Komunitas dunia maya di Singapura marah dengan kehadiran aturan baru soal perizinan laman berita yang mulai berlaku bulan ini.
Penulis: Satish Cheney
Editor:
Komunitas dunia maya di Singapura marah dengan kehadiran aturan baru soal perizinan laman berita yang mulai berlaku bulan ini.
Lebih dari dua ribu orang ada di Taman Hong Lim Park untuk memprotes aturan pemerintah yang baru soal perizinan bagi laman berita.
Protes damai ini dipimpin kelompok “Free My Internet”... dan sejumlah orang tampak membawa poster mengutuk aturan baru ini.
Aturan baru ini berlaku pada laman berita yang memuat berita lokal dan mendapat sedikitnya 50 ribu pengunjung dari Singapura setiap bulan.
Laman yang terpilih harus mendapatkan izin dan membayar deposit sebesar hampir 400 juta rupiah.
Laman juga harus menurunkan tulisan dalam waktu 24 jam jika diminta oleh pemerintah.
Dan jika aturan ini dilanggar, ada denda nyaris 160 juta rupiah atau penjara maksimal 3 tahun, atau keduanya, yang menanti.
Sebelum protes berlangsung, lebih dari 100 blogger menghelat protes penghitaman layar --- halaman utama laman mereka diganti dengan layar hitam dengan tulisan “bebaskan internet kami”.
Sejauh ini, 10 laman berita komersial sudah diminta untuk mendapatkan izin – media itu kebanyakan terkait dengan pemerintah.
Tapi para blogger khawatir, aturan juga bakal berlaku pada blog pribadi atau laman berita alternatif yang kerap kritis terhadap pemerintah.
Choo Zheng Xi adalah pendiri “The Online Citizen”, laman berita sosial politik yang populer.
“Hukum yang berlaku mendefinisikan program berita di Singapura sebagai apa pun yang ada di negara ini. Jadi ketika pemerintah mengatakan akan menerapkan aturan pada laman berita, warga Singapura pun ragu... karena ruang gerak mereka dibatasi oleh undang-undang yang mengancam bagi mereka yang menulis, mengomentari di Internet.”
Tapi pemerintah memastikan, perubahan tidak akan berpengaruh pada blog dan laman pribadi.
Mereka mengatakan, undang-undang baru dimaksudkan untuk mengatur laman berita seperti yang terjadi pada media tradisional lainnya.
Ketua Komite Informasi dan Komunikasi Parlemen Zaqi Mohammad mengatakan, aturan ini dibutuhkan untuk menghentikan konten pornografi atau topik kontroversial seperti SARA.
“Dan bahkan hari ini pun, masalah SARA masih sangat sensitif di negara ini dan kerusuhan dapat terjadi sewaktu-waktu. Laman media sangat mudah disalahgunakan, karena itu kita semua harus berhati-hati.”
Menurut dia, para pengkritik itu bersikap berlebihan.
“Tidak ada bagian dari aturan tersebut yang menyebut soal blog atau komentar pribadi di dunia maya. Saya kira para blogger itu punya ketakutan tersendiri. Namun, tidak ada yang perlu ditakuti, mengingat komitmen pemerintah yang memberikan ruang dan kebebasan bagi publik di dunia maya.”
Tapi laporan terakhir dari Reporters Without Borders menempatkan Singapura di peringkat 149 dari 179 negara soal kebebasan pers.
Dan editor veteran sekaligus analis politik ternama PN Balji mengatakan, bisa jadi laman lainnya akan dipaksa untuk mendapatkan izin di masa mendatang.
“Ini adalah pemerintahan yang sangat cerdas. Pemerintah tidak akan mengeluarkan aturan yang berdampak pada semua laman. Tapi yang akan dilakukan adalah mengancam laman yang ada... dan jika mereka untuk alasan apa pun bertindak melewati batas, mereka punya kuasa untuk mengatakan ‘ayo berikan depositmu’.”
Para pengkritik juga memprotes karena aturan itu lolos tanpa debat di Parlemen dan tidak ada konsultasi dengan komunitas dunia maya.
Calvin Cheng adalah bekas anggota parlemen yang dinominasikan di Singapura. Menurut dia, seharusnya para pengkritik melihat hal lain dari aturan ini.
“Mereka seharusnya melihat ini sebagai kesempatan untuk munculnya laman berita yang kredibel, yang dijalankan secara profesional, dan bukan milik pemerintah. Ada kesempatan baik bagi pebisnis media di Singapura untuk membangun laman yang profesional sekaligus punya untung seperti The Huffington Post dan mempekerjakan jurnalis profesional ketimbang mengandalkan sukarelawan.”
Tapi analis PN Balji meyakini, aturan ini sengaja dikeluarkan jelang pemilu tahun 2016.
“Dalam Pemilu sebelumnya, laman internet memainkan peran yang besar. Dan hasilnya terlihat di Pemilu sebelumnya: salah satu hasil Pemilu terburuk bagi partai penguasa dengan kurang dari 60 persen suara populer. Jadi laman internet tidak hanya memberikan laporan faktual, tapi juga memunculkan hal lain.. ini seperti jurnalisme kampanye yang membuat banyak orang beralih ke laman berita di dunia maya. Di saat yang sama, media arus utama tidak banyak mengangkat soal ini. Masyarakat pun merasa ada kebenaran yang disuarakan oleh laman berita di dunia maya.”
Sementara itu, para pemrotes memastikan, protes bakal terus berlanjut sampai aturan ini dicabut.