Penulis: Ko Swe
Editor:
Burma hanya mengalokasikan liam persen anggaran negaranya untuk pendidikan tahun lalu. Tiga kali lipatnya dihabiskan untuk anggaran pertahanan.
Sejumlah orangtua khawatir dengan pendidikan di sekolah yang tak kunjung maju dan anak-anak pun kesusahan.
Karena itulah, anak-anak kecil seusia 7 tahun harus ikut kelas tambahan sampai tengah malam, kehilangan waktu bermain mereka yang sangat penting.
Aung Moe Tha berusia 12 tahun. Sebelum berangkat ke sekolah ia mempersiapkan tasnya dan sarapan.
Lalu ibunya mengucapkan selamat jalan dan memberinya kotak makan siang.
Setelah seharian berada di sekolah, seperti kebanyakan anak seusianya, Aung Moe Tha ikut les tambahan.
Yang mengajar adalah guru berbeda, bukan guru sekolahnya.
Keluarga Aung Moe Tha baru-baru ini pindah rumah.
Sejak itu, kata sang ibu Mon Mon Myat, nilai Aung Moe Tha turun.
“Setiap ujian bulanan, biasanya dia dapat 100 untuk matematika. Sejak kami pindah kemari, dia harus ikut les. Ia tidak bisa mencapai hasil seperti dulu. Saya tanya sama dia, kenapa? Kata dia, dia bisa dapat 100 karena gurunya yang lama memberikan pertanyaan sebelum ujian.”
Sepulang sekolah, Aung Moe Tha bermain piano sebelum pergi les.
“Kalau di sekolah saya sulit mengerti, lebih mudah waktu les. Karena waktu lesnya cukup panjang. Juga murid di kelas cukup banyak dan hanya ada waktu 45 menit untuk tiap kelas. Jadi saya lebih mudah mengerti ketika ikut les.”
Sistem pendidikan Burma masih lemah walau negara itu telah melaksanakan reformasi.
Hanya separuh dari 18 juta anak yang tamat SD di Burma. Dan hanya separuh jumlah guru yang memenuhi syarat.
Bagi orangtua yang ingin anak-anaknya mendapatkan yang terbaik, mereka harus merogoh kocek untuk pelajaran tambahan.
Phyu Phyu berusia 7 tahun dan dia adalah siswa kelas 1 SD.
Dia baru saja pulang dari tempat les sekitar jam 6 sore. "Gurunya dari sekolah, dia mengajar bahasa Burma di kelas 1," katanya.
Gurunya membuka les setelah pulang sekolah.
Mereka yang ikut les lebih disukai di sekolah. Biasanya mereka dapat bocoran pertanyaan untuk ujian.
Tapi mereka kehilangan waktu bermain.
Dr Thein Lwin adalah anggota Komite Pendidikan di NLD, Liga Nasional untuk Demokrasi.
“Sesuatu yang dipelajari dari hati mudah dilupakan. Pembelajaran semacam ini tidak dapat diterapkan dalam kehidupan nyata, kehidupan sosial, atau di tempat kerja dan kehidupan profesional.”
Pelajar yang lebih tua merasakan tekanan yang lebih besar.
Seperti Zin Tun, siswa kelas 1 di pelajaran bahasa Inggris.
“Saya ikut les karena buruknya metode mengajar di sekolah, dan kelas di sekolah selalu penuh. Kadang saya tidak mengerti dengan baik.”
Kelas yang penuh sesak, guru yang tidak berkualitas dan sumber daya yang kurang, berkontribusi terhadap runtuhnya sistem pendidikan Burma.
“Biasanya ada sekitar 80 hingga 100 siswa di setiap kelas, sedangkan jumlah gurunya masih sedikit. Butuh ruang kelas yang lebih banyak lagi. Untuk bisa merangkul semua siswa, jumlahnya harus dikurangi. Untuk melakukan reformasi dalam sistem pendidikan, kita harus mendesain ulang ukuran ruang kelas. Seorang guru bisa mengelola kelas dengan baik bila jumlah siswanya hanya 30 orang saja. Jika itu terwujud, guru bisa mengajar dengan baik dan siswa punya kesempatan untuk bertanya. Dan ruang kelas akan menjadi lebih aktif.”
Selama junta militer berkuasa, sekolah hanya boleh mengajarkan kurikulum yang disetujui militer. Dan universitas ditutup.
Kini dalam proses reformasi yang sedang berlangsung, ada beberapa langkah untuk mengatasi masalah pendidikan.
Meski kecil, anggaran pemerintah untuk pendidikan telah ditingkatkan tahun ini.
Utang luar negeri negara itu pun telah dihapus.
Presiden Thein Sein mengatakan kini ia bisa mengalokasikan dana yang lebih besar untuk pendidikan.
“Reformasi pendidikan juga penting bagi reformasi Burma, selain bidang politik, ekonomi, dan sosial. Kaum muda yang berpendidikan bisa membawa kehidupan ekonomi yang lebih baik di negara ini, dan menjadi kekuatan pendorong untuk pembangunan kedepannya. Jadi pemerintah harus fokus pada sektor pendidikan dan harus menganggarkan lebih banyak uang.”
Tapi butuh waktu untuk membangun kembali infrastruktur suatu negara.
Kemiskinan dan konflik masih menjadi hambatan bagi pendidikan.
Untuk saat ini, orangtua harus mengeluarkan uang untuk les tambahan bila ingin anak-anak mereka berhasil.