indeks
Revisi UU HAM, Menguatkan atau Melemahkan?

"Kami rasa poin soal peleburan (beberapa lembaga) ini harus dicermati dengan hati-hati, jangan sampai malah melemahkan perlindungan HAM,” jelasnya.

Penulis: Naomi Lyandra

Editor: Resky Novianto

Google News
kamisan
Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan JSKK melakukan aksi Kamisan di sebrang Istana Merdeka, Jakarta. Foto: ANTARA

KBR, Jakarta- Kementerian Hak Asasi Manusia (Kementerian HAM) mengundang sejumlah ahli dan tokoh untuk membuat kajian naskah akademik, draf, dan daftar inventarisasi masalah (DIM) terkait rencana revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Setelah genap 26 tahun, pemerintah ingin merevisi beberapa regulasi dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI 2025–2029.

Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 2025–2030, Maria Ulfah Anshor mengatakan revisi UU HAM perlu dilakukan dengan perspektif penguatan dan bukan sebaliknya.

“Komnas Perempuan mencatat bahwa Undang-Undang HAM memang sudah waktunya direvisi. Ada beberapa catatan di antaranya, misalnya, karena Komnas Perempuan adalah lembaga HAM yang punya mandat khusus tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan, itu juga belum masuk,” ujar Maria Ulfah dalam siaran Ruang Publik KBR, Selasa (22/7/2025).

Ulfah turut menyoroti keberadaan Komnas Perempuan yang hingga kini masih berdiri di atas Keputusan Presiden, bukan Undang-Undang, padahal telah berdiri sejak 1998.

Menurutnya, banyak kasus kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan belum tertangani secara menyeluruh karena lemahnya posisi hukum lembaga tersebut.

“Kami menemukan Perda-Perda diskriminatif itu. Misalnya mengatur tentang jam malam untuk perempuan, busana perempuan, dan jam kerja perempuan. Basisnya adalah budaya patriarki yang mengakar dan dilegitimasi dalam regulasi,” lanjut Ulfah.

Menteri HAM: Revisi untuk Penguatan

Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai mengatakan sejumlah pakar HAM mengusulkan penguatan terhadap Komisi Nasional (Komnas) HAM dengan menjadikan rekomendasi Komnas HAM berkekuatan hukum lewat revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

"Jadi ada rekomendasi yang wajib ditindaklanjuti oleh para pihak, yang bersifat wajib, bersifat mengikat. Jadi, kita akan beri kewenangan lebih," kata Pigai di Kantor Kementerian HAM di Jakarta, Kamis (10/7/2025) dikutip dari ANTARA.

red
Menteri HAM, Natalius Pigai. Foto: ANTARA

Selama ini, katanya, Komnas HAM hanya bisa memberikan rekomendasi, namun tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, karena itu revisi UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM akan memberikan kekuatan hukum kepada rekomendasi yang dikeluarkan Komnas HAM.

”(Revisi) tidak untuk melemahkan, tetapi memberi penguatan. Jadi, kalau selama ini penanganan pelayanan kasus di Komnas HAM hanya berhenti pada rekomendasi yang tidak bertaring, tidak bergigi,” lanjut Pigai.

Pigai juga berharap penguatan tersebut ditambah dengan komisioner yang berintegritas bisa menghadirkan keadilan bagi masyarakat yang membutuhkan, khususnya bagi kaum rentan.

Peluang Menyatukan Lembaga HAM di Indonesia

Pigai mengklaim bahwa pakar hukum mengatakan bahwa lembaga HAM di tingkat Internasional hanya diakui satu lembaga saja. Jika masukan para pakar ini ditindaklanjuti oleh Kementerian HAM, maka keempat lembaga tersebut akan dijadikan satu institusi dengan divisinya masing-masing.

Saat ini ada beberapa lembaga HAM di Indonesia, seperti Komnas HAM, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

“Tingkat internasional, Dewan HAM PBB itu National Human Right Institution atau Lembaga Hak Asasi Manusia yaitu diakui hanya satu,” kata Pigai.

Lembaga HAM Harus Diperkuat, Bukan Dilebur

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Dimas Bagus Arya menggarisbawahi pentingnya memperbarui pasal-pasal yang dianggap tak lagi kontekstual. Namun ia memberi peringatan keras soal wacana peleburan lembaga-lembaga HAM.

“Ada juga wacana untuk peleburan lembaga nasional HAM seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, dan KKR yang kami rasa poin soal peleburan ini harus dicermati dengan hati-hati, jangan sampai malah melemahkan perlindungan HAM,” ujar Dimas dalam siaran Ruang Publik KBR, Selasa (22/7/2025).

red
Ilustrasi: Massa dalam Kelompok Barisan Rakyat Bebaskan Tahanan Politik berunjuk rasa tuntut perbaikan demokrasi di Bandung, Jabar. Foto: ANTARA/ Novrian Arbi


Menurutnya, tiap lembaga memiliki mandat dan fokus yang berbeda. Bila digabung, ada risiko kehilangan fokus kerja, dan kerentanan pengabaian terhadap kelompok rentAN diantaranya perempuan, anak, penyintas kekerasan, dan lainnya.

Dimas juga menekankan pentingnya partisipasi bermakna dalam proses legislasi revisi ini. Ia mengingatkan agar suara korban dan keluarga korban pelanggaran HAM tidak dikesampingkan.

“Makna dari meaningful participation bukan hanya ruang dialog, tapi juga memberikan pertimbangan atas masukan yang disampaikan oleh para pihak serta jawaban apakah usulan diterima atau ditolak,” jelasnya.

Revisi Jangan Jadi Alat Pemangkasan

Ketua Komnas Perempuan 2025–2030, Maria Ulfah Anshor mengatakan Revisi UU HAM adalah kebutuhan yang tak bisa dihindari.

Namun, menurutnya, revisi ini harus dilakukan dengan niat untuk memperkuat, bukan memperlemah lembaga-lembaga yang selama ini memperjuangkan keadilan.

“Yang terpenting, revisi ini adalah dengan komitmen, dengan nawaitu, tidak hanya sekadar tambal sulam, atau bahkan melemahkan penegakan HAM di Indonesia,” pungkas Maria Ulfah.

Revisi UU HAM dalam Prolegnas 2025–2029 ini juga menaruh perhatian besar terhadap publik dan kelompok masyarakat.

Harapannya, proses pembentukan hukum ini bukan sekadar formalitas, tapi benar-benar berpihak pada hak rakyat, korban, dan nilai-nilai keadilan.

red
Aktivis membawa foto korban pelanggaran HAM dalam Aksi Kamisan ke-846 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (9/1/2025). (Foto: ANTARA/Aditya Nugroho)

Ubah Mindset Bangsa soal HAM

Ahmad Taufan Damanik, Ketua Komnas HAM periode 2017–2022, yang ikut dalam dua kali diskusi bersama Kementerian HAM, juga memberi masukan tajam.

“Mindset kita sebagai bangsa dalam memahami HAM itu belum selesai. Coba lihat, pasal 1 ayat 2 UU HAM masih bicara tentang kewajiban asasi. Itu harus dihapus,” ujar Taufan dalam siaran Ruang Publik KBR, Selasa (22/7/2025).

Menurutnya, HAM dibentuk untuk melindungi individu dari diskriminasi dan membatasi negara agar tidak melakukan penyalahgunaan kekuasaan.

Taufan juga mengusulkan pembentukan mekanisme kuasi peradilan di Komnas HAM untuk menangani pelanggaran HAM biasa, sebagai bentuk penguatan lembaga tanpa harus menunggu proses hukum pidana.

“Fokus Komnas HAM seharusnya pada pemantauan, bukan pendidikan atau penyuluhan. Itu tugas negara,” tambahnya.

Mei 1998: Luka Lama yang Belum Sembuh

Pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk peristiwa Mei 1998 mengingatkan bahwa kekerasan seksual massal terhadap perempuan Tionghoa adalah bagian dari sejarah kelam yang harus diakui negara.

“Perkosaan yang korbannya adalah puluhan, bahkan boleh jadi juga ratusan... Ini menjadi bagian dari pelanggaran HAM. Kami setiap Hari HAM mengajak publik memecah kebisuan,” kata Ulfah.

Taufan pun menegaskan posisi negara dalam hal ini.

“Kerusuhan Mei 1998, termasuk perkosaan terhadap puluhan perempuan Tionghoa itu, jelas sudah disebut sebagai pelanggaran HAM berat. Tapi sampai sekarang masih mentok,” tegasnya.

red
Dok: Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

Pigai: Praktik Korupsi masuk Kejahatan HAM

Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai mengusulkan agar praktik korupsi dimasukkan ke dalam domain HAM pada revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang sedang digodok oleh kementeriannya.

Dengan begitu, pelaku korupsi dapat diadili dengan dua mekanisme, yakni sistem peradilan pidana (criminal justice system) di pengadilan umum dan sistem peradilan HAM (human rights ustice system) di pengadilan HAM.

Criminal justice system, human rights justice system, itu harus memproses orang yang melakukan korupsi. Bahwa bisa diadili di criminal justice system, bisa juga diadili di human rights justice system. Dua opsi dibuka, tapi itu namanya juga baru usulan kita, ” ucap Pigai di Kantor Kementerian HAM, Jakarta, Kamis (3/7/2025) dikutip dari ANTARA.

Menurut dia, usulan pengategorian korupsi ke dalam ranah HAM telah banyak disuarakan oleh para cendekiawan. Dengan paradigma ini, koruptor dapat dikategorikan sebagai pelanggar HAM.

Namun, tidak semua koruptor termasuk pelanggar HAM. Pigai menyebut koruptor dikatakan melanggar HAM jika melakukan korupsi secara terstruktur dan sistematis serta menyebabkan dampak yang masif.

Koruptor pelanggar HAM, imbuh dia, ialah mereka yang oleh karena perbuatannya bisa menghilangkan hak rakyat dalam jumlah yang besar.

“Misalnya, terjadi semua daerah itu diisolasi dan pengungsi besar-besaran karena situasi emergensi maka negara turunkan anggaran dalam jumlah besar. Kemudian, uang tersebut dimakan, diambil, dikorupsi secara masif, menyebabkan pengungsi atau korban dalam jumlah yang besar,” ucapnya.

Pigai mewacanakan bahwa revisi UU HAM akan menegaskan korupsi sebagai perbuatan yang melanggar HAM, sementara kriteria dan tata acaranya akan diatur lebih detail dalam peraturan presiden.

“Rancangan teknis mengenai wacana itu akan dibicarakan dengan ahli hukum, HAM, hingga pemberantasan korupsi. Kementerian HAM terbuka dengan masukan dan pemikiran publik,” tutupnya.

“Saya minta tolong ahli membantu menghubungkan bagaimana dasar bangunan teori melandasi bisa lahirnya HAM dan korupsi karena referensi di dunia ini terbatas soal HAM dan korupsi,” ucapnya.

Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media

Baca juga:
Menteri HAM Yakin RUU Masyarakat Adat Bisa Disahkan Tahun Ini, Alasannya?

Kementerian HAM
UU HAM
Revisi UU HAM
Natalius Pigai

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...