KBR68H, Jakarta - PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan (PP Pengendalian Tembakau ), yang diteken Presiden SBY pada 24 Desember lalu, masih mengundang keprihatinan sejumlah pihak, salah satu
Penulis: Aris Santoso
Editor:

KBR68H, Jakarta - PP 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan (PP Pengendalian Tembakau ), yang diteken Presiden SBY pada 24 Desember lalu, masih mengundang keprihatinan sejumlah pihak, salah satunya adalah Gappri (Gabungan Pengusaha dan Pabrik Rokok Indonesia). Mayoritas anggota Gappri adalah produsen rokok jenis kretek.
Ketua Umum Gappri (Gabungan Pengusaha dan Pabrik Rokok Indonesia) Ismanu Soimiran, saat dihubungi PortalKBR.com, mengeluhkan terbitnya PP tersebut, khususnya Pasal 12.
Pasal dimaksud berbunyi, pihak yang memproduksi produk tembakau dilarang menggunakan bahan tambahan, kecuali bila bahan tambahan tersebut secara ilmiah tidak berbahaya bagi kesehatan.
“Meskipun tidak secara terbuka menyebut produk kretek, pasal ini mengarah ke kretek, karena salah satu ciri kretek adalah menggunakan bahan tambahan, yaitu cengkeh dan saus,” imbuh Ismanu.
Di tempat terpisah, Kepala Lembaga Demografi FEUI Sonny Harry B Harmadi, menyarankan, agar iklan rokok benar-benar dibatasi dan pemberian peringatan bergambar dalam kemasan rokok. Ini terkait perilaku masyarakat miskin yang tetap mengonsumsi rokok, dengan mengalahkan kebutuhan primer keluarga, seperti gizi dan pendidikan bagi anak-anak.
Berdasarkan penelitian LDUI, sensitivitas masyarakat miskin terhadap kenaikan harga rokok terbilang sangat rendah.
“Meski harga rokok naik, mereka tetap saja mengkonsumsi dan memilih mengalahkan kebutuhan lain,” jelas Sonny.