Article Image

BERITA

Be One in Diversity, Komunitas Pelajar Pegiat Perdamaian dan Toleransi

Acara buka puasa bersama Be On in Diversity (BOID) dan Madrasah Aliyah Faser, Jombang, Jawa Timur pada 2019. Foto: dokumentasi BOID

Pengantar:

Bom Surabaya Mei 2018 menjadi tragedi memilukan yang dipicu kekerasan berlatar agama. Pelaku bom bunuh diri di tiga gereja itu merupakan satu keluarga. Empat di antaranya masih berusia remaja dan anak-anak. Fakta ini menyentak banyak orang, termasuk remaja Surabaya, Aurelia Jessica Gunawan. Peristiwa tersebut memantapkan tekadnya untuk merintis komunitas anak muda pegiat perdamaian dan toleransi. 

KBR, Surabaya - Komunitas pelajar Be One in Diversity di Surabaya, Jawa Timur mesti beradaptasi dengan situasi pandemi. Arek-arek Suroboyo yang fokus di isu toleransi dan keberagaman ini menggelar kegiatan secara daring.

Sebelum pagebluk Covid-19 melanda, mereka sempat ke Gunung Anyar, belajar dan bermain bersama anak-anak Majelis Taklim Muhajirin Al Islamiyah. Di Wonosalam, Jombang, Be One in Diversity juga sempat menggelar buka puasa Ramadhan bersama murid-murid Madrasah Aliyah Faser.

Be On in Diversity didirikan oleh Aurelia Jessica Gunawan pada 2017 silam, saat masih berusia 13 tahun

“Kami mengajak seluruh anak muda untuk menjadi agen perdamaian dan juga toleransi di tengah masyarakat. Sehingga kami pun berharap dengan ini anak muda ini bisa menjadi inspirasi untuk menyebarkan rasa cinta dan juga kasih sayang antarsatu sama lain tanpa memandang latar belakang,” kata Jessica yang kini bersekolah di SMA Santa Louis, Surabaya.

Founder Be One in Diversity Aurelia Jessica Gunawan. Foto: Budi Prasetiyo/KBR

Pembentukan Be One in Diversity dilatari pengalaman pribadi Jessica. Kala masih SD, Jessica diprotes teman-temannya karena punya sahabat beragama Hindu. Mereka berpendapat lebih baik berkawan dengan yang seagama.

"Bahkan waktu itu saya juga sempat dijauhi oleh teman dekat saya sendiri karena masalah SARA tersebut. Semenjak peristiwa itu, memang saya merasa diri saya ini sebenarnya bukan apa-apa. Kayak kalau misalkan mau bergerak, mau bergerak seperti apa? Dan masak sih bisa memberikan pengaruh yang besar kepada orang lain?" tutur pelajar berusia 16 tahun ini.

Keresahan itu dipendam Jessica hingga masuk SMP Santa Maria, Surabaya. Oleh gurunya, Martinus Ekonugroho, ia ditantang mengubah keresahan itu menjadi aksi nyata.

"Kalau gitu apa yang bisa kamu lakukan sebagai anak muda? Kalau kamu bisa lakukan bagus lho, untuk menjadi pembaharu di masyarakat seperti apa. Singkat cerita, kemudian oke kita jalan bareng-bareng, siapin bareng-bareng lahirlah BOID itu, Be One in Diversity,” ujar Martinus.

Jessica saat membagikan pengalamannya di salah satu kegiatan Be One in Diversity (BOID) sebelum pandemi. Foto: dokumentasi BOID

Lalu terjadilah tragedi bom di tiga gereja di Surabaya, 13 Mei 2018.

Salah satu lokasi ledakan berada tak jauh dari sekolah Jessica. Peristiwa itu makin memacu semangatnya menyebarkan perdamaian lewat Be One in Diversity.

"Pada masa itu kan mulai dari orang-orang terdekat saya sendiri juga melakukan dampaknya. Mulai dari yang takut untuk keluar. Ada orang yang makin rasa curiga itu bertambah atau sangat protektif. Timbulnya keregangan antara hubungan dua agama ini. Jadi peristiwa itu juga merupakan salah satu pendorong, kenapa kita menggerakkan project BOID ini," kata dia.

Lambat laun anggota komunitas makin bertambah, hingga mencapai 70 siswa. Alih-alih hanya duduk berdiskusi, mereka banyak terjun ke lapangan bersama komunitas lain.

Be One in Diversity mengajak anak muda melek dan peduli dengan isu sosial, lingkungan, literasi, dan tentunya toleransi.

"Benar-benar menyebarkan nilai positif itu tentunya juga harus ada komunitas-komunitas baru, khususnya yang berbeda latar belakang, untuk bisa kita ada kerja sama sehingga nilai-nilai positif ini pun juga bisa tersebar secara luas juga pada masyarakat," ungkap Jessica.

Jalan yang ditempuh Jessica tak selalu mulus. Ia kadang mendapat cibiran yang melemahkan semangat.

"Kenapa sih kok masih SMP, masih banyak tugas, masih pusing sekolah, kok malah ngurusinya tentang projek ini? Kenapa sih harus care, kenapa harus peduli dengan isu sosial ini? Dari situlah mungkin memang jadi masa jatuh bangunnya. Jadi kerasa ini, yang mungkin mulanya sudah percaya diri akhirnya juga ada rasa-rasa ragu yang kembali," kisah Jessica.

Guru SMP Santa Maria Surabaya Martinus Ekonugroho. Foto: istimewa

Tekad kuat dan dukungan orang terdekat membuatnya tak patah arang. Usai lulus SMP, ia ikut mendirikan komunitas Trouble Fixer Generation pada 2020.

"Sebenarnya Trouble Fixer ini diambil dari adanya pandangan yang cenderung menganggap bahwa anak muda itu trouble maker atau pembuat masalah. Jadi melalui komunitas ini dan dengan nama itu, kami ingin membuktikan pada masyarakat, bahwa sebenarnya anak muda tidak hanya sebagai pembuat masalah atau trouble maker, tapi di sini kami hadir sebagai trouble fixer atau pemecah masalah," jelasnya.

Trouble Fixer Generation juga didampingi guru SMP Santa Maria, Martinus Ekonugroho. Kompetisi bertajuk “Arek Suroboyo Wani Berubah” menjadi program pertama komunitas ini. Jessica adalah salah satu mentornya.

"Jadi challenge-nya itu mereka membuat kegiatan dan mengkonsep perubahan. Apa yang bisa dilakukan anak-anak muda seusiamu berdasar pada keprihatinannya. Kemarin sudah terpilih lima yang terbaik yang sekarang sedang dikelola, termasuk di dalamnya ada Jessica. Di masa pandemi, mereka mengelolanya virtual, daring. Mereka semacam membuat coaching pada lima anak ini untuk menjadi pembaru juga," kata Martinus.

Gregorius Agastya Taffi Valentino, merupakan salah satu finalis yang dibimbing Jessica. Ia membuat siniar atau podcast Suara Pelajar.

"Di situ (Trouble Fixer Generation) saya banyak mengenal anak-anak muda hebat yang berani mengambil langkah untuk menangani kasus-kasus dan isu-isu sosial di sekitarnya. Setelah saya mengikuti lomba ini, saya tergerak untuk menjalankan program saya,” kata Taffi.

Anggota Trouble Fixer Generation, Gregorius Agastya Taffi Valentino. Taffi membuat podcast Suara Pelajar. Foto: istimewa

Pelajar SMA berusia 16 tahun ini difasilitasi untuk membuat konten podcast. Tujuannya untuk menyebarkan pesan perdamaian dan toleransi.

"Saya ingin mengajak orang lain bagaimana kita menangani radikalisme dan terorisme ini agar radikalisme dan terorisme ini segera hilang lah dari Indonesia. Dan Indonesia aman dari tindak terorisme,” ungkap Taffi.

Jessica berharap komunitas yang dirintisnya bisa menginspirasi anak muda untuk berani menjadi agen perubahan.

“Saya ingin menekankan bahwa toleransi ini bukan hanya sekedar sebuah kata yang hanya diucapkan melalui mulut saja atau mungkin yang sering banget kita dengar saat di sekolah, tapi juga kita implementasikan, atau kita realisasikan secara nyata,” pungkas Jessica.

Penulis: Budi Prasetiyo

Editor: Ninik Yuniati