Tren olahraga meningkat, tapi jangan sampai keuangan boncos karena gak bisa membedakan keinginan dan kebutuhan
Penulis: Dita Alya Aulia
Editor: Valda Kustarini

KBR, Jakarta – Kesadaran berolahraga meningkat setelah pandemi covid-19. Masyarakat semakin paham dengan kebutuhan olahraga. Beberapa waktu lalu ngetren olahraga lari, kemudian tennis, saat ini padel dan pilates menjadi pilihan banyak orang untuk menjaga kebugaran.
Garmin Indonesia mencatat, olahraga lari, tenis dan golf menjadi olahraga yang digemari selama tahun 2024. Media sosial dan lingkaran pertemanan juga jadi salah satu faktor tren olahraga meningkat. Salah satu yang terpengaruh tren adalah Sofa Maulana, ia berlari sejak Mei 2025.
Mahasiswa asal Jakarta ini, sebelumnya aktif di organisasi pecinta alam, namun aktivitas fisiknya berkurang. Titik balik datang ketika tren lari kembali marak di kalangan teman-temannya.
“Di saat teman-teman saya sudah banyak lari, saya (juga) sudah ada teman-teman buat nemenin lari. Jadi, saya mulai konsisten juga,” cerita Sofa.
Supaya lebih maksimal menjalankan hobinya, Sofa juga membeli perlengkapan lari yang mumpuni, diantaranya sepatu, smart watch, sampai tiket race.
“Mulai dari jam tangan, terus pakaian, celana, sepatu, terus baju juga. Earphone juga banyak sih. Dan, itu juga sudah bisa habis-habis. Kayaknya bisa habis 10 juta,” ujarnya.
Survei Jakpat juga menunjukkan bahwa sepatu olahraga adalah perlengkapan paling penting yang dibeli menurut anak muda (Gen Z dan milenial). Merek internasional seperti Nike (47%), Adidas (34%), dan Puma (6%) menjadi favorit, namun merek lokal seperti Specs (15%), Mills (7%), dan Eiger (5%) juga diminati.

Baca Juga:
Peningkatan Kesadaran Berolahraga Baik, Tapi..
Pengaturan keuangan menjadi penting agar bisa menjalankan hobi sembari menjaga kesehatan. Certified Financial Planner, Ni Putu Desy Ratna Dewi menilai positif adanya peningkatan tren berolahraga di masyarakat. Namun, perlu diperhatikan apa tujuan utama dari berolahraga.
“Yang perlu kita garis bawahi, kita ikut olahraga ini memang karena kita sadar akan kesehatan. Bukan sebagai ajang untuk adu eksistensi apalagi adu gengsi,” ujar Desy dalam podcast Uang Bicara.
Menurut Desy, tak jarang orang-orang yang ‘mendadak atlet’ ini sebatas mengikuti keinginan, misalnya untuk membeli member gym, membeli peralatan olahraga, sampai ikut kelas, tanpa memikirkan kondisi keuangan mereka. Itu sebab, ia menyarankan saat budgeting perlu menggolongkan pembelian member maupun alat olahraga masuk ke kategori keinginan atau kebutuhan.
“Kalau kita ikutnya semata-mata hanya karena FOMO, kita gak bisa masukkan itu sebagai suatu investasi ataupun kebutuhan hidup kita. Ya jatuhnya keinginan,” jelasnya.
Menurut Desy, biaya olahraga seperti keanggotaan gym premium, studio pilates, atau perlengkapan olahraga eksklusif bisa membengkak jika tidak diatur dengan cermat. Desy menyarankan agar pengeluaran olahraga ditempatkan dalam pos hiburan, bukan kebutuhan pokok.
“Biaya olahraga idealnya diambil dari 10 sampai 15 persen penghasilan. Karena memang kalau tren olahraga yang mahal ini itu biayanya cukup tinggi. Dibandingkan dengan olahraga seperti jogging atau senam di rumah, tentu beda jauh,” jelas Desy.
CFP asal Bali ini menekankan pentingnya menghindari pembelian impulsif atas perlengkapan olahraga yang mahal, terutama jika menggunakan fasilitas cicilan atau utang konsumtif.
“Saya tidak menyarankan melakukan pembelian barang-barang seperti alat olahraga itu dengan mengambil utang konsumtif seperti spaylater atau cicilan kartu kredit. Pastikan dulu cicilan utangnya itu tidak lebih dari 30 persen penghasilan,” ujarnya.
Dengarkan penjelasan selengkapnya di Uang Bicara episode: