NASIONAL

Bahlil Ungkap Penyebab PHK Massal di Industri Tekstil

Jadi sebenarnya, kita harus mencari jalan tengah.

AUTHOR / Hoirunnisa

EDITOR / Wahyu Setiawan

Bahlil Ungkap Penyebab PHK Massal di Industri Tekstil
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia (kiri) mengikuti rapat kerja bersama Komisi VI DPR, Selasa (11/6/2024). ANTARA FOTO/Galih Pradipta

KBR, Jakarta - Kementerian Investasi/BKPM mengakui adanya tren pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di industri tekstil. Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mengatakan sebagian besar PHK massal terjadi di Jawa Barat.

Kata dia, alasannya karena relokasi pabrik ke wilayah lain, serta ada juga yang tutup permanen karena tidak mampu bersaing.

"Masalahnya ada dua: mesinnya tua, yang kedua biaya ekonominya sudah tinggi dibandingkan negara lain. Ini juga terkait produktivitas kerja kita," ujar Bahlil dalam Konferensi Pers Realisasi Investasi Triwulan II dan Semester I Tahun 2024, Senin (29/7/2024).

"Jadi sebenarnya, kita harus mencari jalan tengah, hak-hak buruh tetap kita perhatikan, tapi buruh juga harus memperhatikan keberlangsungan perusahaan," imbuhnya.

Bahlil mengeklaim pemerintah berusaha untuk mendatangkan investor, salah satunya dengan memberikan insentif perpajakan. Sementara itu kata dia, perbankan perlu mendorong pembiayaan untuk peremajaan mesin.

Bahlil menambahkan, banyak juga pabrik-pabrik baru yang bermunculan di tengah badai PHK massal.

"Di Kawasan Industri Terpadu Batang, di Jawa Tengah. Itu menciptakan lapangan kerja 2 ribu lebih. Jadi jangan hanya ditulis yang pergi saja, yang datang juga ditulis," klaim Bahlil.

Baca juga:

Sementara itu, Pengamat Ketenagakerjaan Universitas Indonesia Payaman Simanjuntak memperkirakan badai PHK di industri tekstil dan produk tekstil bakal makin marak terjadi. Sebab hal ini dipengaruhi oleh upaya perusahaan yang terus melakukan perampingan, rasionalisasi, dan akuisisi didasarkan kepada strategi bisnis dan iklim bisnis yang sedang terjadi.

Faktor lain yang menyebabkan PHK atau penambahan angka pengangguran adalah makin sempitnya ketersediaan lapangan pekerjaan.

"Daya serap sektor formal itu sangat terbatas, jadi sektor formal itu menyerap sekitar 45 persen dari angkatan kerja. Sedangkan 55 persen lainnya itu terserap di sektor informal termasuk usaha-usaha mandiri, usaha-usaha kecil dan kompetensi angkatan kerja kita belum cocok terserap di sana," ujar Payaman kepada KBR, Senin (17/6/2024).

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!