"Perjuangan korban selama bertahun-tahun hanya direspon pemerintah dengan simposium. Ini bukan jawaban atas tuntutan yang selama ini diinginkan para korban dan pegiat HAM."
Penulis: Randyka Wijaya
Editor:
KBR, Jakarta- Simposium "Membedah Tragedi 1965-Pendekatan Sejarah" yang diselenggarakan pemerintah akan percuma jika menghasilkan rekomendasi tanpa pengungkapan kebenaran. Peneliti HAM Setara Institute Achmad Fanani Rosyidi mengatakan tanpa pengungkapan kebenaran maka tidak akan diketahui mana yang harus dipulihkan.
"Dalam internal kepantiaan simposium memang sedang ada perdebatan apa nih isinya, soal yang harus bagaimana dibawa. Kalau koalisi masyarakat sipil dengan korban kita tetap percaya bahwa rekonsiliasi yang digagas negara saat ini itu memang benar-benar salah kaprah. Rekonsiliasi tanpa proses pengungkapan kebenaran, kita nggak tahu kan mana kemudian yang disebut pelaku, mana yang kemudian disebut korban dan mana yang mau dipulihkan. Ini kemudian yang kita lawan." Kata Achmad Fanani Rosyidi di Kantor Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Jakarta, Jumat (15/04/2016).
Simposium itu diinisiasi oleh Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan serta didukung Dewan Pertimbangan Presiden. Simposium itu akan menghadirkan dari pihak korban, pelaku dan ahli di bidang HAM pada 18-19 April mendatang. Rekomendasi dari simposium tersebut akan diberikan ke Presiden Joko Widodo.
Aktivis Kontras Feri Kusuma menilai simposium itu bukan jawaban atas permintaan korban dan aktivis HAM selama ini.
"Perjuangan korban selama bertahun-tahun hanya direspon pemerintah dengan simposium. Ini bukan jawaban atas tuntutan yang selama ini diinginkan para korban dan pegiat HAM." Ungkapnya.
Kata dia, apabila hasil dari simposium hanya rehabilitasi itu sebuah kemunduran. Keputusan Mahkamah Agung, DPR dan Komnas HAM sejak tahun 2003 telah mengamanatkan presiden untuk merehabilitasi korban. Hingga saat ini, kata dia, belum dilakukan pemerintah.
Editor: Rony Sitanggang