"Kami juga ingin menyampaikan bahwa BUMN itu adalah salah satu lembaga di mana direksinya mendapatkan kompensasi dan fasilitas yang sangat memadai."
Penulis: Astri Septiani
Editor: Muthia Kusuma

KBR, Jakarta- Anggota Komisi XII yang membidangi energi di DPR, Eddy Soeparno menyatakan prihatin dengan terjadinya korupsi di Pertamina. Ia mendorong kementerian BUMN dan komisaris anak perusahaan Pertamina selaku pengawas dari perseroan untuk melakukan pengawasan yang lebih ketat terhadap berbagai potensi kerugian dan penyimpangan. Ia juga mendorong pertamina dan seluruh BUMN melakukan evaluasi serta pembenahan, terutama terhadap sistem pengawasan internal.
"Kami juga ingin menyampaikan bahwa BUMN itu adalah salah satu lembaga di mana direksinya mendapatkan kompensasi dan fasilitas yang sangat memadai. Oleh karena tidak ada alasan bagi direksi BUMN untuk mencari tambahan apalagi melalui peluang-peluang atau potensi jalur-jalur yang tidak disahkan dan tidak sejalan dengan peraturan dan ketentuan," kata Eddy kepada KBR (25/02/25).
Baca juga:
Di sisi lain, Anggota Komisi VI yang membidangi BUMN di DPR, Amin AK menilai dengan adanya kasus menunjukkan masih lemahnya pengawasan tata kelola minyak mentah di tanah air. Ia mendorong penguatan peran lembaga pengawas yakni BPH Migas dan SKK Migas dalam melakukan pengawasan dan eksekusi kebijakan dan mencegah terjadinya praktek korupsi serta penyimpangan lainnya. Ia menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengadaan dan distribusi minyak mentah serta produk turunannya.
Amin AK mendorong adanya audit berkala yang hasilnya dipublikasikan kepada masyarakat. Selain itu kata dia, perlu ada penyederhanaan regulasi dan reformasi birokrasi sehingga mengurangi celah korupsi.
"DPR juga mendorong percepatan pembahasan rancangan undang-undang Migas untuk memperbaiki tata kelola sektor Migas dan mengoptimalkan peran BUMN dalam industri energi nasional," kata dia.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung telah menetapkan sejumlah direksi di PT Pertamina subholding sebagai tersangka dalam dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang. Salah satu modus yang diungkap penyidik adalah praktik blending, yaitu pencampuran BBM beroktan lebih rendah seperti RON 90 (Pertalite) dengan zat tertentu agar menyerupai RON 92 (Pertamax).
Baca juga:
Modus lainnya yaitu pengurangan produksi kilang. Tersangka diduga mengatur hasil rapat organisasi hilir untuk menurunkan produksi kilang dalam negeri. Produksi minyak mentah lokal ditolak dengan alasan tidak ekonomis, padahal masih memenuhi standar. Hasilnya, minyak mentah lokal diekspor, sementara kebutuhan dalam negeri dipenuhi melalui impor.
Selain itu, para tersangka juga diduga melakukan impor minyak mentah dan produk kilang dengan harga tinggi. Serta ada indikasi pengaturan harga bersama broker yang sudah ditentukan sebelumnya memenangkan tender dengan harga lebih tinggi. Kemudian, Kejagung juga menduga ada mark-up biaya pengiriman minyak impor sebesar 13-15 persen.