NASIONAL

Misi Tak Mungkin Jokowi Menurunkan Prevalensi Stunting

Catatan KBR, setidaknya dalam rentang April-Juni, sudah dua kali Jokowi mengakui sulitnya mengejar target penurunan stunting.

AUTHOR / Hoirunnisa, Astri Septiani, Ardhi Ridwansyah, Shafira Aurel, Astry Yuana Sari

EDITOR / Sindu

Misi Tak Mungkin Jokowi Menurunkan Prevalensi Stunting
Presiden Jokowi dan Kepala BKKBN Hasto Wardoyo saat membuka Rakernas Percepatan Penurunan Stunting di Jakarta, Rabu, (25-01-2023). Foto: ANTARA

KBR, Jakarta- Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui target penurunan prevalensi stunting hingga 14 persen pada tahun ini tak mudah dan ambisius. Catatan KBR, setidaknya dalam rentang April-Juni, sudah dua kali Jokowi mengakui sulitnya mengejar target penurunan stunting.

Pertama, saat Rapat Kerja Kesehatan Nasional Kemenkes, Rabu, 24 April 2024. Saat itu, kepala negara mengatakan, angka stunting di RI turun hingga 21,5 persen pada akhir 2023.

"Iya, sudah turun (angka stunting) dari 10 tahun yang lalu 37,6 persen, turun kemarin akhir tahun di 21,5 persen. Tahun ini (targetnya) 14 persen, tapi saya hitung-hitung ternyata juga enggak mudah, tapi enggak tahu kalau dalam kesempatan setahun ini, ini bisa kita capai 14 persen, karena ini pekerjaannya harus terintegrasi," ujar Jokowi, Rabu, (24/4/2024).

Pengakuan Kedua

Pengakuan kedua diungkapkan belum lama ini. Tepatnya, saat Jokowi meninjau Gerakan Intervensi Serentak Pencegahan Stunting di Posyandu Integrasi RW 02 Cipete Utara, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Saat itu, presiden menekankan pentingnya konsolidasi dan kerja sama seluruh pihak dalam menurunkan angka stunting. Kata dia, sejumlah faktor penyebab stunting mesti diselesaikan bersama.

"Stunting ini kan tidak hanya urusan makanan, tambahan urusan gizi, juga menyangkut sanitasi, lingkungan dari kampung, lingkungan dari RT juga berpengaruh terhadap masalah air yang ada juga sangat berpengaruh sekali terhadap stunting. Ini memang kerja bareng-bareng, kerja bersama, kerja terintegrasi, kerja terkonsolidasi sehingga hasilnya akan kelihatan," kata Presiden di Jakarta Selatan, Senin, (11/06/24)..

Meski mengakui punya target ambisius, Jokowi optimistis target pemerintah menurunkan prevalensi stunting hingga 14 persen pada 2024 bisa tercapai.

"Ya, yang namanya target kan kita kan memiliki target yang sangat ambisius dari 37 melompat ke 14. Ini ambisius banget, tapi memang kita harus bekerja keras mencapai target. Nanti akhir tahun kita lihat berapa," tuturnya.

red
Presiden Jokowi meninjau Gerakan Intervensi Serentak Pencegahan Stunting di Cipete Utara Kebayoran Baru, Jaksel, Selasa, (11-06-2024). Foto: BPMI Setpres/Rusman

Misi Tak Mungkin

Bagi pengamat kebijakan dari Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah, target itu sulit dicapai. Sebab pada 2023, pemerintah hanya bisa mencapai 21,5 persen. Angka ini memang turun ketimbang 2022, yang ada di level 21,6 persen. Meski begitu penurunannya hanya 0,1 persen.

Dari situ, Trubus mengatakan, sulit bagi pemerintah mencapai target 14 persen, karena waktu kepemimpinan Presiden Joko Widodo tersisa sekitar enam bulan lagi. Masa jabatan Jokowi berakhir pada 20 Oktober 2024.

“Sudah enggak mungkin, mission impossible karena waktunya kan tinggal enam bulan masa mau sistem kebut semalam, artinya begini yang harus dilakukan Pak Jokowi, ya, sekarang untuk kantong-kantong stunting itu diberikan anggaran yang cukup, jadi, kan, stunting ini menyebar ke mana-mana, tapi ada kantong-kantong atau daerah yang kategori stuntingnya tinggi, nah, itu harus diberi perhatian tersendiri,” ucap Trubus kepada KBR, Jumat, (17/5/2024).

Apalagi kata dia, pejabat kementerian/lembaga saat ini sudah ogah-ogahan bekerja lantaran berada di masa akhir pemerintahan Jokowi.

“Bisa saja, ya, tapi butuh effort yang luar biasa, butuh koordinasi yang luar biasa, sementara kementerian/lembaga, pejabat yang ada sekarang posisinya sudah injury time (menit-menit terakhir), sudah enggak mikirin. Dia hanya mengerjakan rutinitas saja. Kalau suruh kerja yang ini, sudah enggak mau, kan, karena belum tentu dia terpilih kembali, kan masalahnya itu,” ucap Trubus.

Gagal

Bahkan, Anggota Komisi Kesehatan DPR (IX), Yahya Zaini menyebut pemerintah telah gagal menurunkan stunting hingga 14 persen di 2024. Menurutnya, prevalensi penurunan stunting dari tahun ke tahun relatif kecil, dan tidak signifikan.

"Tahun 2024 itu 14 persen dengan kurun waktu yang relatif pendek rasanya sangat mustahil target 14 persen bisa dicapai. Oleh karena itu, saya dapat mengatakan bahwa program nasional percepatan penurunan stunting ini gagal. Karena tidak mungkin bisa dicapai dalam waktu yang relatif singkat 4-5 persen penurunannya," ujar Yahya dalam rapat kerja bersama Kementerian Kesehatan, Kamis, (16/5/2024).

Yahya Zaini menambahkan, gagalnya pencapaian penurunan stunting dipengaruhi lemahnya koordinasi antara Kementerian Kesehatan dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), serta pemerintah daerah.

Hal lain adalah, tidak efektif dan efisiennya program-program pemerintah. Yahya mendorong ada evaluasi menyeluruh dan mendalam terhadap seluruh program penurunan stunting.

"Yang menjadi penyebab kegagalan percepatan stunting ini yaitu karena program-program pemerintah tidak berjalan secara efektif. Jadi begitu banyak program yang dilakukan Kemenkes dan BKKBN mulai dari pra nikah atau remaja, kemudian ibu hamil itu semua belum tepat. Ini perintah saya kira belum menemukan program krusial yang dapat mencegah dan mempercepat penurunan stunting," ucapnya.

red
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Foto: Kemkes.go.id

Dalih Menteri Kesehatan

Sementara itu, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, salah satu sebab rendahnya penurunan stunting adalah belum ditemukannya model implementasi efektif. Ia menilai ada masalah dalam eksekusi di lapangan sehingga program stunting tak berjalan optimal.

“Masalah eksekusi di lapangannya, implementasi di lapangannya, itu belum ketemu model implementasi di lapangan yang pas. Nah, itu sekarang sedang kita cari model pasnya,” kata Budi dikutip dari ANTARA.

Akurasi Data

Masalah lain adalah akurasi data stunting atau tengkes dari seluruh daerah. Kemenkes tengah berupaya mengoptimalkan akurasi data stunting nasional.

Caranya, dengan memastikan pemenuhan alat antropometri sesuai standar di seluruh posyandu dan faskes. Selain itu, pemerintah juga akan melakukan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).

"Kita melatih SDM-nya supaya bisa mengukur dengan benar. Nah, ini yang sekarang masih berjalan. Karena ada SDM-nya tidak disiplin. Dia masukin 3 bulan ke depan, 6 bulan ke depan dia sudah masukkan (data stunting). Ada juga yang cara ngukurnya masih salah. Misalnya mengukur berat badan itu enggak boleh pakai baju atau jaket, dia masih pakai jaket," ucap Menteri Budi saat rapat dengan Komisi Kesehatan DPR RI, Kamis, 16 Mei 2024.

Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin menyebut, cara lainnya yaitu dengan menerbitkan Standar Operasional Prosedur (SOP) pengukuran di posyandu dan faskes, hingga validasi berkala oleh bidan maupun dinas kesehatan.

red
Presiden Joko Widodo meninjau rumah warga di Desa Kesetnana, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT, Kamis, 24 Maret 2022. Foto: BPMI Setpres/Lalily Rachev

Intervensi Terbaik

Akhir April, Ahli Kesehatan Masyarakat dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra menyebut upaya terbaik yang bisa dilakukan untuk penanganan stunting. Yakni, intervensi pada bayi baru lahir. Namun kata dia, intervensi pada bayi baru lahir ini tidak mudah, karena menyangkut ekonomi keluarga dan kesadaran untuk memberikan gizi seimbang.

"Yang paling penting kampanye yang harus wajib itu ASI eksklusif. Nah, ini yang tidak boleh putus, itu yang akan menyebabkan orang yang tadinya resiko ke stunting jadi tidak menjadi stunting," kata Hermawan kepada KBR, Minggu, (28/4/2024).

Selain itu, intervensi pencegahan stunting paling mudah dilakukan mulai dari remaja putri, memperbaiki kesadaran perilaku kesehatan, dan meningkatkan imunitas. Lalu, persiapan gizi dengan tumbuh kembang remaja yang baik, menjelang pernikahan, kehamilan hingga persalinan.

"Itu intervensi terbaik, tetapi mengharapkan intervensi itu kemudian keluar hasil kan tidak mungkin dalam setahun 2 tahun, paling tidak lebih dari 2 tahun. Artinya kalau intervensi itu sekarang kita baru merasakan hasilnya 2026, 2 tahun ke depan. Karena orang dipersiapkan dulu sebelum dia menikah, kemudian hamil, bersalin, baru kita akan lihat mengukur dengan pasti stunting atau tidak pada bayi yang akan lahir," kata Hermawan.

Baca juga:

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!