ARTIKEL PODCAST

Menyoal Pasal-Pasal Bermasalah di RUU Penyiaran

“Karena negara tidak bisa dipercaya maka kita butuh pers"

AUTHOR / Tim Ruang Publik

Ilustrasi: Logo Penyiaran
Ilustrasi: Logo Penyiaran

KBR, Jakarta - Draf revisi Undang-Undang Penyiaran yang beredar di masyarakat menuai kritikan. Sejumlah pasal dalam beleid tersebut dinilai bisa membahayakan kebebasan pers dan tumpang tindih dengan Undang-Undang Pers.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyoroti beberapa pasal bermasalah yang menyangkut dengan jurnalistik. Semisal pasal 42 ayat 2, yang menyatakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) boleh menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran. Padahal, sesuai UU Pers no 40/1999, sengketa jurnalistik ditangani oleh Dewan Pers.

Ada juga pasal 50B ayat 2C yang melarang penayangan eksklusif konten jurnalistik investigasi. Anastasya Andriarti, Pengurus Nasional AJI Indonesia menjelaskan dalam UU Pers, kerja-kerja jurnalistik investigasi dilindungi oleh undang-undang. Sebab, peran jurnalis investigasi berbeda dengan jurnalis biasa.

“Bagaimana sesuatu yang selama ini ditutup-tutupi oleh penguasa, perusahaan, atau pihak yang melakukan praktik kotor, terungkap oleh kerja keras wartawan yang pasti tidak bisa terungkap dengan praktik-praktik jurnalisme biasa,” jelas Anastasya dalam talkshow Ruang Publik, Rabu, (15/5/24).

AJI juga menyoroti pasal dalam revisi UU Penyiaran yang memperluas kewenangan KPI. Bukan hanya wilayah penyiaran, beleid ini juga memberi wewenang KPI sampai ke wilayah digital.

“Ini berdampak pada publik bahwa kini KPI tidak hanya mengurusi penyiaran seperti televisi dan radio, tapi meluas ke internet,” ujar Anastasya.

Peneliti Pusat Studi Media dan Komunikasi Remotivi, Muhamad Heychael mengkritik revisi UU Penyiaran yang memakai pendekatan keamanan. Contohnya, pasal larangan penayangan jurnalisme investigasi dengan dalih supaya tidak menganggu penyelidikan hukum.

“Karena negara itu tidak bisa dipercaya dan seharusnya memang tidak dipercaya, maka kita butuh pers. Justru itu bagian dari akuntabilitasnya,” kata Heychael.

Baca juga:

Heychael juga mempertanyakan wewenang KPI bakal diperluas ke wilayah digital, sebab pada dasarnya penyiaran dan platform digital berbeda. Kata dia, aturan penyiaran tidak bisa diterapkan ke wilayah digital.

“Internet itu sangat luas, tidak terbatas frekuensinya. Kalau internet diperlakukan sama dengan penyiaran, ini yang jadi masalah. Artinya kreasi dan ekspresi akan sangat terbatas,” tambah Heychael.

Lantas apa rekomendasi AJI Indonesia dan Remotivi atas rancangan UU Penyiaran ini? Simak selengkapnya dalam program Ruang Publik KBR episode Mengulik Pasal Bermasalah di RUU Penyiaran hanya di kbrprime.id.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!