Minggu malam lalu, melalui akun twitternya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyemangati hampir 25 ribu pelajar setingkat sekolah menengah atas yang mengikuti Ujian Nasional.
Penulis: KBR68H
Editor:

Minggu malam lalu, melalui akun twitternya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyemangati hampir 25 ribu pelajar setingkat sekolah menengah atas yang mengikuti Ujian Nasional. Bunyi kicauan SBY, "Tetap semangat bagi anak-anakku pelajar yang menjalankan Ujian Nasional esok hari. Semoga dapatkan hasil yang memuaskan." Pertanyaannya, hasil yang memuaskan itu seperti apa?
Sejak kemarin hingga besok, para siswa setingkat sekolah menengah atas mengikuti ujian nasional. Sebuah kegiatan nasional dalam sistem pendidikan kita, yang selalu menjadi buah bibir tiap tahunnya. Ada kalanya, ajang meluluskan murid ke jenjang yang lebih atas ini ramai dengan peristiwa jual beli lembar jawaban. Publik juga memperdebatkan efektivitas sistem ujian nasional dengan peningkatan kualitas sumber daya dan aneka rupa perbincangan lain.
Tapi semua seperti orang lari di tempat. Banyak gerak, menguras tenaga, tapi terlihat tak pernah sampai tujuan. Mungkin sekali, salah satu penyebabnya karena belum jelas apa yang sesungguhnya hendak dicapai. Itu makanya, praktek di lapangan kerap gaduh. Misalnya, sebuah kebijakan yang mestinya berlaku nasional, respon di di daerah bisa berbeda.
Contohnya seputar boleh tidaknya siswi hamil ikut ujian nasional. Atau murid yang kesandung masalah kriminal, bisa ikut ujian atau tidak? Ada dinas pendidikan di sebuah daerah yang membolehkan murid hamil ikut ujian nasional, seperti di Kediri. Tapi di kabupaten tetangga, tak demikian. Di Aceh, dua murid tak bisa ikut ujian sejak mendekam di penjara karena kasus perkelahian. Di Surabaya, seorang siswa terpaksa ujian di kepolisian sektor karena mencuri motor. Padahal tahun lalu Menteri Pendidikan sudah bilang kepada jajarannya di daerah agar membolehkan mereka boleh ikut ujian.
Potret serba-serbi tingkah laku pelajar kita di atas tak boleh dilihat sebatas mereka berbuat menyimpang dari kebanyakan anak seusianya. Dan karena itu, mereka pantas untuk dihukum. Hamil di saat masih sekolah, atau ditangkap polisi saat masih berseragam karena mencuri atau perbuatan kriminal lainnya, merupakan indikasi masih ada yang belum benar dari sistem pendidikan kita. Rujukan dari pendapat tadi adalah konsep dasar pendidikan kita adalah membangun manusia Indonesia seutuhnya.
Asumsikan, mereka itu belum terdidik secara utuh, lalu kemana kita bisa mengarahkan telunjuk kepada pihak yang paling harus bertanggung jawab? Negara, salah satunya. Dalam konteks kita sekarang, pernyataan pak menteri jadi poin penting yang harus didengar semua kepala dinas. Ini bukan soal ijasah sebagai benda bertuah. Tapi, alasan yang membuat mereka tak berijazah lebih menghantui kehidupan mereka kelak. Label sebagai orang bermasalah, akan membuat kehidupan anak menjadi makin tidak terarah.