indeks
Bandar Judol Rugi, Pejudi Ditangkap, Polisi Bela Siapa?

Mereka ditangkap lantaran disangka merugikan bandar.

Penulis: Hoirunnisa

Editor: Sindu

Google News
Bandar Judol Rugi, Pejudi Ditangkap, Polisi Bela Siapa?
Kasubdit V/Siber Ditreskrimsus Polda DIY, Slamet Riyanto saat menjelaskan penangkapan lima pejudi online, Rabu. (6/8/2025). Foto: jogja.polri.go.id

KBR, Jakarta- Ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah dan penegakan hukum diperkirakan menguat setelah lima pejudi online (judol) ditangkap polisi di Yogyakarta. Mereka ditangkap lantaran disangka merugikan bandar.

Analisis soal keraguan masyarakat itu disampaikan Peneliti Ekonomi Digital dari CELIOS, Rani Septya.

“Terus sekarang dikatakan merugikan bandar, kan, lucu, ya? Ketika dianggap merugikan bandar sedangkan judi online sendiri itu ilegal dan merugikan masyarakat. Dari situ saja sudah aneh. Jadi, sebenarnya dari situ polisi berpihaknya ke siapa?” ujarnya kepada KBR Media, Selasa, (12/8/2025).

Menurut Rani, dampak persepsi ini bukan hanya ke citra aparat, tetapi juga pada iklim kepercayaan terhadap kebijakan ekonomi digital.

"Kelihatannya itu pemerintah hanya ingin memberantas di masyarakatnya saja. Jadi, bukan benar-benar ingin menelusuri sampai ke akarnya. Kelihatan seperti itu," imbuh Rani.

Padahal, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memperkirakan uang judi online mencapai 1,2 kuadriliun di Indonesia. Rani menilai, angka ini menunjukkan masalah serius yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan menindak pemain.

“Jangan cuma hanya menangkap pemainnya, meskipun itu merugikan bandar, dikatakan merugikan bandar gitu. Bandarnya juga sudah merugikan masyarakat sebenarnya, kan?” katanya.

red
Ilustrasi: Pengungkapan kasus judi online oleh Polda DIY. Foto: Tangkapan layar YouTube Polda DIY


Pemblokiran

Rani juga menyoroti tindakan PPATK memblokir rekening dorman atau rekening tanpa transaksi selama tiga bulan. Langkah ini dilakukan karena rekening-rekening itu dicurigai terkait judi online.

“Yang punya akses itu hanya pemilik rekening dan perbankan. Pertanyaannya, bagaimana bisa rekening tidur ini dipakai situs judi online? Ada kasus teman meminjam rekening, ternyata digunakan untuk judi online. Tetapi, PPATK tidak bisa serta merta memblokir semua, apalagi sampai menimbulkan keresahan masyarakat,” jelasnya.

Menurutnya, langkah pemblokiran PPATK ini salah kaprah. Selain tak menyentuh akar masalah, tindakan itu malah cenderung melanggar privasi masyarakat.

“Jadi, itu memang buat mereka yang paling mudah dibandingkan dengan melihat satu-satu. Yang ada itu kan sekarang menunggu bank dulu itu kan lama, ya. Menunggu bank dulu, bank dulu yang lihat, baru melaporkan ke PPATK,” pungkasnya.

Perlindungan Bandar?

Sementara, Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) menilai penangkapan pejudi online menguatkan dugaan publik bahwa bandar mendapat perlindungan aparat.

Pengamat kepolisian ISESS, Bambang Rukminto menyebut, penegakan hukum selama ini cenderung menyasar pemain, bukan bandar yang menjadi aktor utama.

“Itu memunculkan asumsi di masyarakat bahwa bandar judi online tidak pernah ditangkap karena dibekingi aparat kepolisian. Kasus ini mengonfirmasi asumsi tersebut,” kata Bambang kepada KBR, Jumat (8/8/2025).

Menurut Bambang, Polda DIY perlu menjelaskan dasar penangkapan lima pejudi online tersebut, apakah melalui laporan model A (inisiatif polisi) atau model B (laporan masyarakat).

Tak Logis

Bambang bilang, jika laporan dari bandar yang rugi, maka logisnya pengendali judol tersebut juga harus diproses hukum karena melakukan tindak pidana.

Polisi, kata dia, dapat menelusuri aliran dana dari pemain hingga ke bandar, baik melalui laporan model A maupun B.

“Kalau PPATK bisa mendeteksi aliran dana ratusan triliun dari pemain, masa tidak tahu uang itu mengumpul ke mana? Bahkan kalau bandarnya di luar negeri pun aliran dana tetap bisa dideteksi,” ujarnya.

Seharusnya direktur dan unit siber kepolisian mampu memetakan jaringan bandar dan aliran dana, tetapi selama ini tidak ada keterbukaan hasil penelusuran tersebut.

“Yang tahu soal judi online itu kan direktorat siber. Mereka harus bisa jelaskan proses penyelidikan. Kalau hanya diam, asumsi publik bahwa mereka membekingi bandar akan makin kuat,” tegas Bambang.

red
Kepala PPATK, Ivan Yustiavandana saat menjelaskan pengawasan rekening dorman sebagai salah satu upaya menekan judol, 9 Agustus 2025. Foto: ppatk.go.id


Transparansi dan Tebang Pilih

Bambang juga menyoroti lemahnya transparansi negara dalam penindakan. PPATK dan OJK memang memblokir rekening terkait judi online, tetapi sebagian di antaranya adalah rekening dorman, yang kemudian dibuka kembali.

Ia menilai, kendala utama pemberantasan judi online bukan pada kesulitan teknis, melainkan kemauan dan keseriusan aparat. Minimnya transparansi dalam penindakan, turut memperkuat dugaan publik soal ada keterlibatan aparat dalam melindungi bandar.

“Negara ini serius atau tidak? PPATK kadang memblokir rekening yang dorman, tetapi setelah itu semua dibuka lagi. Jangan-jangan rekening bandar juga dibuka. Tanpa transparansi, masyarakat bebas berasumsi ke mana-mana,” ungkap Bambang.

Menurutnya, masyarakat pada dasarnya adalah korban, sedangkan bandar ialah pihak yang paling diuntungkan.

Namun, dalam kasus di Jogja, para pemain justru dituduh membobol situs judi online dan merugikan bandar. Kata dia, bila tidak ada pelapor yang dirugikan selain bandar, maka proses hukum terhadap pemain patut dipertanyakan.

Bambang juga menyebut kelemahan lain dalam penindakan adalah sikap tebang pilih aparat.

“Kepolisian jangan hanya menyasar masyarakat kecil, tetapi lemah di hadapan bandar yang punya duit besar. Itu harus dibuktikan dengan tindakan profesional dan tidak tebang pilih,” tegasnya.

Alasan Polda DIY

Sebelumnya, Ditreskrimsus Polda DIY menangkap lima orang pejudi online yang diduga merugikan bandar. Kelimanya ditangkap di sebuah rumah di Banguntapan, Bantul, Kamis, (31/7/2025). Penangkapan ini menuai kritik dan polemik.

Namun, Kasubdit V/Siber Ditreskrimsus Polda DIY, Slamet Riyanto mengklaim, penindakan bermula dari laporan masyarakat, yang ditindaklanjuti polisi.

“Informasi tersebut dikembangkan oleh kami yang bekerja sama dengan intelijen, kemudian kami tindaklanjuti secara profesional,” ujar Slamet dalam keterangan tertulis, Rabu, (6/8/2025).

Slamet menjelaskan kelima pelaku bermain judi online dengan mengumpulkan dan memanfaatkan situs-situs yang menawarkan promosi untuk pengguna baru.

"Para pelaku merupakan pemain judi online dengan modus memainkan akun-akun dan memanfaatkan promo untuk menambah deposit,” tegasnya.

Ia berjanji, apabila di kemudian hari ditemukan bukti keterlibatan bandar atau jaringan lebih besar akan diproses hukum secara tegas dan transparan.

“Siapa pun yang terlibat dalam aktivitas judi akan kami tindak. Mulai dari pemain, operator, pemodal, hingga bandar dan pihak-pihak yang mempromosikan. Tidak ada toleransi untuk perjudian dalam bentuk apa pun,” lanjut AKBP Slamet.

Saat ini kasus tersebut sudah masuk tahap penyidikan dan kelima tersangka telah ditahan. Mereka terdiri dari empat operator dan satu koordinator berinisial RDS.

red
Ilustrasi: Pengungkapan kasus judi online oleh Polda DIY, Februari 2025. Foto: Tangkapan layar YouTube Polda DIY


Diskriminasi Penegakan Hukum

Tetapi, tindakan hukum Polda DIY memproses pejudi tanpa menindak bandar berpotensi menunjukkan diskriminasi penegakan hukum.

Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Mona Ervita bilang, situasi ini berbahaya, lantaran ada orang-orang yang diduga dilindungi.

"Kita tidak tahu, ya, apakah dari para penegak hukum itu sendiri atau memang dia komplotan atau lintas batas negara. Tetapi, kurang lebih seperti itu sih apa namanya kita perlu pertanyakannya," ujar Mona kepada KBR, Jumat, (8/8/2025).

Menurut Mona, judi online merupakan tindak pidana yang diatur di Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Bunyinya, melarang setiap orang mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memuat perjudian. Ancaman pidananya maksimal enam tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp1 miliar.

Selain itu, larangan perjudian juga termuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP. Beleid ini mempertegas larangan baik untuk perjudian konvensional maupun daring.

Evaluasi Berkala Kerja Satgas

Mona mengingatkan, asas equality before the law atau kesetaraan di depan hukum harus ditegakkan. Ia juga menyoroti perlunya Satgas Pemberantasan Judi Online yang benar-benar efektif dan diawasi DPR agar tidak hanya memburu pemain kecil.

“Kerja-kerja satgas ini sudah berhasil atau belum. Apakah masih, kalaupun sudah ada satgas tetapi kenapa masih banyak sekali kasus-kasus judi online di luar sana bahkan pemain-pemain saja tuh bisa ditangkap kayak gitu. Bagaimana dengan bandar?” tegasnya.

Mona turut mendesak kepolisian lebih transparan soal dasar penangkapan pejudi yang diduga merugikan bandar.

red
Menkomdigi Meutya Hafid. Foto: komdigi.go.id


Jutaan Konten Judi Online Diblokir

Secara nasional, sudah ada sekitar 1,7 juta konten terkait judi online diturunkan sejak 20 Oktober 2024 hingga 28 Juli 2025.

Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid mengakui, pemutusan akses terhadap situs judi online saja tidak cukup untuk memberikan efek jera para pelaku.

"Peredaran situs judi online masih marak dan terus dipromosikan di berbagai platform media sosial. Pelaku judi online semakin kreatif dalam mencari celah yang tidak terlacak oleh sistem crawling konten untuk melakukan promosi judi online," ujar Meutya dalam keterangan resminya, Rabu, (30/7/2025).

Baca juga:

judi online
judol
bandar judol
Polda DIY
Pejudi
PPATK

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...