Dompet Dhuafa gelar Sarasehan Tokoh Bangsa! Temukan pandangan para ahli tentang merdeka dari kemiskinan di Indonesia, kritik bansos, dan solusi pemberdayaan masyarakat.
Penulis: Daryl Arshaq Isbani
Editor: Don Brady

KBR, Jakarta - Dalam rangka memperingati 80 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, Dompet Dhuafa menggelar Sarasehan Tokoh Bangsa bertema “Merajut Kebersamaan, Mewujudkan Merdeka dari Kemiskinan”. Acara ini berlangsung pada Rabu, 13 Agustus 2025, di Sasana Budaya Rumah Kita Dompet Dhuafa, Jakarta Selatan.
Tidak hanya menjadi forum refleksi sejarah, sarasehan ini juga hadir sebagai ruang strategis untuk membicarakan masalah besar bangsa: kemiskinan. Meski Indonesia telah merdeka delapan dekade, realitas sosial-ekonomi masih menyisakan pekerjaan rumah besar.
Acara ini menghadirkan sejumlah tokoh lintas bidang—agama, hukum, pendidikan, hingga aktivisme—antara lain:
- Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, MA (Ketua Umum PBNU 2010–2021)
Dr. KH. Muhammad Zaitun Rasmin, Lc., M.A (Wakil Sekretaris Dewan Pertimbangan MUI) - Dr. H. Rahmat Hidayat, SE., MT. (Sekjen Dewan Masjid Indonesia)
- Yudi Latif, Ph.D. (Aktivis dan Cendekiawan)
- Dr. Bambang Widjojanto (Aktivis Hukum dan Demokrasi)
- Ahmad Juwaini (Ketua Pengurus YDDR)
- Parni Hadi (Inisiator & Ketua Pembina YDDR)
Kehadiran para tokoh ini menjadikan sarasehan semakin kaya perspektif, mulai dari dimensi spiritual, sosial, politik, hingga ekonomi.
Dalam sambutannya, Ahmad Juwaini menekankan bahwa data angka kemiskinan hingga kini masih menimbulkan kontroversi. Ia menyinggung bahwa bila standar Bank Dunia digunakan, maka jumlah penduduk miskin Indonesia akan tampak lebih besar dibanding versi resmi pemerintah.
“Data-data angka kemiskinan sampai hari ini masih terus menjadi kontroversi. Belum lagi jika menggunakan standar kemiskinan versi Bank Dunia, bertambah lagi kerunyaman persentase dan jumlah penduduk miskin di Indonesia,” ujar Ahmad Juwaini.
Sebagai keynote speaker, Parni Hadi, Inisiator dan Ketua Dewan Pembina Dompet Dhuafa, menyampaikan refleksi filosofis tentang perjalanan bangsa. Ia mengutip pesan Bung Karno: “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, tapi perjuanganmu lebih berat karena melawan bangsamu sendiri.”
Parni menekankan bahwa pada usia 80 tahun kemerdekaan, bangsa Indonesia harus berani keluar dari “zona nyaman”.
“Tumbuh adalah kata kunci Dompet Dhuafa hari ini. Tumbuh program, tumbuh kepercayaan publik, tumbuh penghimpunan. Namun, tumbuh juga berarti ada tantangan. Kita harus merdeka dari belenggu kemiskinan—bukan hanya miskin harta, tapi juga miskin hati, miskin disiplin, dan miskin value,” ungkapnya.
Dialog Kebangsaan: Pandangan Lintas Tokoh
Sesi dialog kebangsaan dipandu oleh jurnalis senior Dede Apriadi. Sejumlah tokoh menyampaikan pandangannya:
- Rahmat Hidayat menekankan pentingnya masjid sebagai pusat ekonomi umat. Ia mengajak agar masjid mampu menghadirkan gerakan kewirausahaan dan UMKM untuk mengurangi pengangguran.
- Muhammad Zaitun Rasmin mengkritisi realitas paradoksal: Indonesia sebagai negara muslim terbesar tetapi masih menyimpan angka kemiskinan tinggi. Ia menekankan pentingnya distribusi keadilan sesuai amanat Pancasila dan UUD.
- Yudi Latif memberi perspektif filosofis. Ia mengingatkan bahwa kata “Merdeka” berasal dari bahasa Sansekerta Maharddhika yang berarti mulia, makmur, terdidik, tercerahkan, dan berkuasa. Merdeka bukan sekadar lepas dari penjajah, tetapi juga merdeka dari ketergantungan, kemiskinan, dan kebodohan.
“Tidak akan keluar dari kemiskinan jika bangsanya tidak terdidik. Etos itu penting. Bahkan lembaga filantropi lebih dulu ada dibanding negara, dan perannya bisa lebih menentukan,” tegas Yudi.
- Bambang Widjojanto menyentil bahwa masalah kemiskinan di Indonesia kerap tumpang tindih dengan praktik pemiskinan struktural. Ia mengkritik data yang simpang siur serta program bansos yang justru melahirkan korupsi.
“Bansos itu sumber kerusakan. Angkanya tidak jelas, jadi sumber korupsi. Bagaimana bisa bicara keadilan sosial jika data saja tidak konsisten?” ujarnya lantang.
Merdeka dari Kemiskinan: Tantangan Bangsa
Dari berbagai pandangan tokoh, terlihat bahwa kemiskinan bukan sekadar masalah angka, melainkan masalah mental, struktural, dan etos bangsa. Ada kemiskinan karena minimnya akses pendidikan, ada juga kemiskinan yang lahir dari sistem yang tidak adil.
Dompet Dhuafa, dengan kiprahnya, berusaha mengisi kekosongan peran itu. Melalui program pendidikan, kesehatan, ekonomi, hingga pemberdayaan masyarakat, lembaga ini berkomitmen menjadi katalis perubahan sosial.
Menutup rangkaian acara, Dompet Dhuafa meluncurkan dua buku terbaru:
- “Catur Windu Dompet Dhuafa”, yang merangkum perjalanan 32 tahun lembaga ini dalam memberdayakan masyarakat.
- “Senyum Nabi” (DD Smiling Foundation), yang mengangkat inspirasi kemanusiaan berbasis nilai spiritual.
Peluncuran ini menjadi simbol refleksi sekaligus peneguhan komitmen lembaga untuk terus tumbuh sebagai gerakan sosial.
Sarasehan Tokoh Bangsa ini bukan sekadar dialog, melainkan momentum menyulam harapan baru. Bahwa kemerdekaan sejati adalah merdeka dari kemiskinan.
Acara ini juga disiarkan langsung melalui kanal YouTube DDTV dan Instagram @dompetdhuafaorg, sehingga publik luas dapat ikut menyimak perbincangan tokoh bangsa dalam semangat peringatan kemerdekaan.
Dengan refleksi mendalam ini, Dompet Dhuafa menghadirkan ruang silaturahmi, pertukaran gagasan, dan kolaborasi untuk Indonesia yang lebih adil, sejahtera, dan berdaulat.
Baca juga: Alissa Wahid Spill Kiat Rawat Perkawinan, No Baper