kini belum ada perlindungan hukum yang konkret dari pemerintah, bahkan juga dari Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikTI) yang menaungi.
"Enggak usah jauh-jauh dari Kementerian, dari LLDikTI Wilayah III yang istilahnya “bapak kami”, “rumah kami”, karena merekalah yang memilih kami, misalnya menyiapkan ini lho tim hukumnya, kalau ada masalah masuk Satgas PPKPT akan dilindungi," tegasnya.
LBH Apik: Jangan Sampai Satgas PPKPT Bubar karena Tak Ada Anggaran
Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (Asosiasi LBH APIK), Khotimun Sutanti menilai perubahan Satgas PPKS menjadi Satgas PPKPT merupakan inisiatif kampus untuk merespons tidak hanya kekerasan seksual, tapi juga berbagai bentuk kekerasan lainnya, termasuk bullying dan intoleransi.
Khotimun menilai, inisiatif kampus itu cukup positif tapi upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual harus tetap dilakukan secara masif.
"Karena kita agak khawatir, sebelumnya dengan entitas Satgas PPKS yang fokus untuk kekerasan seksual saja, masih ada kampus-kampus yang belum memiliki budget khusus, masih belum ada dukungan yang maksimal. Jadi harapannya, ini kemudian tidak semakin mengecilkan dengan perubahan nama ini," ujarnya kepada KBR, Kamis (24/04/2025).

Khotimun juga menyampaikan pentingnya dukungan terhadap Satgas PPKPT, mulai anggaran, fasilitas sekretariat, operasional dan lainnya.
“Karena ada kampus yang membubarkan Satgas PPKPT-nya karena kurang mendapat dukungan dari berbagai aspek,” ujarnya.
Baca juga:
Memutus Rantai Kekerasan Seksual di Kampus
Dilanjutkannya, Satgas PPKPT itu berperspektif gender, sehingga pemahaman tentang kasus-kasus kekerasan seksual, relasi kuasa dan lainnya harus mereka pahami.
“Karena mereka tidak akan berhadapan langsung dengan korban, dan juga akan ada tim ad hoc untuk melakukan investigasi kasus. Itu mesti dikuatkan perspektif kapasitas, dan lain sebagainya," katanya.
Khotimun juga menyarankan agar satgas PPKPT tetap memiliki program khusus untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. “Harapannya, program itu tidak direduksi.”
Angka Kekerasan Seksual di Kampus
Pada 2024, terdapat peningkatan kasus kekerasan seksual di Perguruan Tinggi. Data dari Kemen PPPA per April 2024 mencatat ada 2.681 kasus.
Selain itu, Puspeka Kemendiknas juga melaporkan adanya 2.244 kasus kekerasan seksual di Perguruan Tinggi sepanjang 2023, dan 1.919 kasus hingga pertengahan November 2024.

Tren kenaikan yang serupa berlanjut pada 2022, dengan angka kasus kekerasan seksual di Perguruan Tinggi mencapai 2.094 kasus, atau naik lebih dari 28% dibandingkan tahun sebelumnya.
Angka-angka ini menunjukkan, kasus kekerasan seksual di Perguruan Tinggi belum mampu diatasi secara signifikan. Kenaikan dan penurunan angka kasus ini juga menggambarkan, pentingnya upaya berkelanjutan dalam mengurangi kekerasan seksual, termasuk pendidikan, perlindungan korban, serta penegakan hukum yang lebih tegas di lingkungan kampus.
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!